Sebagaimana kita ketahui, tanggal 22 Desember merupakan hari spesial bagi kalangan perempuan, khususnya bagi para ibu. Hari di mana ditetapkannya ibu sebagai manusia yang menjadi salah satu tonggak sebuah keluarga. Tonggak untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang baik dan menjadi kebanggaan di dalam keluarga. Maka tidak heran, banyak pihak mengatakan bahwa ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Momentum hari ibu sebenarnya bukan hanya satu hari saja, melainkan setiap hari dapat dikatakan hari ibu. Bagaimana tidak, ibu merupakan sosok yang sangat berjasa dan bersahaja karena dengan penuh kasih sayang ia curahkan kepada anak-anaknya sepanjang hidupnya. Kasih sayang itu ia curahkan tidak hanya ketika ia telah lahir, akan tetapi bahkan ketika ia dalam rahim.
Bagi seorang anak, ibu merupakan sumber cinta, sumber inspirasi ataupun sumber kehidupan di mana ia akan bermuara. Ibu merupakan sumber kesejukan ketika dunia sedang panas dengan atmosfir sosial-politik. Ibu juga mampu membalut luka anaknya ketika ia sedang dirundung pilu. Dari perlakuan ibu yang seharusnya kepada anak disitulah terdapat peran yang melekat dalam dirinya.
Setiap manusia memiliki peran yang tidak dapat dihindari dalam hidupnya, demikian seorang ibu. Peran seorang ibu yang biasa kita dengar bahwa peran ibu hanya dalam lingkup domestic space (pure ibu rumah tangga) saja. Hal itu mungkin istilah kuno masyarakat lampau yang hanya beranggapan bahwa ibu hanya berdiam diri di rumah mengasuh anak dan mengurus rumah.
Akan tetapi pada zaman modern saat ini, ibu tidak hanya masuk dalam lingkup domestic space saja, melainkan ia dapat masuk dalam ranah public space. Maka dari itu, melihat dua lingkup ini seorang ibu seharusnya bersikap proporsional (double burden) agar peran dualisme ini tetap berjalan secara beriringan.
Ungkapan bahwa seorang perempuan harus berpendidikan tinggi bukan karna untuk menyaingi para lelaki, akan tetapi dengan pendidikan tinggi tersebut seorang perempuan memiliki bekal yang cukup untuk mendidik anak-anaknya ketika ia telah menjadi seorang ibu. Dalam proses ia menuntut ilmu di dalam perguruan tinggi, ia akan mengalami proses kematangan emosional, spiritual dan bahkan intelektual. Maka dari itu, ia akan menjadi seorang ibu yang memiliki kesiapan yang matang untuk mendidik anak-anaknya kelak.
Potret Ibu Masa Kini
Secara garis idealistis, gambaran mengenai ibu sudah dapat terwakili dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya. Akan tetapi, jika kita melihat dari sisi realistis, terdapat beberapa ironi hari ibu yang sudah banyak menghiasi media cetak atau online yaitu banyaknya kasus mengenai seorang ibu yang melakukan praktek aborsi, kasus penganiyaan, serta pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri dengan berbagai lintas pendekatan. Tidak sedikit juga ibu yang membunuh anaknya secara psikologis.
Kasus aborsi sering kita jumpai dalam berita yang disajikan oleh media, seolah-olah tidak terkendali. Anak yang tidak diharapkan ini menjadi korban dari hubungan di luar pernikahan sehingga anak yang seharusnya masih tenang dalam rahim ibunya harus dikeluarkan secara terpaksa. Sungguh hal ini sangat miris sekali.
Belum lagi hadir sederetan kasus lainnya seperti penganiyaan anak atau bahkan pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri. Belum lama terdapat kasus di kota tetangga tepatnya di luar jawa yaitu kasus penganiyaan yang berujung kematian karena tersangka berdalih jika ia kerap dikerasi oleh suami sehingga melampiaskan dendam pada anaknya. Hal ini sungguh membuat miris dan menyakitkan bagi saya sebagai seorang perempuan. Bagaimana tidak, seorang ibu secara tega melakukan perlakuan yang tidak seharusnya.
Masih banyak lagi sederet kasus lainnya yang cukup membuat hati terenyuh. Kasus pembunuhan tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga secara psikis. Maksud membunuh anak secara psikis ini melalui kata-kata kasar yang diucapkan oleh seorang ibu sehingga ia membunuh tumbuh kembang anak. Akhirnya anak tersebut tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukan dan mencurahkan apa yang ia miliki.
Tingginya Angka Kematian Ibu
Euforia hari ibu memang sangat kita rasakan saat ini. Beberapa kalangan merayakannya dengan memberikan penghargaan atau ucapan kepada ibunya. Akan tetapi dibalik euforia tersebut ternyata ada ironi yang sepertinya belum dapat terpecahkan, yaitu masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI). Survei Demografi dan Kesehatan menunjukkan AKI di Indonesia berada pada angka 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tentu masih sangat jauh dari target kelima Millenium Development Goals (MDGs), yaitu pada 2015 mencapai 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Menjelang berakhirnya MDGs 2015, Indonesia masih menyisakan rapor merah terhadap penurunan target Angka Kematian Ibu.
Sangat disayangkan apabila ada ibu yang meninggal ketika ia melahirkan anaknya. Ia tidak dapat mencurahkan segala kasih sayang yang dimilikinya. Kemudian anak yang lahir tersebut menjadi yatim dan tidak dapat merasakan belaian kasih sayang ibunya. Angka kematian ibu (AKI) ini menjadi momok bagi para ibu ketika dalam keadaan hamil.
Dari berbagai realita yang terjadi saat ini menjadi PR bagi kita semua untuk turut andil dalam mengatasi ironi hari ibu. Sebagai seorang perempuan yang akan menjadi calon ibu, setidaknya saya dapat mengambil banyak pelajaran untuk tidak ikut terjerumus pada lubang yang sama. Untuk merubah peradaban yang kelam, kita harus memulainya dari diri kita sendiri serta orang-orang di sekitar kita.
Kesimpulannya, kita semua tahu bahwa ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya serta menjadi tonggak peradaban suatu bangsa. Perjuangan seorang ibu tidak tertenti pada saat ia melahirkan anaknya, akan tetapi perjuangan tersebut untuk seumur hidupnya untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya agar menjadi manusia yang beretika dan bermartabat.