Sabtu, April 20, 2024

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa Indonesia?

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.

Gerakan mahasiswa Indonesia, dalam situasi kritis karena pengebirian demokrasi sekarang ini, semestinya segera merumuskan gagasan seraya mengambil inisiatif perubahan. Namun tanpa mengecilkan peran gerakan mahasiswa sebagai simbol perubahan, saya melihat gambaran agak suram dalam sejarah bahwa gerakan mahasiswa Indonesia seringkali gagal menghadapi situasi kritis.

Sebagaimana juga dikatakan Ahmad Wahib dalam catatan hariannya bahwa “Kekuatan revolusioner dari mahasiswa selalu gagal dalam merebut pimpinan dan memimpin inisiatif di saat-sat genting yang menentukan. Cobalah kita perhatikan apa yang terjadi pada situasi proklamasi 1945 dan Maret 1966.” (Ahmad Wahib, Tentang Gerakan Mahasiswa, 23 Oktober 1970).

Agaknya memang tak bisa dipungkiri, setidaknya sejak proklamasi kemerdekaan 1945, gerakan mahasiswa Indonesia seringkali gagal merebut inisiatif menghadapi situasi kritis. Banyak yang mensinyalir gerakan mahasiswa Indonesia belum benar-benar muncul secara organik. Gerakan mahasiswa seringkali masih bergantung pada kekuatan golongan lain bahkan cenderung gagal menjaga jarak terhadap kekuatan militer menjelang berakhirnya rezim Orde Lama Soekarno.

Gerakan mahasiswa tak jarang terkooptasi kepentingan pragmatis dari para petualang politik yang mencari keuntungan pribadi (vested interest) yang pada akhirnya merusak independensi dan legitimasi gerakan. Memang masih cukup santer terdengar bahwa sebagian dari kelompok gerakan mahasiswa di Indonesia adalah underbow atau kepanjangan tangan dari kepentingan politik praktis golongan tertentu.

Memang, setidaknya sejak reformasi, gerakan mahasiswa tidak officially menjadi bagian dari struktur kepengurusan partai politik dan ideologi golongan manapun namun ditengarai terpengaruh secara kultural (ideologis) bahkan tak jarang menjadi broker kepentingan politik demi meraup dukungan konstituen mahasiswa di kampus. Maka seringkali muncul polarisasi hingga konflik internal di kalangan aktivis mahasiswa yang pada akhirnya memecah soliditas dan solidaritas gerakan mahasiswa.

Perpecahan internal gerakan mahasiswa seringkali telah membuyarkan soliditas dan solidaritas gerakan mahasiswa dalam menghadapi situasi kritis. Pada tahun-tahun menjelang lengsernya rezim Soekarno, gerakan mahasiswa meski kelihatan solid dan bersatu melawan Soekarno namun sesungguhnya mereka terpecah-belah dalam faksi-faksi dan juga sangat bergantung pada kekuatan militer angkatan darat. Setelah rezim Soekarno tumbang maka segera dengan sendirinya gerakan mahasiswa terbecah-belah dalam berbagai faksi yang sulit disatukan kembali.

Padahal peran konkret gerakan mahasiswa dalam mendorong perubahan hanya akan terwujud apabila mereka kembali solid dan menyatukan pandangan minimal dalam persoalan dan isu yang menjadi keresahan bersama yang mereka rumuskan secara organik. Namun ketika gerakan mahasiswa masih belum tuntas dengan problem independensi dan organisme gerakan maka tentu sulit sekali mengharapkan peran mereka sebagai eksponen gerakan yang legitimate dalam mendorong perubahan sosial di masyarakat.

Meski tidak bisa dipungkiri peran gerakan mahasiswa juga berkontribusi pada aksi-aksi non-struktural seperti solidaritas, pendampingan hingga advokasi berbasis komunitas di masyarakat. Gerakan mahasiswa juga, meminjam istilah Soe Hok Gie, menjadi moral forced yang berada di garda depan bahkan tak jarang menjadi martir menentang status quo mulai dari angkatan 1966, 1998 hingga 2019 dalam gerakan #Reformasidikorupsi.

Namun lemahnya soliditas gerakan mahasiswa seringkali mengecilkan peran konkret (struktural) mereka di tengah masyarakat sehingga dianggap kurang signifikan dalam mendorong perubahan yang diperlukan. Seringkali gerakan mahasiswa hanya diakui sebatas wadah belajar berorganisasi sebelum terjun ke masyarakat. Dengan kata lain gerakan mahasiswa belum diakui secara konkret eksistensi perannya di tengah masyarakat.

Salah satu contohnya adalah peran lembaga pers kampus yang seringkali direduksi sekadar lembaga pelatihan kegiatan jurnalistik bagi mahasiswa sebelum terjun dalam arena jurnalisme profesional. Padahal tidak jarang lembaga pers mahasiswa menghasilkan produk jurnalistik berupa laporan-laporan jurnalistik dan investigasi yang tidak kalah kualitasnya dari media profesional.

Romantisme sejarah gerakan mahasiswa selalu menarasikan secara berulang bahwa gerakan mahasiswa selalu berada di garda depan (avant garde) mendorong perubahan radikal. Pada dasarnya kondisi objektif memang mengharuskan peran mahasiswa menginisiasi perubahan-perubahan radikal karena mereka adalah salah satu pihak yang niscaya melanjutkan kepemimpinan di masa depan. Maka hanya ada dua pilihan bagi mahasiswa; mengubah sejarah atau dipaksa berubah oleh sejarah tanpa menjadi subjek sejarah yang merdeka.

Barangkali banyak pihak yang mencibir “bagaimana bisa mahasiswa menginisiasi perubahan radikal, lha mengubah diri mereka sendiri saja tidak bisa.” Cibiran itu tentu sangat mudah dimentahkan karena hanya memandang secara kasuistis dimensi persoalan mahasiswa dari segi personal (individual) bukan melihat elan vital dari entitas mahasiswa sebagai subjek kolektif. Cibiran itu juga batal karena sejarah telah membuktikan perubahan radikal yang dipelopori mahasiswa sekolah teknik di Bandung pada tahun-tahun 1920an yang memunculkan tokoh Soekarno yang menyebarkan pemikiran cemerlang mengenai sintesa persatuan nasional berupa gagasan nasionalisme Indonesia.

Tentu saja tantangan gerakan mahasiswa di era sebelumnya berbeda dengan era kekinian yang jauh lebih kompleks tingkat persoalannya. Maka dari itu diperlukan rumusan baru mengenai arah dan visi gerakan mahasiswa secara garis besar atau katakanlah semacam outline gerakan yang menghimpun konsensus mengenai prioritas persoalan yang seharusnya menjadi konsen bersama.

Namun saya pikir akan sangat terjal jalan untuk mencapai konsensus itu. Sebab hingga kini gerakan mahasiswa sangat terpolarisasi dan seringkali bertengkar mengenai berbagai persoalan yang patut (worth it) untuk diperjuangkan atau tidak. Polarisasi gerakan mahasiswa dalam menyikapi berbagai persoalan mencerminkan bahwa gerakan mahasiswa masih belum mencapai independensi dan sikap organik sehingga seringkali bersikap reaktif bahkan tidak jujur dalam menimbang berbagai persoalan. Quo vadis gerakan mahasiswa?

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.