Pertanyaan “Quo Vadis” atau “ke mana arah” sistem peradilan Indonesia semakin relevan ketika kita menyaksikan potret buram penegakan hukum di negeri ini. Hukum yang semestinya menjadi panglima, justru sering kali tunduk pada kepentingan kekuasaan, uang, dan status sosial. Kepastian hukum yang dijanjikan dalam konstitusi dan dijunjung dalam semangat reformasi justru tampak seperti ilusi—jauh dari kenyataan.
Fenomena yang paling mencolok adalah ketimpangan dalam perlakuan hukum. Adagium klasik “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” hari ini bukan lagi sekadar kritik, tetapi menjadi realitas yang berulang dan membudaya. Masyarakat kecil dengan kesalahan ringan sering kali dihukum berat, sementara para pejabat atau elite yang terjerat kasus korupsi justru bisa “bermain” di balik jeruji, bahkan menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan. Hal ini menegaskan bahwa supremasi hukum masih menjadi wacana semu di tengah praktik hukum yang diskriminatif.
Ironisnya, sistem peradilan kita dirusaki olek mafia peradilan yang belum terputus matarantainya. misalnya, baru-baru ini, Kejaksaan Agung menetapkan empat hakim sebagai tersangka penerima suap dengan nilai total Rp 60 Miliar. Empat hakim itu adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanto dan tiga hakim lain, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Empat hakim itu bersama tiga orang lain, jadi tersangka terkait pengurusan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode januari-April 2022 dengan terdakwa korporasi di Pengadilan tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Mereka diduga menerima suap melalui tersangka MAN (Muhammad Arif Nuryanta), yang merupakan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat pada saat itu, dari tersangka AR (Ariyanto), seorang advokat yang mewakili korporasi dalam perkara ini. Tujuan pemberian suap tersebut adalah untuk mempengaruhi putusan agar perkara tersebut diputus lepas.
Hingga 15 April 2025, beberapa kasus suap yang melibatkan hakim masih dalam proses hukum, namun belum ada perkembangan signifikan hari ini. Skandal Suap Kasasi Ronald Tannur. Dalam kasus ini, terdakwa pembunuhan Ronald Tannur yang awalnya divonis bebas oleh PN Surabaya, kemudian dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung. Terdapat dugaan suap yang melibatkan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, yang berusaha mempengaruhi tiga hakim agung. Selain itu, pengacara Lisa Rahmat dan ibu Ronald, Meirizka Widjaja, juga menjadi tersangka. Ketiga hakim PN Surabaya yang menangani perkara ini, yaitu ED, M, dan HH, telah diperiksa oleh Kejaksaan Agung.
Pada tahun 2023, telah terjadi suap Hakim Agung dalam Kasus Bansos, PNS Mahkamah Agung, Desy Yustria, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara terkait suap yang melibatkan hakim agung Sudrajad Dimyati dalam perkara korupsi bansos. Beberapa pihak lain, termasuk pengacara dan pengusaha, juga terlibat dalam skandal ini.
terjadi suap Hakim di Bandung. Tiga PNS di Bandung diperiksa terkait dugaan suap dalam perkara korupsi dana bansos. Mahkamah Agung telah memberhentikan hakim Ramlan Comel, sementara hakim Pasti Serefina Sinaga yang sudah pensiun, dikenakan pasal tindak pidana korupsi.
Pada Agustus 2023, pemecatan Hakim Dede Suryaman. Hakim Dede Suryaman dari PN Jakarta Barat dipecat karena terbukti menerima suap sebesar Rp300 juta dalam perkara korupsi proyek jembatan Brawijaya Kediri. Ia mengaku menyesal dan telah mengembalikan uang tersebut sebelum menjatuhkan putusan.
Belum lagi kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan hakim di Indonesia, yang telah merusak sistem peradilan, seperti Kasus Hakim Agung Patrialis Akbar (2017). Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan menerima suap terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ia dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta.
Kasus Hakim Widya Nurfitri (2018). Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Widya Nurfitri, ditangkap KPK karena diduga menerima suap untuk memenangkan perkara perdata. Ia dijatuhi vonis 5 tahun penjara.
Pada tahun 2022, Kasus Hakim Yustisial EW di Mahkamah Agung. Hakim Yustisial EW di Mahkamah Agung dipecat karena menerima suap senilai Rp2 miliar untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Transparency International Indonesia menyebut kasus ini sebagai pintu masuk untuk membongkar praktik mafia peradilan.
Ada juga, kasus Hakim Agung Gazalba Saleh (2023). Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dituntut 11 tahun penjara karena diduga menerima suap 20.000 dollar Singapura terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung. Meskipun awalnya divonis bebas, KPK mengajukan kasasi.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa praktik korupsi dan penyuapan oleh oknum hakim telah merusak integritas sistem peradilan di Indonesia, menurunkan kepercayaan publik, dan menciptakan ketidakadilan.
Disisi lain, untuk memutus mata rantai mafia peradilan di Indonesia bukan pekerjaan mudah, tapi bukan mustahil. Dibutuhkan kemauan politik yang kuat, reformasi sistemik, dan dukungan publik. Hal ini harus berangkat dari hal yang fundamental seperti, Transparansi Proses Peradilan, Penguatan Lembaga Pengawas, Pendidikan Etika Sejak Dini, artisipasi Masyarakat Sipil & Media, Hukuman Berat dan Efek Jera, dan Reformasi Rekrutmen dan Promosi Hakim dan Jaksa.
Dalam konteks teori hukum, Hans Kelsen melalui teori Stufenbau des Rechts (teori jenjang norma) menyatakan bahwa sistem hukum seharusnya berjalan secara hirarkis dan konsisten, dengan norma dasar (Grundnorm) sebagai fondasinya. Jika norma dasar ini adalah konstitusi yang menjamin keadilan dan kepastian hukum, maka seluruh norma turunannya, termasuk praktik peradilan, seharusnya mencerminkan nilai-nilai tersebut. Namun dalam praktik di Indonesia, sering kali terjadi pelanggaran terhadap prinsip tersebut, di mana penegakan hukum dilakukan tidak berdasarkan norma objektif, melainkan norma-norma kepentingan yang bersifat subjektif dan transaksional.
Di sinilah letak krisis legitimasi sistem peradilan kita: tidak adanya jaminan kepastian hukum, serta lemahnya komitmen terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri. Negara hukum (rechtstaat) yang kita cita-citakan berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat), di mana hukum hanya menjadi alat formalitas dan legitimasi belaka.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendorong kembali supremasi hukum sebagai pilar utama demokrasi dan keadilan sosial. Reformasi hukum tidak boleh berhenti pada tataran kebijakan, tetapi harus menyentuh akar budaya hukum: mulai dari integritas penegak hukum, transparansi lembaga peradilan, hingga partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya hukum.
Pertanyaannya kembali: Quo Vadis, ke mana arah sistem peradilan Indonesia? Jawabannya ada pada komitmen kolektif bangsa ini untuk menegakkan hukum sebagai kekuatan yang adil, setara, dan tidak pandang bulu. Jika tidak, maka sistem peradilan hanya akan menjadi panggung sandiwara keadilan semu, dan kita semua adalah penonton yang tertipu.