Peristiwa isra Mikraj lahir dari fenomena kesejarahan yang termuat dalam teks-teks keagamaan; surah al-Isra, surah al-Najm, atau dalam riwayat-riwayat hadis. Sebagai suatu teks, komposisi pemahamannya digali dari realitas interpretasi, baik secara subjektif maupun metodologis. Maka lahirlah horison konstruktif-relatif yang dilakukan oleh para ahli atau peneliti.
Ada sejumlah konsep heurmeneutika yang digunakan dalam menafsirkan suatu teks. Salah satu contoh adalah pendekatan semiotik (semiologi) yang menekankan bacaan linguistik-leksikal pemaknaan, analisis dekontruksi teks yang melibatkan pemahaman-pemahaman konseptual, atau rekontekstualisasi eksistensial yang berusaha memproduksi makna baru dalam horison pembacanya.
Begitupun dengan bacaan fenomenologis, yaitu usaha menginterpretasi suatu teks yang dilakukan untuk memvalidasi, mendalami, dan mengkoreksi dengan mempertimbangkan struktur objektif teks. Unsur yang digunakan adalah rangkaian peristiwa kesejarahan; kajian realitas, situasi sosio-kultural, dan problem historis ketika peristiwa isra mikraj itu terjadi. Cara yang ditempuh dengan membentangkan jarak dengan konteks kekinian.
Struktur historis isra mikraj sudah dikekalkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, Peristiwa isra mikraj merupakan respon terhadap kejadian yang menimpa Nabi Muhammad Saw. pada masa itu. Kejadian isra mikraj terjadi pada suatu masa, dimana Nabi Saw. mengalami cobaan yang sangat berat yang disebut ‘ammul huzni atau tahun kesedihan. Saat itu Nabi Saw. kehilangan dua sosok berperan dan berpengaruh dalam hidupnya, yakni Abu Thalib dan Siti Khadijah wafat yang menjadi support system terhadap dakwah beliau.
Secara fenomenologis, peristiwa isra ini dimaksudkan untuk menghibur nabi yang berada dalam masa kegalauan. ini bisa dilihat dari peristiwa isra mikraj yang tidak biasa. Bisa dikatakan bahwa peristiwa ini adalah rekreasi untuk seorang hamba dan apresiasi saat ia telah melewati ujian dan cobaan yang sangat besar dengan bersabar dan tetap tawakal serta tetap husnudzan kepada ketentuan Allah.
Hal ini merefleksikan keberhasilan selalu dibangun dengan cobaan dan kesabaran melewatinya. Keberhasilan dakwah nabi di sini, mislanya, dibangun dalam perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa hebatnya. Cobaan datang silih berganti berupa cacian dari orang lain hingga wafatnya orang-orang yang mendukung dakwah beliau. Akan tetapi, beliau melewati itu semua dengan sabar dan tawakal. Walhasil, keberadaan agama Islam dapat dirasakan oleh umat hingga saat ini, berupa kemerdekaan, kemanusiaan, dan persaudaraan.
Kedua, diperlihatkannya tanda-tanda kekuasaan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw yang diabadikan dalam surat an-Najm ayat 1-18. Dalam peristiwa isra itu diperlihatkan kejadian-kejadian mengagumkan seperti mengimami shalat para peristiwa nabi dan malaikat di Masid al-Aqsha dan adanya pilihan di antara tiga bejana yang berisi susu, air, dan khamr.
Hal yang diperlihatkan juga pemandangan di tiap tingkat langit, serta penghuni neraka dan surga pada masa yang akan datang. Dan klimaksnya ada pada pertemuannya dengan Allah dan mendapat perintah shalat wajib yang asalnya lima puluh waktu menjadi bersisa lima waktu.
Hal yang direfleksikan dari fenomenologi yang kedua ini adalah tanda kebesaran Tuhan sebagai relasi simbol untuk menumbuhkan keimanan dan meningkatkan ketakwaan dalam diri seseorang. Artinya, Islam tidak hadir dengan dogma atau doktrin yang hanya termuat dalam teks-teks, melainkan Islam juga dapat dipahami melalui riset nalar dan dialektika berfikir terhadap kejadian luar biasa di alam semesta (kosmologi).
Umat Islam tidak hanya melulu dituntut berzikir mengingat Tuhan tapi juga berfikir untuk mewujudkan kemasalahatan. Ada banyak sekali permasalah yang muncul dalam dinamika kemanusiaan, di bidang hak asasi manusia, teknologi, politik, kesehatan, dan ekonomi. Umat Islam harus bisa menghasilkan solusi yang bisa menjawab persoalan tersebut dengan ikhtiar menggali makna esetoris dari ayat-ayat al-Quran maupun tanda-tanda kekuasaan Tuhan.