Pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan sesuatu yang cukup sensitif, terutama saat membahas KUA PPAS (Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara). Pemerintah dan legislatif mempunyai kepentingan masing-masing yang ingin diakomodir dalam anggaran APBD, ini tidak lain terkait dengan masalah-masalah politis.
Fenomena yang terjadi beberapa waktu belakangan ini di berbagai daerah saat rapat pembahasan RAPBD sering diwarnai konflik, baik itu Pemkab atau Pemprov dengan Legislatif, bahkan juga di internal lembaga legislatif itu sendiri. Perilaku yang saling konfrontatif ini kemudian membuat pembahasan RAPBD jadi terhenti, terhambat dan bahkan tertunda sekian waktu lamanya.
Konflik Kepentingan
Menurut Dahrendrof (1959, dalam Gayatri, 2015) konflik terjadi karena menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling berhadapan. Konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Berdasar teori Dahrendorf tersebut maka konflik yang terjadi saat pembahasan RAPBD disuatu daerah karena adanya benturan kepentingan politik yang saling berhadapan dan saling menyandera, baik pemerintah daerah ataupun para legislator di DPRD.
Konflik pada pembahasan RAPBD selain dipengaruhi karena adanya benturan kepentingan politik juga dipengaruhi oleh efek pilkada (Pemilu Kepala Daerah). Efek hasil pilkada di suatu daerah bisa cukup mempengaruhi dalam pembahasan RAPBD, terutama bagi partai pemenang pilkada tentu ingin mengimplementasikan janji-janji politiknya saat kampanye melalui program-program yang dapat dianggarkan dari APBD. Sedangkan bagi Parpol yang kalah pada pilkada kemudian berusaha meraih kembali simpati masyarakat dengan memanfaatkan program-program yang ada dan dianggarkan lebih lewat dana APBD.
Kebijakan Anggaran yang Merakyat
Kebijakan anggaran merupakan keputusan tentang kekuasaan, siapa yang memegangnya, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang tidak diuntungkan (Covalesky dan Dirsmith, 1986 dalam Gayatri, 2015). Bupati, Walikota dan Gubernur merupakan representasi dari partai politik, para anggota legislatif juga merupakan perwakilan konstituen partai politik yang sudah barang tentu mempunyai kepentingan politik yang berbeda-beda. Mereka kemudian saling berebut kekuasaan dan keuntungan terkait kebijakan anggaran dengan cara menguasai program-program yang bisa dianggarkan serta dibiayai dari APBD.
Posisi strategis kebijakan anggaran dalam menetukan kekuasaan politik di daerah membuat para politisi berpeluang menjadi “bandit” anggaran. Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak para kepala daerah maupun anggota legislatif yang terlibat kasus korupsi dari proyek dan program pembangunan yang dibiayai oleh dana APBD.
Kita mungkin masih ingat dengan beberapa kasus korupsi dari penggunaan dana APBD yang terjadi di daerah, seperti yang terjadi di Jambi, Sumatera Utara, Bengkulu, Banten dan beberapa daerah lain di Indonesia. Kasus korupsi dana APBD yang terjadi didaerah tersebut melibatkan oknum kepala daerah, ASN (Aparatur Sipil Negara) hingga para anggota legislatif.
Terwujudnya Masyarakat Sejahtera
Pada hakekatnya anggaran daerah atau APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi-potensi keanekaragaman daerah (Lasminingsih, 2004 dalam Ichwandi, 2017).
Namun jika setiap tahap pembahasan RAPBD selalu diwarnai oleh konflik kepentingan antara pemerintah dengan legislatif maka produk atau program pembangunan daerah yang ada dalam APBD belum tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta bisa dipertanggung jawabkan penggunaan anggarannya kelak.
Perilaku yang saling berkonflik dalam pembahasan RAPBD inilah yang membuat tingkat kemajuan suatu daerah menjadi terhambat serta menyengsarakan masyarakat dikarenakan ada program-program yang seharusnya dianggarkan bagi kesejahteraan masyarakat jadi menyusut nominalnya atau bahkan malah hilang dari plafon anggaran.
Seharusnya Pemda maupun Pemrov bisa bersinergi dengan legislatif terkait segala sesuatu yang berkaitan bagi kepentingan serta kesejahteraan masyarakat, menanggalkan ego kepartaian demi terwujudnya public walfare. Kesejahteraan masyarakat bisa terwujud jika daerah dikelola dengan prinsip good governance dan clean goverment.