Dalam sejarah, paling tidak, ada tiga perjalanan yang sangat fenomenal dialami oleh Nabi Muhammad saw: Hijrah, isra mikraj dan haji. Hijrah adalah perjalanan Nabi dari kota Mekah ke Madinah. Kehidupan Nabi dan umat Islam di Mekkah saat itu sudah tidak kondusif dan mendapat teror dari penduduk kafir Mekkah, maka demi keselamatan dan keberlangsungan hidup, Nabi dan umatnya melakukan hijrah, pindah meninggalkan Mekkah menuju ke Madinah (saat itu bernama Yatsrib).
Di Madinah inilah Islam berkembang pesat dan komunitas Islam bertambah. Piagam Madinah (mitsaq Al-Madinah) menjadi semacam icon dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dengan beragam keyakinan, suku dan adat istiadat dapat hidup harmonis dan demokratis.
Isra mikraj adalah perjalanan Nabi di malam hari dari Masjid Al-Haram di kota Mekkah ke Masjid Al-Aqsa di kota Yerusalem, Palestina, setelah itu Nabi melakukan perjalanan naik (mikraj) ke Sidratul Muntaha. Haji adalah perjalanan berkunjung ke Masjid Al-Haram Mekkah untuk menunaikan serangkaian ibadah (ritual) yang telah ditentukan secara syari’i.
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. Mampu, dalam hal ini, berarti mampu dalam berbagai segi, terutama jasmani, ruhani (mental), ekonomi juga keamanan.
Wajib sekali seumur hidup, berarti tidak wajib hukumnya berkali-kali menunaikan ibadah haji. Selebihnya boleh-boleh saja atau hukumnya mubah (sunah). Makanya kebijakan Menteri Agama yang sekarang, yaitu memprioritaskan bagi yang belum pernah berangkat haji dan sudah lanjut usia daripada yang sudah berhaji untuk menunaikan ibadah haji adalah kebijakan yang tepat, perlu diacungi jempol dan mesti diapresiasi.
Apalagi kenyataan sampai hari ini daftar tunggu calon jamaah haji kita membutuhkan waktu yang lumayan panjang atau lama sekali, dan bahkan secara timeline tidak saja belasan tapi tampaknya sudah mencapai puluhan tahun.
Yang menarik dari tiga perjalanan yang fenomenal ini (hijrah, isra mikraj dan haji) adalah berangkat dan berputar dari, dalam dan kepada Allah (minallah, fillah dan ilallah). Tujuannya jelas, berporos, berpusat dan berorientasi untuk Allah, tidak untuk yang selain-Nya. Lillahi ta’ala. Perjalanan yang sama-sama tujuannya yaitu menuju dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Nabi saw pun menyatakan, “al-hajju ‘arafah“. Artnya, haji itu (wukuf di) ‘Arafah, yang menjadi salah satu rukun sahnya haji. Tidak sah berhaji jika tidak wukuf di ‘Arafah. Kata “‘arafah” sendiri berasal dari akar kata “‘arafa“, “arif“, “irfan” atau “ma’rifah” berarti “mengetahui”, anonim dari kata “jahala“, atau “jahil” artinya “tidak tahu” atau “bodoh”.
Diharapkan bagi yang berhaji, dapat melahirkan sikap kesadaran diri dan mawas diri (tahu diri, arif, bijaksana, wisdom) bahwa dari setiap helaan nafas dan sepanjang hidupnya selalu berpaut dengan kesadaran akan keberadaan Allah, Tuhan semesta alam yang mengatur hidup ini.
Fenomena terbaru dari biro perjalanan haji dan umrah “First Travel” yang melakukan penipuan terhadap jamaah, tidak sedikit oknum pejabat menyalahgunakan wewenang, antrian panjang daftar tunggu calon jamaah haji hingga belasan bahkan puluhan tahun lamanya, dan maraknya masyarakat berangkat umrah adalah bukti antusiasme keberagamaan umat Islam untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.
Hal ini tentu di samping sangat menggembirakan tapi juga memprihatinkan. Menggembirakan karena kesadaran umat Islam dalam beragama sangat tinggi. Konsekuensinya adalah lahirnya komunitas Islam yang baik atau salih, baik kesalihan individu maupun kesalihan sosial. Perilaku yang tidak baik atau tidak terpuji menjadi berkurang pelakunya.
Pelanggaran terhadap norma-norma hukum, pelanggaran moral, kriminalitas misalnya, tidak akan banyak terjadi lagi di masyarakat. Karena tadi, banyaknya orang baik di negeri ini. Orang yang sudah berhaji (mestinya) menjadi orang baik dan salih.
Memprihatinkan karena realitas menunjukkan ibadah haji tidak membekas dan kurang berpengaruh banyak terhadap perubahan dan perbaikan akhlak dan moral orang yang telah menunaikan ibadah haji. Sebelum dan sesudah berhaji tidak jauh berbeda dan begitu-gitu saja perilakunya. Perilaku tidak terpuji masih saja dilakukan oleh orang yang notabene sudah berhaji. Perilaku korup, sombong dan zalim misalnya, kerap dilakukan oleh orang yang mengaku sudah berhaji dan itu sudah menjadi hal yang biasa saja selama ini.
Jangan-jangan fenomena tadi, yaitu antusiasme dan semangat keberagamaan umat Islam dengan tingginya keinginan berangkat menunaikan ibadah haji adalah sekadar menebar citra diri (pencitraan) atau sebatas status sosial atau ingin disebut “haji” alias sekadar ingin menyematkan atau menambah satu huruf “H” di depan namanya yang menjadi kebanggaan dan cenderung pamer diri dan (ta)kabur itu.
Tidak afdol, kalau huruf “H” itu tidak dicantumkan, ditulis atau disebut di depan namanya setelah menunaikan ibadah haji. Bahkan ada yang sampai protes, keberatan, tidak terima dan minta dicantumkan.
Mendapatkan huruf itu — “H” dipanjangkan dan dieja menjadi “h-a-j-i”, sekadar tahu saja dan ini nyata — harus susah payah, biayanya mahal dan jaraknya jauh lagi. Makanya, wajar saja. Begitu logika berpikir mereka yang sekadar berburu huruf “H” dalam ritual haji. Naif dan memprihatinkan memang. Itulah Indonesia. Na’uzdu billah min dzalik.
Kalau begitu, untuk apa berdo’a dan mendekatkan diri pada Tuhan saja harus bersusah payah dan jauh-jauh pergi ke Mekkah? Apa kalau kita berdo’a di sini, memangnya Tuhan tidak mendengar do’a kita? Lalu untuk apa berhaji?
Pertanyaan-pertanyaan nakal tersebut yang ditulis Komarudin Hidayat dalam bukunya “Wisdom of Life” ini dapat kita jadikan renungan. Atau coba kita cermati kritik Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri) dalam salah satu bait puisinya, “Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri. Mencari pengalaman spiritual dan material. Membuang uang kecil dan dosa besar. Lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi, Haji.”
Ini tidak lain, agar berhaji kita betul-betul tidak sekadar simbol tapi bermakna bagi diri dan kehidupan kita. Berhaji yang mabrur. Tapi walaupun begitu, kita tetap yakin bahwa tidak semua orang yang berangkat haji seperti itu. Pasti tidak semua orang naik haji itu melulu dan cuma sekadar mengejar atau berburu huruf “H”.
Sayang sekali kalau ada orang berhaji seperti itu. Artinya bahwa masih banyak orang yang berangkat haji yang niatnya tetap bersih, tulus dan lurus untuk mendekatkan diri pada Allah dan ingin meraih haji mabrur. Haji mabrur tetap menjadi obsesi dan cita-cita jamaah haji.
Haji mabrur, yang kata Nabi, tidak ada balasannya kecuali surga. Jadi, siapa yang tak ingin masuk surga? Haji mabrur itu pasti diperoleh sesudah selesai menunaikan ibadah haji. Dan efeknya juga pasti setelah kembali dari menunaikan ibadah haji. Kesalihan individu dan kesalihan sosial adalah buah dari haji mabrur itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al-shawwab.