Pemilihan Umum 2024 sudah terlewati, dimana visi-misi calon presiden dan wakil presiden pada pemilu yang lalu sedikit tidaknya ada menyinggung isu disabilitas. Hal tersebut menjadi hembusan angin segar terhadap abu-abu terwujudnya inklusivitas di Indonesia. Sehingga menjadi menarik untuk kita merefleksikan dan mengangkat kembali isu partisipasi politik kelompok disabilitas, mengingat dalam waktu dekat kita akan menghadapi pemilukada untuk pemilihan kepala daerah.
Sebelum kita merefleksikan lebih lanjut mengenai partisipasi politik kelompok disabilitas, perlu untuk kita ketahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan partisipasi politik dan pengaturannya.
Mengenal Partisipasi Politik
Politik menurut Miriam Budiardjo adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik dan tidak terlepas dari konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy) dan alokasi atau distribusi.
Berangkat dari amanat konstitusi kita pada pasal 28D ayat (3), dimana disana disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Amanat tersebut kemudian diimplementasikan lebih lanjut dari adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Pada pasal 25 ICCPR diatur bahwa warga negara harus memiliki hak dan kesempatan tanpa pembedaan, yang salah satunya untuk ikut serta dalam urusan pemerintahan, memilih dan dipilih dengan hak pilih universal yang sama. Pun jaminan hak politik penyandang difabel juga telah diatur secara khusus dan sedemikian rupa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 khususnya pada pasal 13.
Kondisi Partisipasi Politik Penyandang Disabilitas
Semerbak harum dari pengaturan tersebut nampaknya tidak sejalan dengan kondisi realita yang ada. Mari kita mulai refleksi kita dari pelaksanaan pemilu 2024 yang lalu.
Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan data jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu yang mencapai angka 204.807.222 orang dan nyatanya hanya sebanyak 1.101.178 orang yang merupakan penyandang disabilitas atau dengan kata lain hanya 0,537% dari jumlah keseluruhan pemilih tersebut.
Padahal bila kita melihat jumlah penyandang difabel di Indonesia yang dikutip dari artikel yang dirilis oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) pada Juni 2023 lalu, penyandang difabel di Indonesia mencapai 22,97 juta orang atau sekisar 8,5% persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Bila kita perhitungkan secara kotor, maka data tersebut menunjukkan bahwa terdapat selisih 21 juta orang yang tidak terdaftar sebagai DPT pada pemilu lalu atau dengan kata lain hanya ada sejumlah 4,8% pemilih difabel dari keseluruhan jumlah penyandang difabel.
Bahkan dikutip dari artikel Kementerian Kesekretariatan Negara, hanya ada 9 orang difabel yang maju dalam kontestasi politik memperebutkan bangku senayan pada pemilu 2024. Sudah terlihat bukan bagaimana kondisi partisipasi politik penyandang disabilitas?
Pentingnya Partisipasi Politik
Pertanyaan lanjutan yang muncul atas kondisi politik penyandang disabilitas tersebut yakni memang apa pentingnya partisipasi politik?
Untuk menjawab hal tersebut mungkin sedikit kita bahas mengenai partisipasi politik, Samuel P. Huntington dan Joel Nelson dalam bukunya Political Participation in Developing Countries, mendefenisikan partisipasi politik sebagai peran warga negara yang dilakukan dengan tujuan mempengaruhi pengambilan keputusan.
Sehingga dari pengertian politik yang sudah disinggung sebelumnya dan pengertian partisipasi politik tersebut, partisipasi politik menjadi amatlah penting untuk menggapai kehidupan yang lebih baik dengan mempengaruhi pengambilan keputusan atas kebijakan.
Partisipasi politik disabilitas tersebut dapat terwujud melalui aktifnya peran penyandang difabel dalam memilih pada pemilu atau bahkan menjadi kontestan dalam kontestasi politik itu sendiri. Dalam negara demokrasi diakui bahwa Rakyat punya kehendak, itulah yang dikatakan oleh Rosseau. Demikian penyandang disabilitas yang juga memiliki kehendak dan General Will. Kehendak tersebutlah yang penting untuk dituangkan dalam pengambilan kebijakan umum.
Oleh karena itu harapannya kedepan, partisipasi politik kelompok disabilitas dapat terus digenjot dengan upaya-upaya yang tepat guna, agar para penyandang disabilitas tersebut dapat aktif menggunakan hak politiknya. Bukan hanya sebagai pemilih namun juga sebagai yang dipilih untuk merepresentasikan kebutuhan kelompoknya.
Sehingga dengan begitu terwujudlah representasi yang substantif sebagaimana dalam konsep yang digagas Hanna F Pitkin dalam buku Nuri Soeseno yang berjudul Representasi Politik. Dimana teori ini mengkonsepkan bahwa wakil melakukan kegiatan atas nama dan demi kepentingan orang yang diwakilinya. Dengan terwujudnya representasi substantif tersebut, niscaya gagasan, kebutuhan kita pribadi lepas pribadi akan lebih dapat tersampaikan karena kita satu kasut dengan para pembuat kebijakan.