Seekor serigala tak pernah menunjuk secara eksplisit siapa pemimpin kawanan, namun seluruh anggota kelompok memahami dan mematuhinya. Di pasar tradisional, orang-orang tetap tertib antre meski tak ada tanda atau suara yang memberi tahu siapa duluan. Di banyak ruang publik, kita tahu kapan harus diam, kapan harus memberi jalan, dan kapan harus mundur. Tak ada yang menginstruksikan, tak ada yang bicara. Namun dunia tetap berjalan. Apakah ini berarti bahwa kehidupan sosial kita tidak selalu bertumpu pada bahasa?
Dalam dunia yang semakin ramai oleh ujaran dan deklarasi, justru kita kerap melupakan kekuatan diam, isyarat, dan kebiasaan sebagai fondasi kehidupan sosial. Dunia sosial tak melulu dibentuk oleh kata. Sering kali, ia dibentuk oleh pengulangan tindakan yang tidak kita sadari namun kolektif. Inilah pangkal persoalan yang menarik untuk direnungkan: mungkinkah kita selama ini salah mengira bahwa bahasa adalah satu-satunya pembentuk realitas sosial?
Bahasa Tak Lagi Menjadi Syarat Mutlak
Dalam teori klasik sosiologi maupun filsafat bahasa, manusia diposisikan sebagai makhluk simbolik yang mengolah kenyataan melalui bahasa. Kita membuat kontrak sosial, mendirikan lembaga, menyusun hukum, semua lewat deklarasi verbal. Namun jika kita amati lebih dalam, sebagian besar kehidupan sosial kita tidak terbentuk lewat kesepakatan eksplisit, melainkan lewat praktik yang berulang, tertanam, dan lama-lama dianggap biasa.
Contoh paling sederhana adalah sopan santun. Anak-anak tidak belajar tata krama dari buku pelajaran bahasa atau pelatihan komunikasi. Mereka belajar dari pengamatan, dari konteks, dari bagaimana orang-orang dewasa bersikap dalam situasi tertentu. Mereka meniru, menginternalisasi, dan kemudian menjadikan itu bagian dari diri mereka. Proses ini nyaris tak memerlukan kata. Dan lebih dari itu, proses ini justru membentuk norma sosial yang jauh lebih kuat dari sekadar larangan atau perintah.
Dalam konteks ini, bahasa kehilangan kedudukannya sebagai pusat. Ia tetap penting, tentu. Namun ia bukan satu-satunya jalur untuk menciptakan struktur sosial. Bahkan bisa dikatakan, struktur sosial kerap tumbuh dari praktik yang didiamkan dari keteraturan yang tak pernah dijelaskan secara lisan tapi dipatuhi secara kolektif.
Institusi yang Tumbuh dari Tindakan
Realitas sosial dibentuk oleh tindakan-tindakan berulang yang membentuk pola, dan pola itu lama-lama dianggap sebagai norma. Inilah yang disebut oleh sebagian ilmuwan sosial sebagai “institusi yang diinstitusikan tanpa sengaja.” Institusi tidak selalu lahir dari perencanaan atau deklarasi resmi. Ia bisa tumbuh dari bawah, dari bawah sadar kolektif, dari apa yang dianggap “wajar” atau “sudah seharusnya.”
Misalnya, praktik gotong royong di banyak kampung di Indonesia. Tak ada undang-undang atau keputusan desa yang mewajibkan warga membantu tetangga saat ada musibah atau hajatan. Tapi orang tetap melakukannya. Mengapa? Karena mereka merasa itu bagian dari hidup bermasyarakat. Karena tindakan itu sudah terinternalisasi sebagai “kewajaran sosial.”
Fenomena ini menantang asumsi lama bahwa dunia sosial hanya bisa dibangun melalui kesepakatan eksplisit. Sebaliknya, dunia sosial sering kali lebih kuat fondasinya ketika dibentuk dari bawah, dari praktik tubuh, dari interaksi yang berulang dan mengendap menjadi kebiasaan kolektif. Dengan kata lain, tindakan lebih dulu dari kata.
Interaksi dengan Mesin, Saat Nonmanusia Ikut Mengatur
Masuk ke abad ke-21, bentuk-bentuk relasi sosial semakin rumit. Bukan hanya manusia yang membentuk dunia sosial, tapi juga sistem. Algoritma media sosial, sistem peringkat ojek daring, bahkan pengatur lampu lalu lintas, semuanya menciptakan pola keteraturan, tanpa pernah “berbahasa” kepada kita secara manusiawi. Mereka tidak berbicara, tapi kita memahami dan mematuhi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa yang membentuk kehidupan sosial kita bukan hanya bahasa antar-manusia, tapi juga relasi kuasa dan desain sistem yang bekerja di luar kesadaran linguistik. Dalam konteks ini, bahasa semakin tersingkir, digantikan oleh interaksi simbolik yang lebih sunyi, lebih otomatis, tapi tetap efektif.
Lebih jauh lagi, makhluk nonmanusia seperti hewan dan tumbuhan juga punya sistem sosial sendiri. Burung-burung bermigrasi secara kolektif tanpa pemimpin formal. Tanaman beradaptasi terhadap ruang sosial di sekitarnya, bersaing dan berkomunikasi melalui akar dan zat kimia. Semua ini menunjukkan bahwa keteraturan tidak memerlukan kata untuk lahir dan bekerja.
Kita Butuh Bahasa Tubuh Kolektif, Bukan Sekadar Retorika
Dalam masyarakat yang cenderung verbal dan penuh narasi, kita sering lupa bahwa tindakan adalah bentuk komunikasi paling jujur. Orang bisa berkata “saya peduli,” tapi tidak hadir ketika dibutuhkan. Sebaliknya, orang yang hadir, memberi waktu, atau hanya diam menemani dalam duka, telah berbicara banyak tanpa mengucapkan satu kata pun.
Kita hidup dalam zaman hiper-ujaran. Segalanya bisa dituliskan, diumumkan, dikampanyekan. Tapi ironisnya, dalam kebisingan itu, kita sering kehilangan kepekaan terhadap tindakan nyata. Politik dipenuhi retorika tanpa kerja, media sosial dibanjiri pernyataan tanpa laku, dan institusi dipenuhi prosedur tanpa rasa.
Maka, sudah waktunya kita kembali merayakan bentuk-bentuk sosial yang sunyi namun bermakna, memberi tempat duduk di bus, menunduk hormat pada orang tua, berbagi makanan tanpa kamera. Tindakan-tindakan inilah yang membentuk realitas sosial paling hakiki, yang tak bergantung pada bahasa, tapi justru menyentuh rasa.
Saatnya Belajar dari yang Tak Terucap
Barangkali dunia ini tak butuh terlalu banyak kata. Ia butuh lebih banyak kepekaan, kehadiran, dan keterhubungan yang tidak dibangun oleh lisan, tapi oleh tindakan yang sungguh-sungguh. Jika kita terus berpikir bahwa segala sesuatu harus diucapkan agar menjadi nyata, kita sedang menyingkirkan seluruh dunia sosial yang dibangun oleh tubuh, kebiasaan, dan intuisi kolektif.
Kita bisa belajar dari yang tak terucap. Karena justru di situlah, realitas sosial yang paling jujur sering kali tersembunyi di dalam diam, di dalam isyarat, dan di dalam tindakan yang terus mengalir, bahkan saat semua kata telah habis.