Vokalnya isu-isu lingkungan di Indonesia dewasa ini memunculkan pertanyaan terkait tanggung jawab badan usaha atas hak dan kewajibannya terhadap lingkungan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut terimplementasi dalam konsep strict liability yang telah melalui beberapa perubahan sebelum akhirnya diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Namun, perubahan akan salah satu pasal terkait strict liability dalam UU ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, tulisan ini akan menunjukkan ketidakterkaitannya perubahan tersebut terhadap konsep strict liability dalam Hukum Lingkungan Indonesia.
Hingga kini, pertambangan di Indonesia masih dijadikan senjata perekonomian negara. Pasalnya, sektor pertambangan menyumbang pendapatan yang pesentasenya paling besar dalam Pendapatan SDA Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Terhitung hingga September 2021, realisasi pendapatan pertambangan minerba mencapai Rp29,5 triliun atau sekitar 113 persen dari target APBN 2021. Kenaikan ini juga disumbang dari produksi batubara sebesar 451,41 juta ton yang meningkat 7,27 persen dibandingkan periode tahun sebelumnya. Pertambangan di Indonesia juga banyak menempati posisi teratas dalam hal potensinya, seperti produk emas yang berada di posisi kedua tingkat global, dan potensi lainnya.
Namun, terlepas dari kontribusinya terhadap ekonomi Indonesia, jejak usaha pertambangan hingga kini masih menyisakan polemik pendapat di kalangan masyarakat, pasalnya seluruh kegiatan pertambangan tidak lepas dari kata “merusak” ditinjau dari kegiatannya, yaitu pengerukan, penggalian, dan pembukaan lahan. Seluruh aktivitas sektor pertambangan ini dikategorikan tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem. Walaupun, sejatinya, instrumen penting yang berkenaan dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) telah diatur dalam sistem hukum Indonesia, yaitu UU Ciptaker.
Permasalahan utama pertambangan di Indonesia ini sejatinya lahir karena dampak negatif yang ditimbulkan, diantaranya: mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya, menimbulkan pencemaran udara dan air akibat tailing dan limbah tambang yang beracun, menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuhan tambang, dan gempa. Hal ini tentu mengancam keselamatan dan hak generasi sekarang, begitu juga generasi yang akan datang.
Tercatat, sepanjang tahun 2020, terjadi 45 kasus tambang yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi serta rusaknya lahan sebesar 714.692 hektar. Berdasarkan kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa banyak dari perusahaan pertambangan hanya ingin meraup keuntungan pribadi tanpa memerhatikan keadaan lingkungan sekitarnya yang masih jauh dari kata “sejahtera”.
Selain itu, operasi pertambangan juga menyebabkan sekitar 70% kerusakan lingkungan di Indonesia. Kerusakan tersebut meliputi terancamnya 3,97 juta hektar hutan kawasan lindung, 108 daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah, dan eksploitasi kawasan pesisir dan laut. Kerusakan juga dapat berasal dari hasil pembakaran dari tambang batubara berupa limbah bahan bahaya beracun (B3). Hal ini terbukti dari terjadinya hujan debu hasil pembakaran batubara di PLTU Suralaya yang melimpahkan dampak buruk, seperti terganggunya sistem mata pencaharian warga hingga kelayakan hidup warga sekitar PLTU.
Padahal, sejatinya, setiap manusia berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Demikian, peristiwa di atas sebenarnya tidak mengaminkan amanat Pasal 28 H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Adanya pasal tersebut seharusnya menjadi alasan bagi Negara untuk memenuhi hak warga negaranya, yang mana harus diwujudkan dengan cara memberdayakan dan memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Koesnadi (1990) bahwa pemberian informasi yang benar oleh suatu badan pelaku kegiatan merupakan prasyarat penting bagi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup.
Hal tersebut dimanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang tujuannya memberi perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang selanjutnya direvisi dalam UU Ciptaker.
Pentingnya peran masyarakat sebagai pengawas lingkungan dibuktikan dengan lahirnya prinsip strict liability (pertanggung jawaban mutlak). Strict Liability ini merupakan prinsip penghapusan pembuktian unsur kesalahan oleh penggugat yang diberatkan kepada pelaku kegiatan yang tergolong berbahaya (B3) sebagai dasar pembayaran ganti rugi pada penegakan hukum lingkungan. Prinsip ini diformulasikan dalam Pasal 88 UUPPLH yang dicabut dan diganti menjadi Pasal 88 UU Ciptaker yang dinilai mempersempit partisipasi masyarakat terkait Amdal. Berikut perbedaan pasal 88 UU PPLH dengan UU Ciptaker:
Hilangnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam UU Ciptaker ini dinilai sama sekali tidak memperjelas konsep strict liability (tanggungjawab multak) dan malah menghapuskan konsep strict liability. Padahal, konsep ini dapat menjadi tombak dalam hal pengawasan seluruh masyarakat terhadap badan usaha sebagai bentuk pertanggung jawaban atas hak dan kewajibannya terhadap lingkungan. Dengan demikian, penggugat dalam hal ini dibebankan unsur pembuktian agar perbuatan tergugat dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Strict liability di Indonesia sejatinya telah diatur dalam pasal 21 UU No. 4 Tahun 1982 yang telah direvisi dalam Pasal 88 UU PPLH, dan direvisi kembali dalam UU Ciptaker. Namun, dengan dihapuskannya konsep strict liability di dalam UU Ciptaker, apakah konsep strict liability yang berlaku akan kembali kepada ketentuan sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang mengkategorikan strict liability sebagai perbuatan melawan hukum (PMH)?
Dalam buku yang berjudul “Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus” oleh Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, sebenarnya, kalimat “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” mubazir karena secara eksplisit pasal ini mengatur tentang tanggung jawab mutlak yang dalam definisinya sendiri telah memuat unsur kesalahan tanpa pembuktian.
Menurut Prof. Andri G. Wibisana, Strict Liability pada akhirnya memunculkan sifat melawan hukum karena strict liability tidak dapat didasarkan pada adanya fakta terkait tindakan pelanggaran terhadap suatu kewajiban. Dalam hal ini, Pasal 88 UU PPLH juga memaknai strict liability sebagai PMH karena ada unsur-unsur yang dijelaskan lebih lanjut melalui doktrin atau pendapat ahli hukum.
Salah satunya adalah pendapat dari Baldwin yang mengatakan bahwa dalam mengajukan gugatan Strict Liability penggugat perlu membuktikan tiga hal, yaitu bahwa tergugat telah melakukan kegiatan yang tergolong berbahaya, kegiatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi penggugat, dan kerugian itu timbul karena kegiatan yang dilakukan tergugat.
Oleh karena itu, definisi strict liability dalam Hukum Lingkungan Indonesia, baik yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer, Pasal 88 UU PPLH, maupun Pasal 88 UU Ciptaker sepatutnya diartikan dan dikonsepsikan sama dengan “tanggung jawab mutlak” sebagaimana Penjelasan Pasal 88 UU PPLH.