Mahasiswa, sebutan yang tak lekang oleh waktu dan tak akan hilang ditelan jaman, baik dari konsepsi berfikir maupun pergerakan dalam mencapai perubahan, keberpihakannya adalah tentang adil dan meng-adilkan, setara dan menyetarakan. Bahkan pergerakan mahasiswa dipenjuru dunia memaknainya “suara mahasiswa adalah suara kebenaran”.
Mengutip Darmayada, (2011) tak bisa di pungkiri bahwa ditangan mahasiswa terletak nasib umat dan dalam keberanian para mahasiswa terletak kehidupan dan masa depan sebuah bangsa, kalimat ini terkesan Utopis apalagi melihat kondisi real dewasa ini, akan tetapi tokoh bangsa kita mendekatkan potensi itu dengan kalimat“ pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok”.
Baru-baru saja, Ibrahim & Nur (2023) melakukan penelitian kemudian berdalih bahwa perubahan sosial yang terjadi tidak pernah lepas dari gerakan sosial yang dibangun atas dasar kesadaran kritis mahasiswa sebagai agen perubahan. Namun, kesadaran itu berkurang sepanjang waktu bahkan mungkin menuju sirna, Hal ini disebabkan oleh keinginan untuk mengintrupsi sistem dan membawa perubahan sosial, tetapi tanpa analisis dan pengetahuan tentang masalah yang dibutuhkan dan mendalam. Alhasil, mahasiswa berada dalam “ruang ambang”, atau Liminal Space, antara menjadikan gerakan sosial sebagai sarana mengintrupsi sistem atau sebagai sarana mewujudkan gaya hidup populer.
Momentum demi momentum menghiasi bangsa ini, dari persoalan ekonomi, sosial, dan politik. Alih-alih berperan sebagai tonggak perubahan, kita cendrung bersifat reaksioner, padahal secara prinsipil fokus kita memahami, menganalisis, dan menyelesaikan masalah dengan cara yang kritis dan objektif, bahkan Salvador Allende dalam satire-nya mengolok “menjadi pemuda dan tidak revolusioner adalah kontradiksi biologis”.
Kelak, saya ingin bertambahnya kampus di negeri ini tak hanya dari segi kuantitas saja, tetapi sejalan dengan kompetensi dan kualitas mahasiswanya, kampus sering disebut sebagai miniatur negara, hemat saya’ karakteristik mahasiswa didalamnya terbagi pada 2 bagian, pertama mahasiswa profesonalisme: cendrung lebih suka mengikuti intrakulikuler kampus, olimpiade, gemar praktikum dan suka belajar, bagi mahasiswa tipe ini belajar adalah segalanya. Kedua, mahasiswa aktivisme: cendrung menyiapkan diri untuk membaca dinamika bangsa baik intra maupun ekstra kampus, biasanya suka mengadakan demonstrasi, audiensi, diskusi publik dan membahas isu-isu sosial.
Memilih, bagi mahasiswa baru atau kawan-kawan lainnya’ untuk mendekatkan harapan keluarga, diri sendiri, bahkan bangsa ini. Mulailah dan berani mengambil langkah kongkrit atas pilihan sejak memijakkan kaki di kampus. cita-cita harus lebih dekat’ dengan upaya dan strategi tak ada kemudian yang tidak mungkin, alam semesta akan menyertai niat dan segala upaya itu. Oleh karena itu Beberapa hal perlu menjadi landasan untuk merestorasi dan merekonstruksi kembali semangat dan kesadaran mahasiswa sebagaimana saat ini.
Media Sosial Sebagai Alat Provokasi
Efisiensi media sosial sebagai alat komunikasi tak bisa diragukan, melebihi itu media sosial dapat memberi infomasi lebih cepat dan akurat, mengumpulkan dukungan, memobilisasi massa, dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Maka secara eksplisit pergerakan mesti melihat peluang, transisi dalam mengorganisir harus di perkuat melalui media sosial, hingga saat ini tindakan dan perilaku seseorang sangat berpengaruh besar atas apa yang dilihat, didengar dan dirasakan.
Tak bisa dipungkiri’ hampir semua kalangan menggunakan gadget, tentu media sosial adalah bagian terpenting yang dimiliki, bahkan 1 orang memiliki beberapa media sosial. hal ini menunjukkan bahwa proses transformasi gerakan mahasiswa harus ditangkap cepat, formulasi baru harus diciptakan dengan membumikan literasi dan teori perlawanan di media, pendekatannya tentu harus kolektif kolegial, meningkatkan intensitas komunitas/organisasi dalam hegemoni dan menabur benih bertujuan memasifkan perluasan di media sosial baik dari organisasi intrakulikuler maupun eksrakulikuler kampus.
Provokasi adalah jalan pintas pergerakan mahasiswa, bukan hal yang baru’ tetapi kehadiran media sosial menjadi dinamika baru yang menyebabkan pergerakan itu bisa lebih fleksibel, tak hanya perkuliahan yang bisa hibrit, tetapi aksi lapang seperti demonstrasi mesti dimasifkan melalui media sosial, bisa saja teknisnya dengan mengomentari akun birokrasi tertentu atau dengan me-repost poster-poster yang bermasalah, cara ini menurut saya lebih terbuka dan impacknya lebih terasa dan transparan. Lagi-lagi cara ini pernah dilakukan hanya saja perlu memperdalam kembali kajiannya agar mahasiswa dan kampus secara menyeluruh mengembangkannya baik secara konsep maupun teknis.
Merubah Paradigma Tentang Pergerakan
Berfikir secara terstruktur,runtut dan resional disebut logis. Sepanjang pergerakan yang semakin surut dikalangan aktivis mahasiswa menjadi sorotan. Hipokrisi mulai mengakar’ ini tak bisa dibiarkan, menormalisasi hal yang tak lazim, seakan bangsa ini sedang baik-baik saja, kacamata pergerakan telah sampai pada saat-saat yang ditunggu-tunggu, berbagai institusi, para tokoh dan berbagai elemen mulai menebar buih kebusukan yang terjadi pada bangsa ini, hemat saya saat yang tepat untuk melakukan hegemoni pada seluruh pemuda/mahasiswa dibelahan negri ini untuk kemudian diberi gambaran terkait kondisi dan situasi bangsa ini.
Lagi-lagi upaya doktrin adalah instrumen terpentingnya, media sosial, media massa, dan kerja-kerja dilapangan harus terus digalakkan, bisa dilihat youtube, instragram, whatsapp, tiktok, dan lainnya tak karuan mengakumulasi mirisnya yang sedang kita hadapi, proses politik dewasa ini menjadikan perjalanan bangsa ini tak menentu arahnya.
Atas nama mahasiswa dan segenap pemuda indonesia, peran dan fungsi sebagaimana termaktub harus diaktifkan, teknisnya dengan membicarakan persoalan ini ditempat-tempat umum bahkan terkecil sekalipun, informasi ini harus tersampaikan hingga tingkatan paling rendah, tugas ini mestilah bersifat kolektif kolegial, semua peranan mengkonsolidasi dari segala bentuk teknis, seperti tulisan, diskusi, aksi demonstrasi, audiensi dan lain sebagainya. Pergolakan politik dewasa ini sungguh membuat kita dilematis, tak ada pesan moril yang positif, mahasiswa harus menjadi sentral dalam situasi seperti ini, karna hanya mahasiswa yang tak terafiliasi aktif terhadap kepentingan yang sifatnya pragmatis.
Rangka doktrin-mendokrin saat ini bersamaan dengan jadwal masuk mahasiswa baru diperguruan tinggi, artinya panitia yang hendak akan mengadakan ospek barangkali bisa menanamkan buih-buih kritisisme bahkan doktrin perlawanan sebagaimana peranan dan fungsinya, aktivis kampus harus mengedukasi dan mensosialilsasikan gerakan perlawanan atas ketidak stabilan bangsa ini.