Jumat, April 19, 2024

Radikalisme dan Narasi Kepahlawanan Islami

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id

Berdekatannya momen Hari Pahlawan Nasional dan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW membuat saya ingin menelaah narasi kepahlawanan Islam dan kaitannya dengan radikalisme agama di Indonesia.

Maklum, baru beberapa tahun belakangan narasi Hari Pahlawan Nasional menjadi amat religius. Dulunya di pelajaran Sejarah, Hari Pahlawan Nasional hanya identik dengan patriotisme dan nasionalisme yang bisa jadi sekuler, dengan Bung Tomo dan Arek Suroboyo sebagai tokoh sentral. Belakangan ‘diketahui’ bahwa kobaran api semangat itu berpondasi dan berpijak pada fatwa Resolusi Jihad hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’arie.

Rupa-rupanya yang membunuh Jenderal Mallaby adalah seorang santri bernama Harun. Santri yang tadinya ter-excluded dari narasi perjuangan bangsa, kini menjadi (salah satu) tokoh (pembantu) utama.

Pesantren yang awalnya hanya dilihat sebagai lembaga pendidikan Islam yang seolah tidak punya korelasi besar dengan gelora perjuangan, kemudian dilihat sebagai basis-basis perlawanan ala ‘merdeka atau mati’—isy kariman au mut syahidan, hidup mulia atau mati syahid. Pertanyaannya kemudian, apakah ‘Islamisasi’ narasi kepahlawanan nasional ini menjadi bagian dari proses ‘santrinisasi’ Indonesia?

Mula-mula saya ingin mengetengahkan asumsi bahwa ‘Islamisasi’ narasi Hari Pahlawan Nasional ini berhubungan dengan urgensi deradikalisasi. Ndilalah bangsa Indonesia tiba-tiba sadar bahwa kesatuan dan persatuannya tengah dirongrong oleh organisasi trans-nasionalis Islam yang menawarkan klaim kebenaran tunggal, dengan ideal ‘pemurnian tauhid’ serba sempit, dan/atau disertai outcome berupa tegaknya khilafah global yang serba utopis.

Trans-nasionalis Islam ini menawarkan gagasan bahwa pemerintahan Indonesia bersifat thagut atau anti-Allah dan anti-Islam, bahwa Pancasila harus diganti dengan sistem Islam karena sekuler—atau bahkan liberal?

Muncul kemudian kebutuhan untuk menunjukkan bahwa tidak hanya bentuk pemerintahan dan sistem politik Indonesia bersifat Islami, tetapi bahkan sejarah panjang perjuangannya pun sarat unsur religiusitas yang altruistik.

Dari sana dapat digali dalil tentang bagaimana cinta tanah air adalah setengah dari tanda keimanan seseorang; bahwa Islam dan Muslim sudah cukup diakomodasi bahkan ketika perda tidak berbaju syariah. Singkat madah, Indonesia merdeka tidak lahir dari pengingkaran (kafir) atas kuasa Allah, tetapi justru merupakan outcome dari jihad, ijtihad, shalat (doa), dan qurban (sacrifice) lillah demi kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban.

‘Kebetulan’, ada kontribusi fatwa hadratussyaikh dalam Perang 10 November, maka belakangan secara masif kita diingatkan akan ‘Islami’-nya narasi Hari Pahlawan Nasional, betapa religiusnya fundamen kepahlawanan Indonesia. Diharapkan dengan itu akan tumbuh kesadaran transendental untuk atas nama Tuhan dan kemanusiaan mempertahankan kemerdekaan, persatuan, keadilan, dan kedamaian.

Narasi alternatif atas kepahlawanan Islami ini penting mengingat gagasan khilafah global juga menawarkan gagasan bahwa berjuang untuk tegaknya kekhilafahan adalah ekspresi kepahlawanan. Muhammad al-Fatih dan Salahuddin al-Ayyubi biasanya dijadikan sebagai rujukan Pahlawan Islam. Kedua ‘panglima’ tersebut memenangkan perang demi tegaknya Dinul Islam. Maklum, dalam realm kalangan penyokong khilafah, sistem pemerintahan seperti hanya terbagi pada dua: dinul Islam dan dinul Kafir. 

Tetapi, narasi alternatif kepahlawanan Islami ini bukan tanpa persoalan. Salah satunya terletak pada bagaimana sejarah Islam dikultivasi di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan Islam non-formal. Dalam kesempatan membedah buku Sejarah Kebudayaan Islam, saya menemukan kecenderungan ‘dominasi’ cerita perang dalam sejarah Islam. Seolah-olah sejarah Nabi dan sejarah Islam secara umum hanya sebatas’ perang. Alhasil narasi kepahlawanan dalam Islam cenderung  tersempitkan menjadi pahlawan perang.

Ali bin Abi Thalib misalnya, lebih dikenal karena kehebatannya duel satu lawan satu di medan perang; dengan pedangnya yang segede gaban. Hanya sebagian kecil yang melihat suami Siti Fatimah tersebut sebagai rajanya wali, seorang sufi paling agung sekaligus brilian. Atau Khalid bin Walid yang lebih dikenal sebagai panglima perang yang tangguh dan cerdik, bukan sebagai anak muda yang berani mengambil keputusan tidak populer demi apa yang dia yakini sebagai kebenaran selepas perenungan-perenungannya bermalam-malam.

Kritik atas dominasi cerita perang dalam buku sejarah Nabi dan sejarah Islam tidak berarti saya anti penceritaan perang. Perang-perang tersebut bagaimanapun memang instrumental dan tidak terhindarkan, tidak dapat dipungkiri dan dihapus. Tetapi, pengajarannya sering kali ahistoris, lepas dari konteks, dan tidak selalu ‘dilengapi’ fiqh perang meliputi aturan-ketat selama peperangan: mulai dari larangan perang di bulan suci hingga larangan membunuh perempuan dan anak, merusak tanaman, serta menghancurkan tempat ibadah agama lain.

Sehingga yang tertanam adalah gagasan persekusif melibatkan pedang antara dua kubu hitam-putih, Muslim dan kafir, padahal situasi kita lebih kompleks daripada polaritas macam itu. Sebagian dari kita bahkan belum bisa memutuskan, apakah perang yang dilakukan Nabi dalam rangka dakwah Islam atau dalam rangka mempertahankan diri atau dalam rangka kepentingan politik? Jika sudah begitu, sikap-sikap intoleran sebagai indikator radikalisme agama dapat dengan mudah dipupuk dan disebarkan, sejak saat pendidikan di sekolah. Ini belum termasuk apa yang disediakan oleh sosial media.

Karena itu, penting bagi kita untuk memperluas interpretasi kita atas narasi kepahlawanan Islam, terutama melalui perluasan kajian dan penceritaan atas Sejarah Kebudayaan Islam. Alih-alih hanya fokus pada tahun-tahun, angka-angka, dan perang-perang, kenapa tidak juga menitik-beratkan pada upaya-upaya rekonsiliasi, toleransi, pemaafan, rekonstruksi, pembangunan peradaban, tradisi literasi, perkembangan ilmu pengetahuan, emansipasi perempuan, dan lain-lain yang juga banyak dalam sejarah panjang penyebaran Islam.

Dengan perluasan model demikian akan ditemukan model-model kepahlawanan Islam yang semakin kaya yang berikutnya akan memperluas spektrum teladan kepahlawanan yang bisa diwujudkan dalam konteks kehari-inian.

Irfan Sarhindi
Irfan Sarhindi
Pengasuh Salamul Falah. Lulusan University College London. Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting. Riset S-2-nya tentang Islam Nusantara dan kampanye deradikalisasi. Saat ini menjadi Dosen di Universitas Putra Indonesia. Telah menulis 8 buku, dua di antaranya adalah novel sejarah: 'The Lost Story of Kabah' dan 'Mencintai Muhammad'. Pada tahun 2017 menjadi finalis British Council Future Leaders Connect dan menjadi satu dari 13 Inspirator 'Panggung Indonesia 2045' yang diselenggarakan TEMPO Institute. Blognya: http://irfanlsarhindi.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.