29 Agustus 2005 adalah hari berkabung bagi seluruh warga bangsa Indonesia. Negeri ini, 13 tahun yang lalu telah kehilangan seorang begawan teladan, guru bangsa yang telah berjasa dalam membangun demokrasi dan menyemai toleransi di tengah kehidupan yang plural. Tak lain, beliau adalah Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur (1939-2005)
Menurut Muhammad Wahyuni Nafis, Ketua Nurcholish Madjid Society (NCMS), banyak pemikiran Cak Nur yang hari ini masih sangat relevan untuk dikajidan diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama di Tanah Air. Satu contoh konkret dari beberapa yang pemikiran beliau adalah soal “Islam Yes, Partai Islam No”.
Pemikiran tersebut beliau lontarkan pada awal 1970-an, dan terasa menemukan konteksnya kembali di tahun politik 2018-2019. Kini, agama rentan dipolitisasi untuk kepentingan syahwat politik tertentu (Kompas, 28/8/2018).
Wafatnya Cak Nur ini selalu diperingati setiap tahun sebagai media untuk menghidupkan kembali pemikiran-pemikirannya. Oleh sebab itu Nurcholish Madjid Society (NCMS) yang dikomandani Muhammad Wahyuni Nafis mengadakan Haul Cak Nur yang ke-13 pada Selasa, 28 Agustus 2018 di Jakarta, dengan mengangkat tema “Politisasi Agama : Membaca Kembali Islam, Yes, Partai Islam, No”
Nurcholish Madjid adalah tokoh terpenting bangsa ini selain Gus Dur. Pengaruhnya sangat besar dalam pemikiran Islam di Indonesia. Banyak pemikiran yang beliau wariskan kepada kita, penerus bangsa, untuk menjaga terus kerukunan umat beragama di negeri tercinta, Indonesia, yang sangat plural ini. Di sini, saya tidak akan mengungkapkan seluruh sumbangan pemikirannya.
Sumbangan pemikiran Cak Nur salah satunya adalah menyangkut demokrasi. Demokrasi yang beliau maksud adalah menyangkut makna dan hakikat demokrasi serta pentingnya oposisi loyal. Menurutnya, keberadaan partai oposisi dibutuhkan di Indonesia untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi. Eksistensi partai oposisi akan mengefektifkan terjadinya kontrol serta check and balance dalam kehidupan berengara. Demokrasi dan perlunya partai oposisi di atas merupakan sesuatu hal yang masih cocok atau relevan dengan kondisi kekinian.
Jika kita melihat fakta objektif di lapangan, tak kita temukan satu partai pun yang berani secara konsepsional, baik sudah dipersiapkan atau belum, untuk menjadi partai oposisi dengan segala konsekuensinya.
Memang, sekarang, ada partai politik yang berdiri mengatasnamakan sebagai oposisi pemerintah tapi bukan atas dasar di atas, lebih karena alasan gengsi dan egoisme elit politik saat “kalah perang” dalam pemilu baik pileg atau pilpres. Tetapi ketika pemerintah menawarkan “kue bagian” kepada mereka, banyak dari mereka yang tak tahan dan akhirnya ikut dalam koalisi sang “pemenang perang”. Lebih tepatnya, sebutan yang tepat bagi mereka adalah pseudo oposisi (oposisi palsu).
Sumbangan lainnya dari pemikiran Cak Nur adalah menyangkut toleransi (Ulil Abshar Abdalla, Democracy Project, 2014) . Beliau menyebutnya dengan istilah “Islam Inklusif”. Sebuah sebutan bagi Islam sebagai ajaran yang sangat terbuka, tidak sebaliknya, yaitu eksklusif. Cak Nur dalam banyak ceramahnya mengungkapkan sekaligus memberi pemahaman kepada kita semua bahwa Islam itu adalah agama yang inklusif, agama yang tak menutup kebenaran-kebenaran yang bersifat universal dari agama-agama lain.
Menurut Cak Nur ; “Kebenaran Islam itu tidak eksklusif, tapi kebenarannya ada di mana-mana. Keselamatan itu bukan hanya milik orang Islam belaka, dan yang masuk surga juga bukan hanya orang Islam saja”.
Serentak ungkapan Cak Nur tersebut pun menjadi kontroversi sekaligus sentra perdebatan di antara para kyai konservatif saat itu, bahkan hingga kini. Tudingan, tuduhan, cibiran, julukan negatif bahkan label “kafir” pun tertuju kepadanya. Padahal argumentasi Cak Nur pun sumbernya ia kutip dari teks kitab suci, yaitu QS. Al-Baqarah: 62. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (Kiamat) serta beramal saleh, maka untuk mereka pahala mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran menimpa mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Artinya, agama Islam itu bukan agama eksklusif, tapi kebenarannnya adalah inklusif. Kebenarannya tersebut bisa ada di mana-mana. Dan barang siapa beriman-tentu sesuai dengan agama masing-masing- dan beramal saleh maka ia diganjar oleh Tuhan.
Islam Inklusif ini penting untuk membangun kehidupan yang toleran di Indonesia, karena kecenderungan sebagian kalangan muslim memahami Islam sebagai agama atau keyakinan yang eksklusif. Kebenaran diklaim hanya miliknya sendiri dan yang lain adalah salah.
Karena mereka salah, maka mereka dianggap sebagai kaum kafir. Dan sebutan-sebutan kafir tersebut dilekatkan kepada kaum nonmuslim. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “Apakah anda mau juga disebut kafir oleh mereka yang nonmuslim?”. Jawabannya, pasti tidak mau!
Jika semua pihak saling menuding kafir, maka kedamaian mustahil tercipta, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia tercinta ini. Padahal, negeri ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda dalam segala hal, termasuk agama dan keyakinannya.
Cak Nur menawarkan solusi terbaik, jitu sekaligus brilian untuk kehidupan keberagamaan di negeri ini. Beliau membawa angin segar, hawa kedamaian, hembusan kerukunan, seruling toleransi dan hal lain yang serupa dengannya, untuk seluruh pemeluk agama-agama di Indonesia.
Cak Nur membawa dan menawarkan pemahaman Islam Inklusif, Islam yang terbuka dan toleran terhadap yang lain, Islam yang jauh dari tindakan ancaman, kekerasan dan intimidasi terhadap pihak yang berbeda pemahaman dengannya. Mari kita rawat dan jaga terus warisan pemikiran Cak Nur ini demi terwujudnya Indonesia yang toleran, damai, demokratis dan sejahtera. Selamat dan sukses Haul Cak Nur yang ke-13, sukses juga untuk Nurcholish Madjid Society, semoga pemikiran beliau terus abadi dan lestari!