Tahun 1442 hijriah atau 2021 masehi merupakan tahun kedua pelaksanaan haji dalam kondisi masih mewabahnya secara global Covid-19. Harapan kita semua semoga pandemi Covid-19 segera berakhir dan pelaksanaan haji pada 2022 dapat berlangsung secara normal. Banyak sekali saudara kita umat Islam dari berbagai belahan penjuru dunia dan khususnya Indonesia yang sudah begitu rindu sekali menjadi daftar tunggu bertahun-tahun (waiting list) untuk menunaikan ibadah rukun Islam kelima di tanah suci Mekah dan Madinah.
Tentunya pelaksanaan haji di masa pandemi tidak seperti pelaksanaan haji di masa normal sebelum adanya wabah global Covid-19. Jumlah jamaah yang biasanya dapat mencapai dua jutaan jamaah tetapi sekarang dibatasi hanya sekitar enam puluh ribu jemaah dengan protokol kesehatan yang ketat. Jemaah haji hanya berasal dari penduduk semua bangsa dan warga negara di dalam Kerajaan Arab Saudi. Ini merupakan bentuk regulasi dan prosedur Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi yang senantiasa memberikan perhatian besar terhadap keselamatan, kesehatan, dan keamanan jemaah haji. Hal ini selaras dengan tujuan syariah Islam dalam melestarikan jiwa manusia.
Bagi yang memiliki pengalaman haji apalagi di masa pandemi, tentunya akan menjadi pengalaman keagamaan yang mengesankan karena pasti berbeda sekali dengan kondisi normal. Tetapi yang memiliki pengalaman haji sebelum pandemi juga pasti akan selalu menjadi pengalaman keagamaan terindah yang tidak akan pernah lupa sepanjang masa hidupmya hingga dapat dijadikan teladan untuk menanamkan nilai pendidikan karakter atau akhlak pada anak dan keluarga sendiri khususnya. Berikut ini gambaran pelaksanaan haji dari kawasan Armina yang penulis rasakan pada musim haji 2007.
Setelah pengumuman resmi Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terkait penetapan 1 Dzulhijjah, tibalah waktunya persiapan pelaksanaan puncak haji. Suasana di kota Mekah begitu sibuk menyambutnya. Kantor dan sekolah libur panjang. Kalau di Indonesia biasanya pemerintah dan masyarakat sibuk dan libur panjang pada Hari Raya Idulfitri. Semua jemaah terlihat gembira dan senang ingin segera berhaji yang sudah lama dinanti-nantikan. Ini begitu terasa sekali bagi jemaah haji yang waktu kedatanagan ke tanah suci sudah paling awal atau masuk ke dalam rombongan penerbangan gelombang pertama.
Rapat-rapat koordinasi dan teknis lapangan dilakukan oleh tiap rombongan yang dipimpin oleh ketua rombongan (karo) dan regu (karu), persis seperti mau melakukan kegiatan dengan perjalanan jauh. Tibalah waktunya (H-1) menggunakan pakaian ihram dimulai dari tempat tinggal masing-masing di Mekah untuk menuju Kawasan Armina (Arafah-Muzdalifah-Mina).
Mempersiapkan diri dan fokus untuk wukuf di padang Arafah sebagai inti prosesi haji pada 9-10 Dzulhijah. Waktunya di mulai setelah waktu Zuhur sampai menjelang matahari terbenam. Waktu ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menunaikan salat Zuhur dan Ashar dijama’ atau gabung, mengikuti khutbah Arafah, berdo’a, dzkir, dan merenungi diri kita sebagai khalifah dan hamba Alloh SWT. Tidak perlu khawatir dengan urusan logistik seperti makan dan minum, karena semua sudah dijamin pemerintah sebagai penyelenggara haji. Pada saat itu penyajian makanan dan minuman secara prasmanan. Ada coffe shop yang lokasinya di antara beberapa tenda.
Selesai wukuf di Arafah, selanjutnya bergerak ke kawasan Masy’aril Haram Muzdalifah. Lokasinya berada antara Arafah dan Mina yang di dalamnya jemaah haji melakukan bermalam atau mabit. Di sini banyak salah persepsi yg dilakukan jemaah yaitu ke Muzdalifah hanya melintasi saja tanpa sebab yang memaksa dan mengambil batu untuk bekal melontar dan setelah itu langsung ke Mina. Hal ini perlu mendapat perhatian, bahwa tujuan utamanya adalah bermalam atau mabit sampai lewat tengah malam atau subuh lebih utama dan ke Mina untuk melontar jumroh.
Selanjutnya, drama perang melawan setan segera dimulai dengan berjalan kaki dari Muzdalifah menuju lokasi jamarat di Mina. Perjalanan panjang dan sempat dibuat berputar-putar oleh pasukan keamanan Kerajaan Arab Saudi untuk menghindari penumpukan pada titik-titik tertentu karena karena banyaknya manusia yang melintas agar tidak menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan. Perjalanan panjang ini tidak membuat rombongan jemah lelah, tetapi justru semakin semangat di tengah lautan umat manusia. Sempat terlintas kekhawatiran ketika mengingat pesan orangtua yang menceritakan pengalaman hajinya di era 70-80an bahwa dalam prosesi melempar jumroh sering terjadi kecelakaan karena jalurnya hanya satu dan dinding jamarat berupa tugu tiang.
Akhirnya, menjelang waktu subuh sampai juga di tempat melontar jumrah pada simbol tugu setan yang paling akhir (Aqabah). Tugu ini akhirnya dapat dirobohkan setelah melewati simbol tugu setan pertama (Ula) dan tengah (Wustha) menggunakan senjata kerikil. Banyak jalur bertingkat dan tugu dinding jamarat yang lebar semakin nyaman dalam perang melawan setan.
Secara simbolik jemaah haji menang tetapi apakah substansi sifat setan-setan yang ada dalam diri sendiri seperti sifat sombong, merasa kaya, pintar, soleh, ganteng, dan lain-lain sudah terpental juga?. Semoga Alloh selalu membimbing kita untuk selalu belajar menerapkan makna dibalik melontar jumroh dalam kehidupan kita dan sebagai sumber pembelajaran nilai pendidikan karakter atau akhlak sepanjang hidup kita. Wallahua’lam.