Senin, Oktober 7, 2024

Refleksi Nggusu Waru, Karakter Kepemimpinan Masyarakat Bima

Muhammad Abdul Ghaniy Morie
Muhammad Abdul Ghaniy Morie
Penulis di Sarangge Kahawa Institute, meminati kajian keagamaan dan humaniora

Bima adalah salah satu daerah di bagian timur pulau Sumbawa. Bima merupakan daerah yang terbagi menjadi kabupaten dan kota, sebelumnya berbentuk kerajaan. Setelah menerima agama Islam (abad 17), berubah dari kerajaan menjadi kesultanan. Bima memiliki suku asli demikian pula bahasa bernama Mbojo. Masyarakat Bima memiliki sejarah peradaban yang gemilang, serta dapat dikaji jejak peninggalannya.

Budaya sebagai jati diri masyarakat Bima tidak kemudian hilang setelah hadirnya Islam. Justru Islam hadir sebagai penguat eksistensi budaya. Hilir Ismail mengutip Peter Cary, bahwa kesultanan Bima merupakan kesultanan di Indonesia bagian timur yang tersohor karena ketaatannya pada agama Islam.

Selain itu, masyarakat Bima diakui sebagai masyarakat yang taat pada sistem budayanya dan berpegang teguh pada norma agama. Menyadari akan hal itu, A Couver, seorang asisten residen pemerintahan Belanda untuk Sumbawa dan Sumba menyatakan, bahwa untuk menguasai kesultanan Bima hanyalah dengan melemahkan adat dan budayanya (Mutawalli, 2013: 2).

Saat awal kehadiran Islam di Bima, oleh para ulama dan sultan, Islam diformulasikan secara khusus agar kemudian dapat diterima oleh masyarakat luas (Aminullah, 2022: 5). Para ulama dan sultan membuat satu gagasan baru yang kemudian dapat dijadikan landasan atau filosofi bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi para pemimpin/sultan agar dapat memaksimalkan potensi dirinya dan mampu mengayomi masyarakat yang dipimpinnya. Konsep ini kemudian disebut Nggusu Waru, yang digali dari intisari nilai-nilai ajaran Islam, guna memperkaya gagasan yang terkandung dalam adat. Sehingga dalam penerapannya, tidak hanya merepresentasikan budaya, tapi juga mengamalkan spirit agama itu sendiri.

Kita mengetahui filosofi kepemimpinan Jawa, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Filosofi Jawa tersebut menggambarkan bagaimana cara memimpin atau bagaimana perilaku seorang pemimpin terhadap rakyat atau masyarakat yang dipimpin, sedangkan Nggusu Waru menggambarkan karakter atau sifat yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.  Namun, patut dihargai, filosofi Jawa tersebut telah diangkat menjadi filosofi kepemimpinan nasional yang diteladani dan dipelajari seluruh masyarakat Indonesia (Badrun, 2008: 3).

Budaya lokal sangat erat kaitannya dengan nuansa filosofis. Nggusu Waru dalam bahasa Bima berarti: nggusu “sudut, persegi” dan waru “delapan”, dengan kata lain, delapan dimensi yang berisi nilai moral, budaya, dan agama. Nggusu Waru merupakan sifat yang harus dimiliki dan diterapkan oleh raja/sultan ketika memimpin. Konsep Nggusu Waru lahir setelah Islam hadir di Bima, bukan syarat untuk menjadi raja dan sultan, sebab raja sudah ada sesuai turunan lurus, tetapi Nggusu Waru sebagai penetapan sifat atau karakter.

Nggusu Waru dijadikan sebagai tuntunan sultan, perangkat istana dan pejabat lainnya dalam memmimpin dan melaksanakan tugas. Tak hanya itu, isi Nggusu Waru pun dijadikan pegangan bagi masyarakat. Dengan demikian, sultan dalam memimpin dan melaksanakan tugasnya, sesuai dengan kehendak dan harapan masyarakat yang dipimpin (Hasnun, 2021: 10).

Secara konseptual, filosofi Nggusu Waru diambil dari nilai-nilai universal agama Islam, yang kemudian diungkapkan melalui bahasa Bima sebagai perwujudan budaya, agar dapat dipahami oleh masyarakat secara praktis. Sehingga dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Bima diharapkan selalu memegang prinsip-prinsip universal Islam yang terkandung dalam konsep Nggusu Waru, misalnya: matoa di Ruma, loa ro bade, londo dou, ruku ro rawi, mantiri nggahi kalampa, mapoda nggahi paresa, mbani ro disa, tenggo ro wale.

Menurut beberapa pakar, secara redaksional berbeda, namun tetap tertuju pada makna yang sama (Malingi, 2021: 62). Secara umum nilai-nilai tersebut memiliki makna, yaitu: taat kepada Allah dan Rasul (takwa), berilmu, keturunan orang baik, jujur, adil, mengayomi dan memberikan teladan melalui ucapan dan sikap, berani bertanggung jawab, sehat jasmani rohani.

Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa Nggusu Waru merupakan nilai yang harus dimiliki oleh masyarakat Bima khususnya pemimpin, baik di tingkat bawah maupun di tingkat atas. Pertalian etika agama dan budaya yang terkandung dalam konsep Nggusu Waru mengingatkan masyarakat Bima agar menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah, memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, jujur dan adil, menjaga hubungan baik antar sesama dengan bertanggung jawab atas kepentingan umum, karena yang terpenting bagi pemimpin adalah menjalankan amanah terhadap orang yang dipimpinnya.

Butir-butir dalam Nggusu Waru merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan satu dengan yang lain. Pertautannya dapat dilihat sebagaimana persegi delapan yang setiap sudut atau seginya bertemu dan bersatu sehingga membentuk segi delapan yang kokoh. Begitupun dalam mentransformasikannya dalam bentuk perilaku. Nggusu Waru sebagai sebuah konsep akan menjadi semakin kuat eksistensinya ketika dipraksiskan dalam kehidupan nyata.

Nggusu Waru dapat menjadi jawaban dari problem demokrasi hari ini, yaitu maraknya praktik politik transaksional (money politic) di tengah-tengah masyarakat. Pemilihan pemimpin tidak lagi berbasis nilai moral dan budaya, tapi hanya pertaruhan hal-hal yang bersifat materialistik belaka.

Nggusu Waru hadir sebagai konsep yang egaliter, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Konsep yang mengharmonikan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama dan alam sekitar, sebagai ekspresi dan aktualisasi kodrat manusia dalam ruang lingkup tradisi, budaya dan agama.

Secara kontekstual, karakter kepemimpinan Nggusu Waru selaras dengan spirit demokrasi yang berpegang teguh pada nilai transparansi, jujur, adil dan musyawarah. Hal ini merupakan wujud masyarakat berperadaban, dan mesti dijaga dalam memori dan perilaku kolektif. Sehingga diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia dan pemimpin ideal bagi daerah Bima.

Referensi

Ahmad Badrun. “Filsafat Nggusu Waru dalam Tradisi Lisan Bima dan Relevansinya dengan Ciri Kepemimpinan Modern”, dalam Jurnal Mabasan, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2008.

Alan Malingi. Petuah Tanah Bima: Memutar Kembali Memori Saat Petuah Membumi di Tanah Bima. Bima: el-Sufi Publishing. 2021.

Anwar Hasnun. Catatan Tercecer: Sifat Kepemimpinan Nggusu Upa, Nggusu Ini, Nggusu Waru dan Relevansinya dengan Sifat Kepemimpinan Modern. Yogyakarta: Bildung. 2021.

Muhammad Aminullah. “Humanisme Religius Berbasis Budaya Qurani dalam Falsafah Hidup Masyarakat Bima” dalam Disertasi. Jakarta: Institut PTIQ. 2022.

Muhammad Mutawalli. Islam di Bima: Implementasi Hukum Islam Oleh Hukum Syara’ Kesultanan Bima (1947-1960). Mataram: Alamtara Institute. 2013.

Muhammad Abdul Ghaniy Morie
Muhammad Abdul Ghaniy Morie
Penulis di Sarangge Kahawa Institute, meminati kajian keagamaan dan humaniora
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.