Jumat, Maret 29, 2024

Refleksi Bulan Bahasa: Apa Kabar Perpres 63/2019?

Chafit Ulya
Chafit Ulya
Dosen Bahasa Indonesia di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret

Oktober adalah bulan yang sangat bersejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada bulan inilah, 92 tahun silam terjadi peristiwa Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak lahirnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dan bahasa Indonesia menjadi anak bungsu dari butir Sumpah Pemuda. Maka kemudian bulan Oktober ini dikenal juga dengan sebutan bulan bahasa.

Pada bulan seperti inilah semangat kebangkitan berbahasa Indonesia menggelora di mana-mana. Berbagai acara kebahasaan dihelat dalam rangka merayakannya. Momentum ini biasanya juga digunakan untuk meluncurkan produk-produk unggulan kebahasaan. Hal ini sebagaimana terjadi pada peringatan bulan bahasa tahun lalu, yakni disahkannya Peraturan Presiden 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

Peraturan ini merupakan kado istimewa dari Presiden Jokowi kepada para pegiat bahasa Indonesia. Gegap gempita mengiringi pengesahan peraturan ini. Berbagai harapan dan cita-cita menjadikan bahasa Indonesia lebih bermartabat di mata dunia pun segera membumbung tinggi. Seolah bermodal perpres saja bahasa Indonesia akan mampu berdiri segaris dengan jajaran top five bahasa dunia.

Kini, setelah setahun dikeluarkan, kita patut mempertanyakan, sudah sejauh mana Perpres tersebut memberikan perubahan? Sudah ada berapa pejabat yang berpidato menggunakan bahasa Indonesia di kancah internasional? Sudah ada berapa mall, hotel, atau tempat-tempat wisata yang berganti nama dengan kata dalam bahasa Indonesia? Sudah ada berapa forum internasional di Indonesia yang diselenggarakan dalam bahasa resmi negara Indonesia?

Jika belum banyak jawabannya, kita patut mempertanyakan, untuk apa peraturan tersebut distempel negara?

***

Pertanyaan di atas sebenarnya sangat berlebihan. Waktu setahun saya kira terlalu singkat untuk melihat terjadinya perubahan besar pada tataran kebahasaan. Jangankan setahun, UU 24 tahun 2009 saja yang menjadi induk dari Perpres di atas belum diimplementasikan sebagaimana mestinya.

Saya mencoba bertanya kepada seorang kawan yang bekerja di salah satu balai bahasa. Menurut penuturannya, selama setahun sudah dilakukan program sosialisasi, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Selain itu juga sudah dilakukan upaya penertiban bahasa di ruang-ruang publik. Berbagai kasus pelanggaran sudah dikumpulkan untuk dilakukan penertiban melalui program pengutamaan bahasa Indonesia.

Sekilas, pekerjaan yang dilakukan kawan saya ini fine-fine saja. Hanya saja, seberapa besar dampaknya bagi muruah bahasa Indonesia? Mungkin ada, tetapi kurang signifikan. Pandemi bisa menjadi salah satu sebabnya.

Selain pandemi, saya coba analisis dengan mengutarakan dua hal yang berkaitan dengan situasi ini. Pertama, ada banyak pasal abu-abu dalam Perpres. Kedua, program pengutamaan bahasa Indonesia kurang tepat sasaran.

Soal pasal abu-abu, kita bisa melihat kasus pada Pasal 33. Di sana dikatakan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”

Dalam konteks masyarakat global seperti saat ini, bisakah kita mengenali sebuah gedung perusahaan yang 100% sahamnya dikuasai oleh orang Indonesia tanpa sedikit pun dana dari orang asing bercampur di dalamnya. Sulit sekali rasanya. Lantas, dari mana kita dapat memastikan bahwa suatu gedung merupakan milik sepenuhnya WNI. Pasal ini jelas abu-abu sehingga sulit sekali (atau bahkan mustahil) ditegakkan.

Kemudian soal program pengutamaan bahasa Indonesia yang kurang tepat sasaran. Saya mendukung upaya penertiban bahasa di ruang-ruang publik. Penggantian atau minimal penambahan kata bahasa Indonesia di bawah istilah asing pada informasi, nama, petunjuk, dan sebagainya merupakan upaya nyata penguatan kedudukan bahasa Indonesia.

Akan tetapi, ruang-ruang publik itu apakah cukup pada tataran fisik belaka. Bukankah televisi, internet, atau media sosial adalah ruang publik yang perlu mendapatkan sentuhan juga. Taruhlah pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik mampu memenuhi target yang dicanangkan, apakah hal itu akan memberikan pengaruh signifikan pada perilaku berbahasa masyarakat kita? Kita sibuk dengan urusan fisik, sedangkan masyarakat kita disodori oleh praktik-praktik berbahasa yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia melalui acara-acara televisi, kanal-kanal youtube, dan sebagainya.

Jadi, ada baiknya ruang-ruang publik tersebut diperluas kepada ruang-ruang digital. Ini tentu saja medan laga yang jauh lebih sulit dibandingkan ruang publik fisik. Meluruskan kata “kami” dan “kita” di ruang digital saja sudah menjadi pekerjaan yang akan sangat melelahkan.

Oleh karenanya, sejujurnya saya lebih bersikap pesimistis terhadap implementasi Perpres 63. Karena bagi saya, setahun berjalan ini rasa-rasanya tidak ada perubahan apa-apa pada perilaku berbahasa kita. Tidak ada keteladanan dalam menjalankan peraturan ini secara konsisten.

Sampai pada gilirannya, harapan itu kembali muncul dari pidato Presiden Jokowi pada Sidang PBB, 22 September 2020 lalu. Saya bangga dengan pilihan Jokowi yang menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang itu. Lepas dari kontroversi yang ada, penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi pada forum internasional tersebut merupakan komitmen dalam mengimplementasikan produk peraturan yang ditandatanganinya.

Dalam hal ini, keputusan Jokowi perlu dicontoh. Keteladanan-keteladanan seperti ini akan menjadi potret nyata dalam upaya pembinaan bahasa Indonesia. Kita memerlukan lebih banyak figur panutan yang mampu menginspirasi. Ketika Presiden Jokowi sudah mencotohkannya, semestinya pejabat lainnya pun demikian.

Namun, kita tidak cukup mengandalkan komitmen seorang presiden semata. Di era digital yang menggelar fenomena berbahasa yang makin tak jelas arahnya, baik melalui televisi maupun internet, kita memerlukan figur-figur lain sebagai panutan sekaligus rujukan seperti yang ada pada sosok Ivan Lanin.

Dia adalah figur yang dibutuhkan dalam menyukseskan Perpres 63. Gaya tuturnya yang ringan dan cair, penguasaan kaidah kebahasaan yang tak diragukan, serta dukungan pembawaan personanya yang menyenangkan menjadikan sosoknya mudah diterima semua kalangan. Apapun yang berkaitan dengan kebahasaan, ketika itu keluar dari seorang Ivan Lanin, maka akan dengan mudah diterima masyarakat. Kita memerlukan orang-orang hebat seperti ini untuk mengawal sekaligus mengegolkan proyek peraturan ini. Andaikata ada lebih banyak orang macam Ivan Lanin ini, saya percaya, arah Perpres 63 akan semakin jelas.

***

Andaikata tidak ada perubahan arah kebijakan, Perpres ini tidak akan banyak memberikan perubahan. Hanya segelintir orang saja yang dapat mengambil keuntungan di belakangnya. Seperti yang selama ini saya lakukan. Dalam seminar-seminar internasional yang saya ikuti, saya selalu menutupi ketidakmampuan berbahasa Inggris dengan mengatakan, “Sorry, in this occasion, I will present in bahasa Indonesia”.

Dari mana prinsip itu didapat? Tentu saja dari Perpres 63 tahun 2019 pasal 27 ayat 1. Setidaknya, itulah cara saya menampar muka panitia penyelenggara yang cenderung ikut-ikutan bergaya internasional dengan mengesampingkan ketentuan peraturan yang belaku tentang penggunaan bahasa Indonesia.

Chafit Ulya
Chafit Ulya
Dosen Bahasa Indonesia di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.