Jumat, Maret 29, 2024

Putusan MK dan Perlindungan Hak Pemilih

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pada 28 Maret 2019 yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 tentang uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Meskipun hanya mengabulkan sebagian permohonan, Putusan MK tersebut dinilai oleh banyak kalangan membawa angin segar bagi perlindungan hak pemilih. Hal ini membuktikan bahwa MK tetap pada relnya yaitu sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights) yang selama ini diembannya. Putusan MK ini diuraikan sebagai berikut:

Pertama, pemilih yang tidak mempunyai kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dapat menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el untuk melakukan pencoblosan. Putusan ini sedikit berbeda dengan Putusan MK Nomor 102/PUUVII/2009 yang masih memperbolehkan identitas lain selain KTP-el seperti paspor sebagai syarat pencoblosan.

Sedangkan Putusan MK saat ini menetapkan syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el dengan memaknainya termasuk di dalamnya surat keterangan perekaman KTP-el.

Tidak Merubah Pendirian

Walaupun berbeda dengan putusan yang sebelumnya, MK dalam pertimbangannya menegaskan bahwa perbedaan tersebut bukan berarti MK telah mengubah pendiriannya. MK beralasan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar. Sebelumnya, dibolehkannya menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih disebabkan data kependudukan belum terintegrasi dengan data kepemiluan sehingga pemilih rawan kehilangan hak pilihnya.

Sedangkan pada saat ini, integrasi data telah dilakukan sehingga alasan untuk menggunakan identitas lain di luar KTP-el menjadi kehilangan dasar pembenarnya. Sebab, apabila pandangan demikian tidak disesuaikan dengan perkembangan pengintegrasian data kependudukan dan data kepemiluan maka akan berakibat terganggunya validitas data kependudukan yang sekaligus data kepemiluan yang pada akhirnya bermuara pada legitimasi pemilu.

Nasib Pemilih Pindahan

Kedua,terkait nasib pemilih pindahan, MK mengabulkan permohonan pengujian batas waktu pendaftaran dengan memperpanjang batas waktu pendaftaran bagi pemilih pindahan.

Pemilih yang ingin pindah memilih (khusus karena  kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara) diberikan perpanjangan waktu, paling lambat bukan 30 hari sebelum pemungutan suara melainkan 7 hari sebelum hari sebelum pemungutan suara.

MK beralasan bahwa melayani “hak memilih warga negara” tetap harus dalam kerangka memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk mempersiapkan segala perlengkapan pemungutan suara. Di samping itu, alasan memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara tidak boleh mengabaikan atau menegasikan hak pilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu.

Oleh karena itu, agar upaya memenuhi hak memilih dan kebutuhan ketersediaan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu haruslah ditentukan batasnya secara proporsional sehingga prinsip penyelenggaraan pemilu secara jujur dan adil dalam rangka memenuhi hak pilih warga negara tetap dapat dipenuhi.

Kompleksitas Penghitungan Suara 

Ketiga, MK mengabulkan pengujian batas waktu penghitungan suara dengan memberikan opsi perpanjangan waktu. Apabila penghitungan suara belum selesai, maka dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.

MK mendasarkan pada pertimbangan, meskipun jumlah pemilih untuk setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) telah ditetapkan paling banyak 300 orang, namun dengan banyaknya jumlah peserta pemilu yang disebabkan pemilu serentak, pasangan calon presiden, calon legislatif dengan tiga tingkat pemilihan (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), dan calon anggota DPD, serta kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan suara maka potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara sangat terbuka lebar.

Apalagi faktor kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan. Padahal UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka keabsahan hasil pemilu akan menjadi terbuka untuk dipersoalkan, sehingga MK memberikan pandangan bahwa waktu penghitungan suara dapat diperpanjang.

Putusan MK ini memberikan terobosan bagi perlindungan hak asasi manusia khususnya hak politik yang rentan dilanggar oleh undang-undang. Hak politik khususnya hak memilih merupakan instrumen yang mendasar dalam pelaksanaan pemilu yang adil. Sehingga amanah konstitusi dalam mewujudkan pemilu yang adil dapat terwujud lewat jaminan terhadap hak memilih yang ditegaskan lewat putusan MK ini.

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.