Jumat, April 19, 2024

Refleksi Sejarah Gerakan Intelektual Indonesia

Hendra Fokker
Hendra Fokker
Pegiat sosial yang suka jalan-jalan untuk berbagi dongeng kepada anak-anak dimana saja

Lahirnya kaum intelektual di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari masa Kebangkitan Nasional tahun 1908. Walau fakta sejarah menyebutkan bahwa kebangkitan kaum intelektual telah hadir dan berkembang usai dibukanya kebijakan politik dalam bidang pendidikan bersyarat oleh pemerintah kolonial Belanda.

Berangkat dari kegelisahan terhadap masa depan bangsa terjajah, hingga cita-cita kemerdekaan, mulai tergagas dalam berbagai wujud pengorganisasian kelompok-kelompok intelektual. Berbekal pengetahuan dan pengalaman dalam berorganisasi, fase kebangkitan kaum intelektual Indonesia pada akhirnya memberi arti dalam upaya kemerdekaan bangsa.

Pada awal eksistensinya, gerakan kaum intelektual hanya fokus pada upaya memfasilitasi perbaikan pendidikan bagi masyarakat umum. Seperti kita ketahui, kala itu pembatasan pendidikan memang menjadi politik kolonial, hingga masuk kedalam fase politik etis. Maka wajar, bila upaya perbaikan pendidikan menjadi agenda utama dalam memberi kesadaran bagi bangsa yang tertindas.

Puncaknya adalah pendirian Taman Siswa yang dimotori oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922, serta pendirian sekolah-sekolah rakyat di berbagai daerah yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi.

Hingga memasuki masa konsolidasi gerakan intelektual secara nasional pada Kongres Pemuda tahun 1928. Orientasi pendidikan mulai berubah arah kepada eksistensi politis yang dapat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Historiografi ini dapat dijadikan catatan penting bagi kaum intelektual agar dapat menganalisa arah dan tujuan awal pergerakan penyadaran di Indonesia.

Dimana kehadiran organisasi-organisasi intelektual dan politik secara masif dapat memberi ruang gerak bagi hadirnya gerakan militan. Kelak hal ini secara perlahan mampu membangkitkan kekuatan untuk dapat mengorganisir diri dalam menentang kolonialisme secara fisik.

Pengorganisasian massa yang dilakukan secara militan, mampu memberi tekanan-tekanan pada pemerintah kolonial dalam penerapan kebijakannya. Tidak hanya Cokroaminoto, melainkan juga Soekarno, Semaun, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan tokoh lainnya. Pengorganisasian massa secara militan ini pada akhirnya membuat pemerintah kolonial memberi sanksi tegas terhadap gerakan perlawanan terbuka para kaum intelektual.

Fase Revolusi

Pengaruh kuat para tokoh gerakan yang berasal dari kaum intelektual ternyata memberi dampak besar pada masyarakat kala itu. Kesadaran berjuang mulai lahir dan berkembang menjadi aksi-aksi massa yang berangkat dari gerakan kesadaran masyarakat.

Protes-protes terhadap tekanan pemerintah kolonial, secara masif berlangsung walau tanpa kehadiran para tokoh yang tengah dipenjara. Kesadaran kolektif aksi massa ini dapat terbangun ketika kesadaran politik masyarakat telah kuat dalam upayanya melakukan berbagai tuntutan.

Gerakan kesadaran ini semakin kuat berjalan ketika masa pendudukan Jepang berlangsung di Indonesia. Transformasi gerakan terbuka menjadi gerakan “bawah tanah” menjadi alternatif membangun pola revolusi senyap yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Terlebih lagi ketika kaum intelektual ”pernah” mendapatkan pelatihan militer selama masa pendudukan Jepang. Perlawanan terbuka berubah strategi menjadi ragam aksi sabotase yang justru merugikan kaum penjajah.

Pada fase ini, di beberapa daerah meletus hingga terjadinya perlawanan terbuka terhadap Jepang. Dianggap sebagai puncak dari upaya konsolidasi gerakan bawah tanah, yang berhasil digerakkan oleh para intelektual dengan orientasi eksistensi perjuangan.

Walau pada akhirnya, bentuk perlawanan ini menjadi semakin terbuka sejak tersiarnya kabar kekalahan Jepang pada Perang Asia Timur Raya. Semua berangkat dari sebab akibat. Kesadaran intelektual yang melahirkan semangat berjuang dengan berbagai strateginya pada akhirnya mampu membawa Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengorganisasian massa tentu sudah tidak lagi menjadi prioritas, karena telah ada wujud penokohan yang menjadi patron bagi kelompok-kelompok pejuang untuk bergerak satu dengan yang lainnya.

Fase Titik Balik

Usai berakhirnya kekuasaan kolonialis Belanda hingga Jepang, kaum intelektual lantas terbagi dalam berbagai kelompok berbasis ideologis. Kita tidak bisa tampik, bahwasanya landasar gerakan berdasarkan ideologi menjadi hal penting dalam melihat skema dan strategi perjuangan kaum intelektual.

Tiga kelompok ideologis yang menjadi representasi gerakan kala itu berasal dari kelompok nasionalis, agama, dan komunis. Semua oerientasi ideologis itu pada akhirnya dijadikan satu ideologi pada masa kepemimpinan Soekarno dengan konsep Nasakom. Eksistensi kaum intelektual sendiri juga terpecah pada tiga ideologi tersebut.

Tidak lagi berhadapan dengan kaum kolonialis, justru problem yang hadir adalah dari antar kelompok yang berbeda ideologis. Dimana realitas masyarakat tengah dihadapkan dalam orientasi membangun bangsa yang berdaulat. Kompleksitas problem sosial, politik, hingga ekonomi, menjadi semakin pelik akibat perbedaan pandangan antar kaum intelektual.

Kebijakan-kebijakan non-populis yang hadir kala itu, berhasil memberikan ruang konflik antar masyarakat dan kerap menjadi area “perang saudara” tanpa mampu dikendalikan oleh kaum intelektual. Semakin liar konflik kepentingan, maka semakin besar potensi konflik yang dapat menimbulkan korban.

Pada fase transisi kekuasaan antara Presiden Soekarno dengan Soeharto, perspektif ideologi yang dianggap kontra revolusioner kemudian dianggap sebagai common enemy masyarakat. Sebuah hal yang kelak menghasilkan kekuasaan absolut pada masanya, sebagai akibat dari peredaman sikap kritis dari kaum intelektual.

Semua kritik diredam dengan tuduhan subversif atau menggangu stabilitas negara. Hingga masuk pada masa Peristiwa Malari, dan berbagai peristiwa pelanggaran demokrasi lain sesudahnya. Dimana eksistensi kaum intelektual pada masa ini semakin ketat dibatasi aktivitasnya.

Menghadapi hal ini, bentuk penyadaran pendidikan dan politik kembali dilakukan dengan strategi “bawah tanah”. Tidak lain guna mengimbangi kekuasaan yang semakin jauh dari tujuan kemerdekaan Indonesia, yang memberi ruang terbuka bagi demokrasi. Dimana ruang-ruang pada masyarakat tentu tetap menjadi prioritasnya.

Pada fase ini, peran kelompok non-intelektual justru dapat terbangun sebagai gerakan masif dengan berbagai media strategi gerakan berbasis masyarakat. Eksistensi kelompok buruh dan seniman, dapat memberi peluang bagi gerakan perlawanan kaum intelektual.

Puncaknya tentu saja, fase Reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Pada refleksi ini, tentu dapat kita lihat, pola dan strategi gerakan kaum intelektual seolah memiliki pendekatan yang sama dalam bergerak. Tidak pasif, dan selalu responsif dengan segala persoalan yang tampak pada masyarakat dan negara.

Walau realitasnya kini, upaya menjaga semangat Reformasi semakin tampak bergeser dari idealismenya. Sudah sepatutnya, refleksi historis ini dapat dijadikan pengingat bagi kaum intelektual untuk dapat kembali kepada perannya di masyarakat. Sebagai agent of change dan agent of social control.

Hendra Fokker
Hendra Fokker
Pegiat sosial yang suka jalan-jalan untuk berbagi dongeng kepada anak-anak dimana saja
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.