Minggu, November 24, 2024

Putu Wijaya “Kemerdekaan” dalam Pekan Kebudayaan Nasional

Haekal Julianto
Haekal Julianto
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -

Putu Wijaya membacakan naskah monolog “Kemerdekaan” dalam kegiatan ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional yang diselenggarakan oleh program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu (28/10/2023)siang.

Pekan Kebudayaan Nasional atau yang lebih sehari-hari dikenal dengan PKN merupakan rangkaian acara dua tahunan yang diselenggarakan secara rutin oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia sejak tahun 2019. Penyelenggaraan ini merupakan salah satu implementasi strategis dalam mendorong pengembangan kebudayaan yang disepakati pada Kongres Kebudayaan Indonesia pada tahun 2018. Menciptakan dan memberikan ruang apresiasi, ekspresi dan kreativitas seni dan keanekaragaman budaya, sekaligus mendukung terciptanya interaksi budaya inklusif di seluruh Indonesia.

Pada PKN 2023 ini, terdapat 40 titik ruang tamu di seluruh Jabodetabek, dengan empat titik ruang tamu utama yaitu Galeri Nasional Indonesia, Museum Kebangkitan Nasional, PT. Produksi Film Negara (Persero), dan MBloc Space. Adapun 40 titik tersebut nantinya tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Kepulauan Seribu.

Mulai dari kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Galeri Nasional, Museum Kebangkitan Nasional, MBloc, PFN, Taman Suropati, Kampung Kali Pasir, Kelurahan Paseban, Kelurahan Galur, Pintu 6 Gelora Bung Karno, Taman Ismail Marzuki, Rubanah, Bundaran HI, Stasiun BNI City, Stasiun Palmerah, Gudskul, Pasar Cipulir, Kelurahan Ulujami, Blok M Square, Ateliar Ceremai, BKT Duren Sawit, Kongsi 8, Sanggar Anak Akar, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 10, SMPN 195, Taman Mini Indonesia Indah, Kelurahan Penjaringan, Stasiun Tanjung Priok, Kampung Kranggan Bekasi, Grand Galaxy Park Bekasi, UIN Syarif Hidayatullah Tangerang, Stasiun Bogor, Taman Ekspresi Bogor, Alun-Alun Kota Bogor, dan Kelurahan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (Sumber: Kemdikbud dalam artikel; ”Gelaran Pekan Kebudayaan Nasional 2023 Resmi Dibuka, #IndonesiaMelumbung Untuk Melambung)

Ruang tamu Pekan Kebudayaan Nasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serangkaian acara yang meliputi semakan puisi, seminar nasional, bedah buku Surat Jibril karya Maftuhah Jakfar, workshop stand up comedy bersama Sakdiyah Ma’ruf, pojok baca Danarto, kemudian ditutup dengan acara Tribute persembahan kepada budayawan ciputat, salah satunya adalah dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu pak Jamal D. Rahman.

Penampilannya ini juga disertai dengan sangkar burung perkutut milik seorang juragan tua, sapu tangan, serta sapu lidi yang telah ia siapkan. Sastrawan senior yang sudah berusia 78 tahun masih tampak sinergis dalam membawakan monolognya, membuat para penonton pun terhanyut dalam ceritanya. Dengan suaranya yang mulai serak,

“Seorang juragan perkutut yang sudah sangat tua, ingin memberikan hadiah kepada burung perkututnya yang sudah puluhan tahun bekerja dengan dia,” ucap Putu.

Monolog ini berkisah tentang seorang juragan tua yang memiliki 70 juta burung perkutut yang disimpannya di dalam sangkar. Suatu hari, juragan itu sangat ingin memberikan hadiah kepada burung perkutut yang paling setia yang berupa kemerdekaan. Lalu, juragan itu pun membuka sangkar burung perkututnya dan berkata,

“Lihatlah itu langit biru, itulah kemerdekaan, itulah yang selalu dikatakan oleh para mahasiswa yang mendemonstrasi di jalan, itulah yang dikatakan oleh para pemimpin yang berkata-kata dengan bijak di atas podium, itulah yang diceritakan oleh buku-buku. Aku berikan itu semua kepada kamu sekarang, bentangkan sayapmu dan terbangkan lah ke langit, ambillah kemerdekaan itu.”

Tapi, sang burung perkutut itu malah ketakutan karena hidupnya pasti berubah, dan dia tidak suka dengan itu. Hidupnya yang sekarang baginya malah lebih nikmat karena segala sesuatu telah siap, tidak ada bahaya yang mengganggu, semuanya nyaman baginya.

- Advertisement -

Sang juragan tua pun marah karena ketololan dari burung perkututnya karena tidak mau menerima hadiah baiknya itu, lalu juragan pun menabok burung itu dengan sapu tangan miliknya, namun sang burung pun tetap tidak ingin keluar, sang juragan geram karena burung perkututnya seolah-olah menolah hadiah yang diberikan oleh juragan diambil sapu lidi ia pukul burung itu. Bahkan, dia mengancam untuk membunuh burungnya jika tidak mau pergi. Akhir dari kemarahannya itu membuat burung perkututnya tadi sekarat karena dipaksa untuk keluar dari sangkar.

“Tiba-tiba burung itu mengepakkan sayapnya lalu terbang. Tapi dia tidak terbang ke langit, dia menabrakkan dirinya ke atas sangkarnya lalu jatuh, tidak bangun lagi, mati,” ujar Putu saat menceritakannya.

Kemudian, lanjut Putu, 70 juta burung perkutut milik orang tua itu berteriak dengan sedih, “Kurr..kutekuk kuk kuk kuk..” Mereka sangat sedih ditinggalkan oleh kawannya yang mati, “Kurr..kutekuk kuk kuk kuk….,” bunyi ini pun ikut disuarakan para penonton yang khusyu mendengarkan cerita Putu.

Hingga akhirnya, sang juragan tua sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa diberikan kepada orang yang memang bisa menghargai dan mengerti kemerdekaan yang sebenarnya. Juragan itu berkata, “Baru hari ini saya tahu bahwa kemerdekaan ada yang tidak membebaskan, baru ini saya tahu ada kemerdekaan yang membunuh.”

Pada akhirnya, sang juragan mengajarkan kepada seluruh burung perkututnya yang masih hidup untuk mengerti terhadap kebebasan yang bisa mereka nikmati. “Aku harus mengajarkan mereka, kemerdekaan tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak mengerti, kemerdekaan harus dipelajari, kemerdekaan harus dibahas, kemerdekaan harus direnungkan, baru bisa mempergunakannya, kalau tidak dia akan membunuh,” kata juragan tua itu.

Tak lama, juragan itu pun membuka semua sangkar burung perkututnya. Sebanyak 70 juta burung keluar dari sangkar dan mengambil kebebasan dengan cara mereka sendiri, termasuk burung-burung perkutut yang terjatuh mati pertama, ternyata burung tersebut hanya pura-pura mati.

“Mereka semua terbang di langit 70 juta burung perkutut yang merdeka” ujar Putu, “seperti inilah kemerdekaan yang kami maksud, kemerdekaan bersama-sama dan di raih dengan perjuangan, bukan kemerdekaan yang hanya di dapat secara Cuma-Cuma, bukan itu yang kami mau” sambung cerita Pak Putu

Lalu mereka semua terbang sambil bergembira, “kurr..kutekuk kuk kuk kuk.., kurr..kutekuk kuk kuk kuk.., kurr..kutekuk kuk kuk kuk..” Putu wijaya kemudian mengajak semua yang hadir untuk menjadi 70juta burung itu dengan mengatakan “kurr..kutekuk kuk kuk kuk..” semua berteriak sampai seiisi ruangan riuh dengan suara itu yang mewakilkan 70juta burung perkutut terbang bebas diudara.

“Mereka terbang di langit, kemudian 70juta burung tersebut berak di udara, sebagai selebrasi atas kemerdekaannya. Mereka memberaki sang juragan itu” ujar Putu Wijaya berbarengan dengan ember yang berisi serpihan kertas kecil dan tepung menggambarkan tai dari 70juta burung ditumpahkan kepada Putu Wijaya.

Pak Putu berkata bahwa, Hakikat dari kemerdekaan itu harusnya datang dari kesadaran diri sendiri. Diraih bersama berjuang bersama dan dengan perjuangan bukan kemerdekaan yang diberikan cuma-cuma.

Haekal Julianto
Haekal Julianto
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.