Sabtu, April 20, 2024

Quo Vadis Peta Jalan Pajak Karbon Indonesia

Galih Ardin
Galih Ardin
Hi, my name is Galih Ardin. Since childhood, I have had an interest in economics and accounting even though at that time I wanted to be an engineer (LOL). I completed my diploma degree at the State College of Accounting (STAN) in 2008. Also, I completed my undergraduate education at the Asian Banking Finance Informatics Institute (ABFII) Perbanas. My interest in economics, taxation, accounting and econometrics increased when I continued my master's degree at the National Graduate Institute for Policy Studies, Japan. Nowadays, I am working at the headquarter of the Directorate General of Taxes.

Undang–undang harmonisasi peraturan perpajakan telah disahkan oleh Pemerintah bersama dengan DPR. Terdapat beberapa isu baru dalam undang–undang yang lahir di masa pandemi ini, salah satunya adalah pajak karbon. Namun demikian, belum banyak yang kita ketahui mengenai pajak karbon ini. Hal ini dikarenakan pajak yang merupakan turunan dari pigouvian tax ini belum dikenal dalam sistem perpajakan di Indonesia sebelumnya.

Pasal 13 Undang–undang HPP antara lain mengatur bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon. Lebih lanjut, Undang–undang tersebut juga mengatur bahwa peta jalan karbon memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi terbarukan dan keselarasan dengan kebijakan lainnya.

Selanjutnya, Pasal 13 Undang–undang HPP juga mengatur bahwa yang menjadi Subjek Pajak Karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sedangkan yang menjadi Objek Pajak Karbon adalah pembalian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Adapun tarif pajak karbon adalah lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon dioksida ekuivalen (CO2) atau satuan yang setara.

Apabila menengok ke belakang, maka penerapan pajak karbon tidak lepas dari tingginya angka polusi di Indonesia. Menurut Dunne (2021), pada tahun 2015 Indonesia dinobatkan sebagai Negara penghasil emisi terbesar nomor empat di dunia. Fakta lain menyebutkan bahwa pada tahun 2016 indeks polusi di Indonesia adalah sebesar 21.6, jauh di atas standar WHO sebesar 10  (Greenstone & Fan, 2019). Selain itu, Dunne (2020) juga menyampaikan bahwa emsi per kapita di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 9.2 juga lebih tinggi daripada rata – rata emisi per kapita dunia sebesar 7,0.

Tingginya tingkat polusi tersebut menyebabkan berbagai implikasi negatif seperti perubahan iklim, hujan asam, peningkatan jumlah masyarakat yang menderita pneumonia dan bronchitis, peningkatan anggaran kesehatan serta penurunan investasi. Bahkan, Greenstone & Fan (2019) melaporkan bahwa rata – rata angka harapan hidup di Indonesia berkurang sebesar 1,2 tahun sebagai akibat dari polusi.

Untuk mengurangi tingkat polusi di Indonesia, berbagai upaya juga telah dilakukan oleh pemerintah seperti pensyaratan uji emisi kendaraan, penrsyaratan standar Euro 3, moratorium izin pemanfaatan hutan alam dan lahan gambut, pengaturan jam kerja, car free day dan lain sebagainya.

Namun demikian, berbagai upaya tersebut kiranya tidak membuahkan hasil maksimal. Oleh karena itu, melalui Undang – undang HPP Pemerintah berharap dapat mengurangi tingkat emisi di Indonesia sesuai kesepakatan Paris Pledge. Menurut Himes & Kam, (1999) pajak karbon mempunyai berbagai keunggulan kompetitif dalam menurunkan tingkat emisi dibandingkan dengan instrumen kebijakan lain.

Pertama, pajak karbon dapat mengurangi emisi dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan instrument kebijakan lainnya. Kedua, penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk mengisi kas Negara sekaligus untuk melaksanakan program perbaikan lingkungan. Ketiga, pajak karbon dapat mengurangi distorsi pengenaan pajak. Keempat, pajak karbon dapat mendorong innovasi teknologi secara berkelanjutan.

Meskipun pajak karbon memiliki berbagai keunggulan, namun di sisi lain pajak karbon juga menimbulkan eksternalitas. Pertama, pengenaan pajak karbon akan berimplikasi pada kenaikan harga bahan bakar yang pada akhirnya akan menaikan cost of production. Dari sisi makro ekonomi, kenaikan harga energi ini akan berdampak negatif terhadap semua indikator makro ekonomi. Bahkan, BKF memperkirakan bahwa penerapan pajak karbon akan menjadikan pertumbuhan ekonomi lebih rendah sebesar 0.06% dari kondisi yang seharusnya (Kemenkeu, 2021).

Kedua, pengenaan pajak karbon juga akan menimbulkan masalah etik dimana pelaku ekonomi akan berpandangan bahwa mereka dapat bebas melakukan pencemaran lingkungan selama mereka membayar pajak karbon. Ketiga, pajak karbon berpotensi menimbulkan distorsi dan tumpang tindih pemajakan dengan PPh Pasal 22 migas, batubara dan pajak daerah kendaraan bermotor.

Oleh karena itu, agar pajak karbon efektif menurunkan angka polusi di Indonesia, maka pada dasarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Pertama, sebelum menerapkan pajak karbon, pemerintah perlu melakukan eliminasi terhadap pajak-pajak yang berpotensi menimbulkan distorsi atas penerapan pajak karbon. Misalnya dengan cara melakukan restrukturisasi terhadap PPh Pasal 22 batubara, migas dan pajak kendaraan bermotor. Hal ini penting agar tidak terjadi double taxation terhadap konsumsi energi.

Kedua, Pemerintah harus secara jelas menentukan objek pajak karbon. Berdasarkan Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019) diketahui bahwa sumber polutan terbesar di Indonesia pada tahun 2018 adalah sektor kehutanan dan gambut yaitu sebesar 44%, disusul oleh sector energy sebesar 36% dan limbah sebesar 8%. Oleh karena itu, selain mengenakan pajak karbon terhadap konsumsi energy, pemerintah juga seharusnya mengenakan pajak karbon terhadap aktivitas yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut.

Ketiga, pemerintah perlu mengatur secara jelas mengenai mekanisme pembayaran, pelaporan dan pengawasan pajak karbon. Hal ini dimaksudkan agar pajak karbon tidak hanya menjadi gimmick belaka namun secara efektif harus mampu menurunkan tingkat emisi di Indonesia.

Keempat, untuk mendukung penerapan pajak karbon, pemerintah dapat secara konsisten memberikan insentif pajak terhadap sektor industri yang menggunakan energi terbarukan. Dalam jangka panjang, kebijakan ini akan menarik investasi terbarukan serta merubah pola perilaku para pelaku ekonomi kepada green economy.

Referensi

Dunne, D. (2022, January 06). The Carbon Brief Profile: Indonesia. Retrieved from Carbon Brief: clear on climate: https://www.carbonbrief.org/the-carbon-brief-profile-indonesia

Greenstone, M., & Fan, Q. (2019). Indonesia’s Worsening Air Quality and Its Impact on Life Expectancy. Chicago: AQLI: Air Quality Life Index.

Himes, S., & Kam, F. d. (1999). Environmentally-Related Taxes: A Tax Policy Perspective. In Environmental Taxes: Recent Developments in China and OECD Countries (pp. 51-59). Paris: OECD Publishing. doi:https://doi.org/10.1787/9789264173439-en.

Kemenkeu. (2021). Naskah Akademik RUU Tentang Perubahan Kelima atas Undang – undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Jakarta: Kementerian Keuangan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2019). Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan dan Verivikasi. Jakarta: KLKH. Retrieved from http://ditjenppi.menlhk.go.id/reddplus/images/adminppi/dokumen/igrk/lapigrkmrv2019.pdf

Galih Ardin
Galih Ardin
Hi, my name is Galih Ardin. Since childhood, I have had an interest in economics and accounting even though at that time I wanted to be an engineer (LOL). I completed my diploma degree at the State College of Accounting (STAN) in 2008. Also, I completed my undergraduate education at the Asian Banking Finance Informatics Institute (ABFII) Perbanas. My interest in economics, taxation, accounting and econometrics increased when I continued my master's degree at the National Graduate Institute for Policy Studies, Japan. Nowadays, I am working at the headquarter of the Directorate General of Taxes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.