Siapa yang tidak mengenal Raja Ali Haji? Tokoh Melayu yang ulung dalam bidang sastra dan budaya. Tak ayal, Hasan Junus menyebutnya sebagai “Budayawan di Gerbang Abad 20”—seperti tertulis pada sampul buku terbitan 1988 itu.
Ada banyak magnum opus yang menjadi justifikasi atas kepiawaian beliau pada dua bidang di atas. Misalnya saja Gurindam Dua Belas, sebuah karya klasik yang berisikan petuah-petuah kebajikan.
Namun jika menyelami makna terdalam dari setiap bait pasal-pasal dalam Gurindam, tampak jelas, Raja Ali Haji juga menguasai berbagai bidang keilmuan. Sebagai contoh dalam Pasal 12 yang secara khusus membahas asas-asas ketatanegaraan dengan pendekatan Ilmu Tasawuf—pendekatan yang bersandar pada moralitas (akhlak) dan spiritual islami.
Secara empiris, aktualisasi atas intelektualitasnya di bidang ketatanegaraan dibuktikan melalui kedudukannya sebagai penasihat Kerajaan Riau-Lingga. Bahkan posisinya menjadi suluh bagi dua masa kepemimpinan Yang Dipertuan Muda Riau (YDM). Peranannya menjaga agar Raja Ali Marhum Kantor dan Raja Abdullah Marhum Mursyid tidak tergelincir pada jurang kekeliruan.
Selain itu, ia juga didapuk sebagai penanggung jawab tertinggi untuk masalah hukum kerajaan (Mahdini, 1999). Oleh karenanya, tidak berlebihan bila menyebut Raja Ali Haji sebagai tokoh multidisiplin ilmu yang mencakup pula ranah hukum, politik, pemerintahan, dan ketatanegaraan (Sucipta & Pambudi S, 2019).
Senarai Pemikiran Hukum Raja Ali Haji
Harus diakui, Raja Ali Haji lebih banyak berbicara pada aspek-aspek doktrinal, nilai, konsep, dan asas-asas hukum. Walaupun begitu eksponen-eksponen yang dilahirkan dari pemikirannya kelak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum yang formal.
Hal ini terjadi ketika utusan Tumenggung Abu Bakar mengunjungi Raja Ali Haji di Pulau Penyengat sekitar April 1868. Kunjungan itu dilakukan untuk menanyakan perihal penting pemerintahan dan hukum, seperti boleh tidaknya Tumenggung Johor itu menyandang gelar Sultan (Virginia, 1985).
Hasil dari berkhidmat tersebut, Tumenggung Abu Bakar akhirnya memerintah Johor dan memakai gelar kebesaran Maharaja. Merujuk pada pemikirannya pula, Sultan Abu Bakar membuat Undang-Undang Tubuh Kerajaan Johor yang diumumkan tahun 1895—dikenal menjadi hukum tertulis pertama di Malaysia (Mackeen, 1969).
Pandangan Raja Ali Haji soal hukum dapat ditemukan dan digali dari beberapa karyanya. Semisal Muqaddimah fi Intizam yang memuat tiga pokok bahasan, seperti: (i) prinsip keadilan dan equality; (ii) ketertiban; dan (iii) kesejahteraan.
Adapula Thamarat Al-Muhimmah. Buku ini banyak menguraikan tentang pemerintahan dan tata kelolanya. Penulis menilai karya inilah yang secara komprehensif memuat pemikiran hukum Raja Ali Haji. Contohnya menyangkut good governance, konsep keadilan, musyawarah, konsep kedaulatan, serta konsep kerajaan dan peradilan secara luas.
Menyoal good governance, sejatinya penulis telah banyak mengulasnya dalam artikel bertajuk The General Principles of Good Governance in the Mind of Raja Ali Haji. Salah satu di antaranya adalah asas ketidakberpihakan.
Raja Ali Haji (1886) menukilkan, “… jangan dilebihkan orang dalam dengan orang luar pada hukuman yang didirikan.” Melalui frasa ini, ia mewanti-wanti agar raja (pemimpin) tidak berat sebelah dalam bertindak maupun membuat keputusan. Ditakutkan kebijakannya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Pada akhirnya mengakibatkan kebinasaan bagi negerinya karena keadilan akan terabaikan.
Pendapat di atas sangat relevan untuk dijadikan dasar kritik terhadap praktik hari ini. Tidak sedikit decision maker yang bersikap diskriminatif, khususnya ketika dihadapkan pada kepentingan politis dan elitis.
Bentangan empirik sesungguhnya menjadi scientific evident, bahwa keberpihakan pemimpin dalam mengeluarkan kebijakan berimplikasi pada suburnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Entah itu berpihak pada diri dan keluarganya, kerabat, atau kelompok tertentu, bahkan kepada penyumbang dividen terbesar bagi pemerintahan atau negerinya.
Selanjutnya terkait konsep keadilan. Baginya, keadilan bukanlah instrumen melainkan hasil akhir. Dengan pendekatan Tasawuf tadi, ia mengingatkan keadilan tidak bersumber pada persepsi individu. Tetapi lebih pada ukuran terlaksananya asas-asas dalam Islam. Menurutnya, jika hukum Allah dijaga dan ditegakkan, maka keadilan akan tercapai.
Lebih jauh, konsep tersebut dilembagakan dalam bentuk negara, badan-badan, hingga perekonomian. Dalam Thamarat dikatakan, keadilan itu diaktualisasikan dalam praktik-praktik penyelenggaraan kerajaan demi tercapainya kesejahteraan rakyatnya.
Contoh lain dari pemikiran Raja Ali Haji adalah pemerintahan yang akuntabel. Ia tidak menghendaki adanya raja yang despotik—populernya disebut otoriter. Merujuk pada Thamarat, raja merupakan manifestasi dari seorang imam, sultan, sekaligus khalifah (Haji, 1886). Raja memiliki dwi peran, sebagai mandataris rakyat dan penjaga hukum Islam. Oleh karenanya, raja tidak terlepas dari prinsip akuntabilitas, baik di dunia maupun di akhirat.
Di samping itu, Raja Ali Haji juga banyak bicara pada lingkup hukum privat. Beberapa magnum opus-nya adalah Syair Siti Shianah, Syair Hukum Nikah, dan Syair Hukum Faraid. Secara berturut buku-buku ini membahas hukum fikih, hukum perkawinan, dan hukum waris serta pembagiannya.
Menuntut Tanggung Jawab Moral
Pemikiran Raja Ali Haji ibarat berlian yang terpendam. Semestinya ia tidak dibiarkan terus mengendap di dalam tanah, melainkan harus diangkat ke permukaan dan disyiarkan. Bukan hanya itu, prinsip-prinsipnya dalam pemerintahan harus senantiasa dijadikan pegangan dan refleksi diri. Utamanya teruntuk para pemegang tampuk kekuasaan di negeri ini.
Dari sisi akademis, amat disayangkan jika pemikiran itu tetap berada pada karya agungnya tanpa diartikulasikan dalam bentuk tulisan-tulisan lain yang lebih sederhana. Sebab—bagi sebagian orang—karya beliau yangbertuliskan Jawi itu cukup sulit dicerna. Oleh karenanya, perlu pendekatan hermeneutika hukum atau dalam sastra disebut kajian linguistik untuk mentransfernya kepada publik dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti.
Nyatanya hingga detik ini, sangat sedikit yang memberi perhatian akan hal tersebut. Mayoritas bahasan soal pemikiran Raja Ali Haji terbatas pada aspek sejarah, sastra, dan kebudayaan. Ada pula yang menyinggung soal pemerintahan dan politik, tetapi itupun belum komprehensif.
Aspek lain yang menarik dikuliti namun belum banyak disentuh adalah pemikirannya soal ketatanegaraan dan hukum. Termasuk relevansinya dengan dinamika ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan hari ini. Misalnya, apakah Raja Ali Haji berbicara tentang nilai-nilai anti korupsi? Bagaimana desain pemerintahan yang dikehendakinya? Lalu, apakah konsep keadilan miliknya tepat diilhami dalam konteks pemerintahan hari ini?
Banyak hal yang dapat dikaji lebih jauh. Tentunya ini menjadi tantangan bagi akademisi dan praktisi, khususnya bagi mereka yang berada di alam Melayu, seperti Riau dan Kepulauan Riau. Ada tanggung jawab moral yang harus dilaksanakan. Terlebih untuk institusinya yang secara tegas mencatut nama Raja Ali Haji sebagai kebanggaan.