Setiap tahun seluruh perempuan di dunia merayakan International Women’s Day, yang beberapa hari lalu di peringati di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Euforia itu di tumpahkan dalam gerakan Women March 2018 yang di gelar di ibu kota Jakarta. Berbagai afiliasi tumpah ruah, mulai dari organisasi buruh, organisasi-organisasi feminis, hingga organisasi-organisasi yang mengatasnamakan penegak hak asasi manusia rela datang dari berbagai penjuru Indonesia untuk bersatu melawan ketidakadilan gender.
Sebagai gerakan sosial kita tentu saja sepakat bahwa feminisme telah menjadi magnum opus bagi perempuan-perempuan di dunia dalam mengilhami kesadaran untuk melawan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Di sisi lain penting bagi kita untuk merefleksikan eksistensi feminisme hari ini.
Sekelumit tanya kemudian muncul dalam memaknai esensi aksi-aksi simbolik tersebut : Sudah sejauh mana ia bekerja dalam masyarakat kita? Dan apakah masih di perlukan ide-ide feminisme hari ini? Tulisan ini adalah refleksi otokritik bagi pembaca feminis dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perubahan zaman yang sangat luar biasa cepat.
Pasca Orde Baru, adalah era di mana sebenarnya perempuan mengalami pencerahan baik dalam akses informasi dan kesempatan seluas-luasnya. Namun paradoks kemudian memunculkan tanya: mengapa jika feminisme bertujuan mulia untuk menggugah kesadaran perempuan untuk berani melakukan bargain dalam relasi power.
Lalu kenapa ada perempuan yang masih menentangnya dan merasa nyaman dengan kondisi patriarki hari ini, bahkan ada yang mengejek feminisme sebagai produk barat dan tidak cocok dengan konteks sosial hari ini. Bagi penulis, jawabannya tidak sederhana. Ada permasalahan mendasar yang harus di tinjau dan di refleksikan dari sejarah peran perempuan di Indonesia.
Pertama, narasi sejarah telah membuktikan bahwa terdapat tata kelola masyarakat yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Akar penindasan itu bermula dari sistem feodalisme yang berlangsung sangat lama selama abad pertengahan dan berlanjut dengan adanya aksi kolonialisme barat yang tergambar dalam kisah-kisah Kartini tentang feodalisme (Pramoedya, Panggil Aku Kartini Saja).
Dalam praktik feodalisme, laki-laki dianggap sebagai pemeran utama dalam tatanan masyarakat dan selalu mengidentikkan laki-laki sebagai simbol kekuasaan dan kekuatan sedangkan perempuan sebagai pemeran pelengkap yang bekerja di ruang domestik. Anggapan bahwa perempuan adalah the second sex (Simone de Beauvoir) ternyata tertanam kuat dalam jejak sejarah masyarakat kita.
Kedua, pergeseran rezim dari orde lama menuju orde baru tidak serta merta memberikan ruang bagi perempuan dalam konteks kebebasan politik, justru sebaliknya telah membunuh aktivisme perempuan itu sendiri. Kontruksi mental yang dilakukan oleh negara cukup kuat sehingga menyebabkan perempuan mengalami hegemoni dan berdampak pada melemahnya daya kritis.
Hal ini dimulai sejak penghancuran Gerwani dan PKI pasca G30S/PKI dan pemberlakuan politik state-ibuism oleh rezim Soeharto. Spirit patriarki telah dilanggengkan dalam waktu yang sangat lama, bersamaan dengan spirit kolonialisme yang dibawa oleh negara-negara penjajah: menaklukkan dan menguasai. Bahkan tidak tanggung-tanggung, ia di dukung oleh institusi paling kuat di atas muka bumi ini yaitu negara.
Dalam konteks ini, ada dampak psikologi yang cukup kuat bagi eksistensi perempuan hingga hari ini. Perempuan yang menolak ide-ide feminisme (yang dianggap produk barat dan asing) telah nyaman dalam kondisi status quo patriarki akibat dari pelemahan perempuan secara gradual, terstruktur dan intens selama berpuluh-puluh bahkan berabad abad tahun lamanya terhadap.
Saking lamanya, dampaknya adalah munculnya apa yang di sebut sebagai Implisit Bias. Juga dikenal sebagai kognisi sosial implisit yakni kondisi yang mengacu pada sikap atau stereotip yang mempengaruhi pemahaman, tindakan, dan keputusan kita secara tidak sadar.
Bias-bias ini, yang mencakup penilaian yang baik dan tidak menguntungkan, diaktifkan tanpa sadar dan tanpa kesadaran individu atau kontrol yang disengaja. Berada jauh di alam bawah sadar, bias ini berbeda dari bias yang diketahui yang dapat dipilih orang untuk menyembunyikan tujuan kebenaran sosial dan politik. Bias implisit tidak dapat dikontrol melalui introspeksi.
Asosiasi implisit yang kita miliki di alam bawah sadar membuat kita memiliki perasaan dan sikap tentang orang lain berdasarkan karakteristik seperti ras, etnis, usia, gender dan penampilan. Hal tersebut bepotensi menghalangi seseorang untuk bersikap open-minded dan menyebabkan bertahanya perasaan inferior.
Terlepas dari pro kontra terhadap ide feminisme, penting atau tidaknya ide feminisme di Indonesia sebenarnya sangat terlihat dari relasi power yang terjadi selama ini dalam masyarakat kita. Sudut pandang, posisi pekerjaan, peran sosial, dan kekerasan semuanya yang masih sangat masculin-centris masih membelenggu sebagian perempuan hingga hari ini.
Dan secara mengejutkan, tidak ada ideologi pembebasan lainya yang dapat menyelamatkan perempuan dari praktik-praktik pelemahan kecuali ide feminisme. Untuk itulah, feminisme sejatinya masih sangat relevan, terutama bagi perempuan-perempuan di negara dunia ketiga dimana persoalan mendasarnya masih seputar bias cara pandang dalam menempatkan posisi perempuan dalam kondisi yang setara di mata hak asasi manusia.
Memang mungkin ini terdengar utopis. Namun menyadarkan perempuan adalah kerja etik yang tak kenal ruang dan waktu, Mengaktifkan peran kurikulum berbasis pendidikan feminisme adalah salah satu tawaran solusi dan menjadi kerja berat bagi pegiat feminisme hari ini.
Pendidikan gender masih di perlukan karena hanya sebagian kecil masyarakat yang menyadari tentang pentingnya feminisme, Edukasi tentang bagaimana feminisme yg efektif menjadi tawaran alternatif.
Hal yang paling fundamental untuk adalah gerakan politik pendidikan yang bisa dimulai dengan mendukung calon eksekutif perempuan dan membuat kontrak politik atau masuk ke dalam parlemen karena legislatif mempunyai otoritas untuk membuat Undang-Undang. Jika merujuk pada pengertian bahwa feminisme adalah norma dari sekian banyak norma, maka untuk membuat norma menjadi taken for granted perlu adanya upaya institusionalisasi.
Menurut Martha Finnemore, seorang konstruktivis, norma memiliki dua fungsi yakni fungsi regulatif dan konstitutif. Fungsi konstitutif norma menjadi dasar dalam merumuskan preferensi dari kepentingan yang akan diputuskan dalam kebijakan sesuai norma yang di anut aktor pengambil kebijakan. Fungsi kedua adalah fungsi regulatif, yang akan mengatur tentang bagaimana tindakan negara yang harus diambil.
Norma memerlukan adanya pelembagaan yang berguna untuk menjamin keberlangsungan dan akan memiliki kekuatan moral yang mengikat anggota yang tergabung. Pelembagaan norma akan menciptakan shared interest yang berfungsi mengikat untuk mempermudah mengorganisir anggotanya dalam rangka mencapai tujuan dari norma tersebut.
Pada akhirnya, kondisi ideal yang ingin di wujudkan sebenarnya adalah tidak adanya labelisasi gender dalam sistem sosial masyarakat kita melalui kebijakan publik yang juga tidak bias gender.