Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Romy) terkait dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag), Jum’at (14/3) pagi.
Penangkapan Romy yang kini statusnya menjadi tersangka kasus korupsi tersebut tentu membuat kekecewaan publik terhadap elite parpol semakin tinggi. Hal tersebut tidak terlepas dari ingatan publik pada sosok Ketua Umum Golkar 2016-2017 (Setya Novanto), Ketua Umum PPP 2007-2014 (Suryadharma Ali), Ketua Umum Partai Demokrat (Anas Urbaningrum), dan Presiden PKS 2009-2014 (Luthfi Hasan Ishaaq). Mereka semua adalah politisi yang pernah terjerat kasus korupsi ketika menjabat sebagai ketua umum partai.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 891 pelaku korupsi yang sudah dijerat sebanyak 61,17 persen atau sekitar 545 koruptor yang di tangani KPK berasal dari latar belakang unsur politik. Dari 545 aktor politik yang dijerat KPK terdiri dari 69 orang anggota DPR-RI, 149 orang anggota DPRD, 104 kepala daerah. Selain itu, terdapat 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut (Republika, 24/11/2018).
Berkenaan dengan itu, kasus korupsi yang dilakukan oleh Romy pada gilirannya dapat menjadi indikasi bahwa rantai korupsi di negeri ini belum sepenuhnya terputus. Padahal di satu sisi, upaya kolektif bangsa untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi diberbagai institusi negara terus dilakukan.
Namun yang terjadi justru persoalan korupsi semakin menggurita dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak heran kemudian masifnya kasus korupsi ditengah konstelasi politik saat ini tentu dapat mereduksi kehidupan berdemokrasi itu sendiri.
Masyarakat yang notabenenya sebagai konsumen politik merasa jenuh melihat realitas politik yang tidak merepresentasikan keberpihakan para elite kepada mereka. Masyarakat selalu di perlihatkan tontonan politik yang tidak mendidik sehingga menciptakan stigma masyarakat terhadap persoalan politik yang ada. Oleh karena itu, pada kondisi tertentu akan sangat dikhawatirkan apabila muncul sikap apolitis dan permisif masyarakat dalam kehidupan politik.
Motif Politik
Persoalan korupsi saat ini bukan hanya berpusat pada eksekutif, tetapi juga telah menyentuh ranah legislatif dan yudikatif. Bahkan ironinya tingkat kerawanan terjadinya kasus korupsi tidak hanya berada di level pemerintah pusat, melainkan juga telah terjadi hingga ke level daerah. Hal tersebut seiring dengan semakin terbukanya kran demokrasi yang tidak lagi menempatkan pusat kekuasaan secara sentralistik, namun juga roda pemerintahan dijalankan melalui asas desentralisasi.
Oleh karena itu, harus di akui bahwa terjadinya kasus korupsi tidak bisa dilepaskan dari tingginya ongkos politik dalam kontestasi demokrasi yang pada gilirannya dapat menyebabkan pragmatisme politik. Dalam kondisi yang demikian, terjadinya distorsi wewenang akan sangat rentan dilakukan oleh para elite politik. Akibatnya, kerja-kerja politik tidak lagi dijalankan secara profesional demi mendapatkan keuntungan politis semata.
Perbaikan Sistem Partai Politik
Rangkaian kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini harus menjadi refleksi bersama dalam melakukan pencegahan terhadap korupsi sehingga kedepannya dapat di minimalisir. Bahkan selama ini berbagai ragam upaya, pencegahan, hingga punishmant terus diupayakan.
Namun faktanya, para pelaku korupsi masih tidak takut dengan segala regulasi atau aturan yang beraku. Kekuasaan yang mereka miliki justru dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik demi memperkaya diri sendiri, golongan dan partainya.
Kasus OTT KPK terhadap Ketum PPP Romy terkait suap jual beli jabatan di Kemenag telah merepresentasikan bukti konkret atas gagalnya partai politik dalam menjalankan fungsinya. Padahal partai politik memiliki peranan penting dalam proses rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan untuk menciptakan aktor politik yang berkualitas.
Sehingga jangan sampai fungsi partai politik kemudian direduksi sebagai mesin rekrutmen yang hanya dijalankan sebatas formalitas saja. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari terpilihnya para aktor politik yang miskin kompetensi dan tuna integritas.
Oleh karena itu, komitmen untuk memutus mata rantai korupsi juga secara simultan harus dibarengi dengan melakukan perbaikan dan perubahan pada sistem partai politik. Dengan kata lain, parameter dalam melakukan proses rekrutmen pengurus partai dan pejabat publik lebih menekankan pada aspek keahlian, kompetensi dan track record (rekam jejak) bukan justru didasarkan atas kedekatan secara personal. Sehingga upaya pemberantasan korupsi harus menjadi tanggungjawab bersama, tak terkecuali melalui partai politik.