Kamis, Maret 28, 2024

Rasionalisasi Manusia terhadap Bencana Alam

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id

Menjelang akhir tahun, hebatnya gempa dan tsunami di Lombok dan Sumbawa serta Palu dan Donggala mengundang tanda tanya besar. Apakah bencana alam mengakibatkan jatuhnya korban ataukah justru manusia sendiri memicu jatuhnya korban?

Sangat sulit menjelaskannya apalagi jika muncul statement bahwa bencana alam adalah hukuman tuhan karena manusia ingkar, penuh dosa, berbuat maksiat dan sebagainya. Lantas, bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa perilaku manusia turut menimbulkan korban? Ini adalah konsekuensi kita untuk berpikir secara rasional bukan irasional.

Mengamati perlaku siaga bencana hingga mindset masyarakat terhadap bencana alam bagaikan air dan minyak yang tidak bisa menyatu atau bagaikan melukis di atas air yang pada akhirnya solusi atau paling tidak persepsi masyarakat terhadap penanggulangan bencana yang ideal menemui jalan buntu alias podo wae.

Bagaimana tidak, berbicara kebencanaan seperti hal yang mustahil dilakukan dan selalu merujuk pada kepasrahan terhadap penanggulangan kebencanaan di Indonesia. Dengan kata lain kita tidak punya usaha dalam rangka menyongsong siklus bencana yang “kayaknya” selalu terjadi setiap tahun.

Kegelisahan ini kita mulai dari konsep pengurangan resiko bencana (PRB). Secara konseptual, PRB adalah resep dari pakar kebencanaan. Sebagai manusia modern kita dituntut berpikir rasional, objektif, berdasarkan data ilmiah. Peran PRB ini merupakan hasil riset yang dilakukan oleh para pakar kebencanaan dan bukan bertujuan mencegah terjadinya bencana alam.

Perlu digaris bawahi bahwa sesungguhnya riset kebencanaan adalah upaya para ilmuwan kebencanaan yang berusaha meminimalisir kerusakan maupun korban akibat bencana alam. Contoh paling real bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) adalah produk rasional terhadap respon kebencanaan dan penelitian kebencanaan terus didorong untuk membantu BNPB dalam rangka merespon kejadian bencana alam secara komprehensif.

Lantas, mengapa kita terus abai terhadap kebencanaan di Indonesia padahal BNPB nyata adanya. Kata abai disini lebih relevan karena isu kebencanaan gagal menarik minat masyarakat secara luas terhadap upaya sadar bencana. Upaya secara rasional terus didorong dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang merubah paradigma penanganan bencana dari tahap tanggap bencana kepada mitigasi bencana yang bermuara pada kesiapsiagaan, kewaspadaan bencana dan PRB.

Ungkapan yang saya utarakan di atas dapat kita amati bahwa minat masyarakat dan pemerintah lebih cenderung pada pertumbuhan/pembangunan ekonomi. Dampak dari pertumbuhan ekonomi ini sangat memikat masyarakat dan saya rasa sangat kontras dengan sikap kita terhadap bencana alam.

Sangat banyak contoh yang bisa kita ambil, semisal kawasan pesisir kita lebih “laku” dengan keindahan dan magnet pendapatan ekonomi bagi mereka yang konsen di sektor pariwisata. Namun apakah kita semua setuju apabila menempatkan pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan persisir rawan abrasi, rawan tsunami dan resiko pencemaran ekosistem pesisir? Kalau jawaban kita setuju maka kita tidak akan membangun kawasan industri tersebut.

Negara paling kaya Uni Emirat Arab saja membangun hotel, resort, spot wisata persis di bibir pantai masa kita tidak? Analogi inilah yang membangun isi kebijakan kita bahwa pertumbuhan ekonomi lebih penting sehingga Indonesia lebih mengutamakan industrialisasi dari pada pribumisasi.

Mengapa industrialisasi?

penulis mempersepsikan bahwa untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara cepat harus memakai pabrikasi, teknologi canggih dan sudah pasti mendorong investasi asing karena Indonesia masih dianggap miskin modal, sumberdaya manusia rendah dan teknologinya tertiinggal.

Pertumbuhan ekonomi ini acapkali dibungkus dengan rapi melalui industri pariwisata sehingga banyak orang berinvestasi tanpa memandang tanggungjawab mereka terhadap ekosistem. Menurut Rencana Tata Ruang Nasional kawasan pesisr memerlukan zonasi mangrove sebagai penahan abrasi dan pemecah gelombang.

Nah, kenyataannya banyak industri wisata justru dibangun secara ekstrim di bibir pantai tanpa mengindahkan aturan-aturan lokal yang saya sebut pribumisasi. Berarti pribumisasi memiliki makna mengembalikan fungsi zona-zona tertentu untuk keperluan PRB.

Pelajaran yang paling berharga mengenai mindset kebencanaan ini yaitu tragedi tsunami aceh tahun 2004 silam. Jalur-jalur yang dilalui air laut (tsunami) justru dibangun kembali pusat ekonomi dan banyak pihak mengklaim aceh bangkit dari keterpurukan pasca tsunami. Statement ini apakah mendukung arah kebijakan nasional kita terhadap PRB atau malah mematikannya? Tentu kita tidak bisa menyalahkan bahwa bencana alam bukanlah monopoli tuhan.

Saya justru berargumen bahwa kerawanan terhadap bencana alam justru manusialah yang menciptakan. Maka jika kita belajar menjadi orang bijak haruslah mengevaluasi diri bahwa tata ruang secara nasional belum sepenuhnya memihak pada PRB.

Jangan salahkan gunungnya jika terjadi longsor dan banjir karena daerah resapan air dibangun vila mewah, jangan salahkan banjir jika Daerah Aliran Sungai beserta infrastuktur pendukung tidak dirawat dengan baik, jangan salahkan orang yang mati atau perekonomian masyarakat lumpuh karena tergerus ombak tsunami jika kawasan ekonomi dipusatkan pada bibir pantai.

Jangan salahkan kita berada di lempeng rawan gempa dan lingkaran gunung api jika sistem evakuasi dan posko bencana serta lahan darurat bagi korban yang kehilangan pekerjaan kurang diperhatikan tatkala bencana alam tersebut tidak terjadi. Dan paling penting jangan menyalahkan BNPB jika korban bencana dan jumlah bencana alam semakin tahun semakin bertambah jika tidak ada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Alhasil, kenyamanan yang kita rasakan adalah buah dari pertumbuhan ekonomi yang dianggap lebih penting dari PRB. Maka dari itu, jika desain kebijakan kita mengarah pada aspek pencegahan, mitigasi, pengurangan resiko bencana alam dianggap “nyeleneh”. Kata “nyeleneh” dalam bahasa Indonesia berarti aneh, mengapa aneh?

Melihat sifat bencana alam yang tidak dapat “diprediksi” maka setiap kebijakan yang mengarah pada kebencanaan dianggap tidak berhasil dan boros anggaran karena masalah bencana alam tidak datang rutin seperti rutinitas pertumbuhan ekonomi dan rutinitas orang-orang yang bekerja di kantor sehingga ada dana yang dianggarkan untuk kegiatan rutin tersebut.

Jadi percuma atau mubazdir menganggarkan dana kebencanaan plus dengan kebijakan PRB jika bencana alam datang hanya sewaktu-waktu. Sesungguhnya niat PRB sangat baik yakni membentuk mindset dan kerangka kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.