Jumat, Maret 29, 2024

Ramadan dalam Perspektif Kasta Modern

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.

Di hari-hari akhir Ramadan, rumah makan berani buka secara terang-terangan. Tidak sekadar sedikit membuka pintu atau menutupinya dengan kerai bambu. Orang yang tidak puasa, tidak malu-malu makan, minum dan yang perokok menghisap rokok di tempat-tempat ramai. Tak ada lagi berita – berita tentang penggerebekan warung.

Seperti itulah seharusnya. Dari awal Ramadan pun warung makan memang harus buka terang-terangan. Tak perlu dibuka sedikit pintunya. Juga tak perlu pakai tirai. Orang yang tidak puasa tidak usah malu-malu.

Kita terlalu banyak basa-basi. Mengapa orang, atau siapa pun saja tidak boleh tampil apa adanya. Kalau memang tidak puasa ya tidak puasa saja. Yang puasa biarlah berpuasa.

Puasa Ramadan memang sebuah ibadah wajib bagi orang Islam. Tetapi, orang Islam sendiri diberi kedaulatan apakah mau menjalankan puasa, atau tidak. Toh, apa pun resikonya ditanggung sendiri-sendiri.

Kalau ada yang tidak puasa kita tidak berhak menghardiknya. Bahkan dalam hati sekalipun. Apakah kita tahu motif dari seseorang yang tidak puasa tersebut?

Ada bermacam-macam motif orang tidak puasa. Ada yang sedang haid, nifas, hamil, sakit, bekerja sangat berat, beragama bukan islam. Dan jika kita melihat orang yang tidak kita kenal dan dia tidak puasa apakah secara etika kita pantas bertanya, mengapa kamu tidak puasa?

Barangkali basa-basi berlebihan itulah yang membuat kita sebagai bangsa mengalami banyak kesulitan untuk maju. Orang-orang menjadi terlalu terobsesi tampil baik di depan seseorang. Tampil baik pun bukan baik dalam artian obyektif, tetapi sangat subyektif. Takut terhadap apa yang diomongkan orang tentang diri kita.

Maka, kita jadi sulit membedakan mana orang yang benar – benar baik dan mana yang tidak. Asal orang berpangkat tinggi dan beruang banyak langsung kita anggap sebagai manusia setengah dewa. Kita sikapi dengan wah. Tetapi kalau orang kecil, pakaiannya biasa cenderung tidak layak, kita sikapi seenaknya saja. Bahkan di obrolan sehari-hari tidak jarang kita menghinanya.

Penyikapan sosial semacam itu menyebabkan pola perhubungan sosial menjadi tidak sehat. Kita jadi terjebak pada lingkaran setan kasta modern. Pemilik pangkat dan uang yang melimpah yang teratas. Seberapa pun baiknya, jika tak punya uang seseorang derajatnya rendah.

Jika kita menengok sejarah kita, kasta tidak berlaku semacam itu. Kita salah sangka bahwa tingkat kasta dari Sudra, Waisya, Ksatria dan Brahmana didasarkan atas sebuah profesi. Di dalam pelajaran – pelajaran sekolah, kita diberitahu bahwa Sudra adalah kuli, Waisya adalah pedagang, Ksatria adalah prajurit, Brahmana adalah pendeta. Cara berpikir semacam itu hulunya adalah cara pandang modern yang matrialisme sentris.

Padahal kita tahu, beda zaman beda cara pandang. Apakah dahulu masyarakat kita bercara pandang materialisme sentris? Kalau seperti itu mengapa ketika islam dibawa pedagang tidak banyak masyarakat yang memeluknya, tetapi saat islam dibawa oleh para wali banyak sekali yang memeluk. Prosesnya pun lebih aman, damai, tentram tanpa perpecahan yang berarti sebagaimana yang terjadi di Makkah.

Dari sejarah tersebut kita bisa mengambil hipotesa bahwa dulu cara pandang masyarakat kita tidak materialisme sentris. Budaya nusantara yang tidak materialisme sentris yang bertemu dengan islam seperti tumbu ketemu tutup (kendi yang bertemu tutupnya). Menjadi begitu pas. Oleh karenanya saat wali menyebarkan agama islam masyarakat kita bisa menerimanya dengan baik.

Jika tidak materialisme sentris sangat mungkin cara pandang dalam kasta tidak seperti yang kita pahami. Bisa jadi perbedaan kasta itu didasarkan pada akhlak dan spiritualitas. Tidak masalah, kuli, pedagang, prajurit, asalkan akhlaknya baik dan spiritualitasnya bagus bisa berkasta brahmana.

Di zaman sekarang koruptor bisa berkasta Brahmana asalkan tidak dibenci elite terpengaruh, sehingga tidak tertangkap dan tidak disebar di media berita tentangnya. Sekarang, yang yang tidak pernah berjuang apa – apa bisa menjadi ksatria, asalkan punya uang cukup untuk bikin baliho besar – besar dan bagi – bagi uang menjelang pemilu. Itulah jika kita terlalu sering basa-basi. Yang serius menjadi tidak serius karena dianggap sudah basi

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.