Terhitung sudah 40 hari, tepat di hari Sabtu lalu (11/4/2020), Covid-19 memasuki Indonesia. Masuknya Covid-19 ini adalah bom waktu, yang memang pada akhirnya covid-19 ini masuk juga ke Indonesia.
Awalnya Covid-19 dikonfirmasi pemerintah telah masuk ke Indonesia tanggal 2 Maret 2020 (Kompas, 11 April 2020). Namun berjalannya waktu covid-19 ini cepat menyebar ke berbagai tempat di Indonesia—kini sudah semua provinsi di Indonesia terpapar covid-19 (Tirto.id, 11 April 2020).
Mungkin kita boleh berandai-andai jika kita lebih sigap di awal—ketika covid-19 belum masuk ke Indonesia—barangkali tak akan seperti sekarang dampak yang kita alami. Namun kembali lagi itu semua hanya pengandaian dan kabar buruknya kita tak memiliki mesin waktu untuk kembali ke waktu lampau.
Untuk kembali ke masa lampau adalah kemustahilan. Hal baik yang dapat dilakukan sekarang adalah berefleksi dan sembari melakukan apa yang dapat kita lakukan saat ini. Siapapun kita dan dimana kita saat ini—kita terikat tanggung jawab moral untuk berbuat kebaikan.
Kondisi “perang” yang kita alami sekarang ini mensyaratkan sebuah strategi yang jitu, strategi tersebut berupa produk kebijakan yang dibuat pemerintah. Work from home, learn from home, study from home, adalah salah satu hal yang dapat memutus rantai penyebaran covid-19 ini.
Namun pemerintah juga perlu mengantisipasi masyarakat pekerja informal yang tidak dapat bekerja dari rumah—bukan karena mereka ngeyel atau lain sebagainya, melainkan karena situasi yang tidak menghendaki mereka bekerja dari rumah.
Pemerintah menjawabnya dengan social safety net, terkait dengan social safety net, saya sangat mengapresiasi tindakan pemerintah dalam hal ini, namun Standard Operasional Procedure perlu diperhatikan sampai ke akar rumput. Social safety net perlu diawasi mulai dari anggaran yang dikeluarkan, mekanisme pembagiannya, serta paling penting adalah siapa orang yang menerimanya. Dengan demikian social safety net menjadi kebijakan yang tepat guna.
Kemudian terkait dengan garda terdepan penanganan covid-19, yakni dokter, perawat, dan tenaga medis. Kita sangat berharap kepada mereka. Sebagaimana perang panas yang memerlukan senjata, tank, dan peralatan tempur lain.
Dokter sebagai pasukan garis depan juga butuh APD (Alat Perlindungan Diri) yang lengkap dan siap untuk “perang”. Musuh kita kali ini adalah benda tak kasat mata. Disini peran pemerintah pada khususnya dan kita sebagai masyarakat dan warga negara pada umumnya menyuplai APD (Alat Perlindungan Diri).
Merujuk kepada tulisan Yuval Noah Hararri (Times, 15 Maret 2020) ada hal menarik untuk kita pahami bersama. Yuval Noah Harari menyatakan bahwa pandemi global yang saat ini dibarengi dengan krisis kepemimpinan global, akibatnya tidak ada solidaritas global yang terjalin dengan kuat untuk memerangi pandemi global ini. Kesatuan intelektual dan solidaritas global bagi Hararri penting untuk bersama mengatasi pandemi global ini.
Kita kaitkan thesis yang dibangun oleh Hararri tentang krisis kepemimpinan global dengan krisis kepemimpinan regional. Pemerintah dalam hal ini disetiap kesempatan seringkali menyampaikan himbauan untuk tetap di rumah, social distancing, phsycal distancing. Namun himbauan ini tidak diindahkan oleh semua masyarakat, sampai-sampai aparat militer TNI-Polri perlu menertibkanya.
Entah hal ini muncul dari krisis kepemimpinan atau hilangnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Atau bahkan muncul dari gaya komunikasi pemerintah yang tidak dapat ditangkap dengan baik oleh publik—padahal salah satu tujuan penting komunikasi adalah interkoneksi dari satu pihak terhadap pihak lain.
Narasi pemerintah saat ini adalah tentang membangun gotong royong. Gotong royong sesama anak bangsa untuk turut bahu-membahu saling menolong antara satu dengan yang lain.
Gotong royong selaras dengan kritik Harari terhadap lemahnya solidaritas global, maka gotong royong adalah antidot untuk setidaknya membangun solidaritas regional. Gotong royong yang dicetuskan bung Karno sebagai Eka sila sebenarnya bukanlah diksi baru.
Gotong royong adalah budaya asli Indonesia, dia lahir dari rahim masyarakat Indonesia. Jika gotong royong di era modern sekarang dinarasikan dan diwacanakan oleh pemerintah kembali, maka menjadi ironi tersendiri bahwa budaya kita, yang lahir dari rahim masyarakat Indonesia sebenarnya telah terdegradasi oleh budaya lain.
Jika Yuval Noah Hararri menyatakan bahwa dunia kehilangan solidaritas global atau bahkan krisis kepemimpinan global. Maka hari ini Indonesia kehilangan solidaritas regional atau lebih tepatnya degradasi budaya gotong royong itu sendiri, hal ini dibuktikan dengan narasi pemerintah yang terus menerus untuk menghidupkan kegotong-royongan.
Harus dipantik terlebih dahulu tentang kegotong-royongan. Padahal tanpa dipantik oleh pemerintahpun sebenarnya masyarakat Indonesia harusnya menghidupi kegotong royongan tersebut. Dampak positif covid-19 ini juga menjadikan masyarakat Indonesia untuk lebih menghayati dan menginternalisasi budaya asli Indonesia lebih khusus gotong royong.