Rabu, April 24, 2024

Puisi Sukmawati: Sastra sebagai Media Penghinaan?

Imron Maulana
Imron Maulana
Penulis lepas yang aktif sebagai pegiat literasi di Komunitas Pamekasan Membaca (KOMPAK) dan mahasiswa aktif Pascasarjana IAIN Madura.

Sastra sampai saat ini masih dijadikan media paling tepat dalam mengungkapkan ekspresi penulisnya. Menjadi media paling halus untuk berkomunikasi, mengkritik, dan menyampaikan hikmah-hikmah terhadap orang lain.

Tidak jarang pula sastra dijadikan sebagai media pemberontakan dan perlawanan terhadap kelaliman kehidupan kemanusiaan, sebut saja penulis sastra yang sering melakukan perlawanan melalui puisi-puisinya WS Rendra, Wiji Tukul, dan yang lain-lainnya yang tak mungkin penulis tulis semuanya di sini.

Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah karya sastra dijadikan alat untuk menghina? Seperti terjadi belakangan ini di Indonesia yang dihebohkan oleh pembacaan puisi Sukmawati Soekarnoputri dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” dengan judul “Ibu Indonesia” di mana puisi tersebut mengandung isi yang kontroversial bagi agama mayoritas di Indonesia yaitu Islam.

Pembacaan puisi yang berhasil menggoyang umat Islam Indonesia. Membangunkan macan tidur, mungkin ungkapan yang tepat untuk pembacaan puisi Sukmawati, simbolisasi yang digunakannya sangat menggelitik umat Islam Indonesia sebab penggunakan simbol dan perbandingan-perbandingannya menyerang umat Islam.

Perbandingan “sari konde dengan cadar dan kidung dengan adzan” menunjukkan semakin menusuknya Sukmawati terhadap umat Islam. Tusukan mesra yang memancing macan-macan Islam menghantam garang.

Berbicara menghina melalui sastra, penulis teringat kasus atas diterbitnya novel “Ayat-ayat Setan” tulisan Salman Rushdie yang mampu menggoyang umat Islam dan sastra dunia. Tulisan yang berhasil menghebohkan dunia tersebut menyajikan Nabi Muhammad sebagai Mahound (Ruh Jahat), dipandang sebagai penyebar kejahilan, kemesuman, kemungkaran, dan kedurhakaan.

Cara pandang serupa itu menunjukkan agar agama Islam tak lagi menemui masa perkembangan dan ingin menuai citra buruk Islam dan umatnya. Munculnya tulisan tersebut dan pembacaan puisi ibu Sukmawati melahirkan berbagai tuntutan terhadap masing-masing penulisnya. Salman Rushdie dijatuhkannya hukuman mati oleh Ayatullah Khomaini dan ibu Sukmawati dituntut untuk meminta maaf terhadap publik secara terbuka oleh pihak Majelis Ulama Indonesia.

Sastra sebagai bentuk ungkapan ekspresi tentunya mempunyai koridor penggunaan dan pengungkapannya. Seperti yang telah disampaikan oleh sastrawan besar Nusantara Hamzah Fansuri yang nantinya menjadikan ciri khas atas puisi-puisinya (Abdul Hadi: 102-103). Pertama, penekanan penyair terhadap individualitas atau kesadaran diri, yaitu kebebasannya untuk mengekspresikan pengalaman pribadinya.

Kedua, puisi bukan sekedar ungkapan perasaan biasa yang hanya sekedar menyenangkan pembacanya agar terbebas dari duka lara. Puisi yang menyandarkan simbolisasinya terhadap agama untuk mengungkapkan kegairahan mistik, dan fana’, yaitu hapusnya ego rendah dalam Wujud Yang Hakiki, yang bisa disetarakan dengan unio mystica.

Ketiga, menekankan pada individulaitas, tema pencarian diri menjadi perhatian utama. Pencarian diri untuk menemukan kebenaran hakiki seperti di rujuk pada hadis qudsi, “Barangsiapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya”.

Keempat, Al-Qur’an dijadikan asas dan sandaran puitik, serta menggunakan tamsil-tamsil yang terdapat didalamnya sebagai rujukan dan titik tolak renungan puitik. Sehingga terbentuklah pengalaman perenungan yang berperan sebagai cahaya pembimbing penyair.

Kelima, tamsil-tamsil atau citraan simbolik yang digunakan penyair diambil dari kehidupan budaya masyarakatnya dan lingkungan alam Nusantara. Sebagai bentuk keakraban penyair dengan lingkungan dan masyarakatnya.

Koridor sastra ini sangat relevan dan bahkan penting untuk menjadi perhatian penyair dalam menuliskan syair-syairnya. Agar tercipta syair yang mengandung hikmah dan mengajak pembacanya dalam pencarian atas dirinya tanpa menghilangkan identitas budaya dimana ia tinggal.

Dengan tamsil yang diambil dari budaya tempat tinggal penyair serta disandarkan pada Al-Qur’an, maka terbentuklah pola pikir pembaca untuk mengejar kebenaran yang sebenarnya. Bukan malah melakukan sebaliknya, mengambil citraan simbolik dari budaya untuk dibandingkan dengan simbol agama. Hal tersebut akan menghadirkan suasana sebaliknya.

Sastra sebagai bentuk pengungkapan ekspresi memang tidak seharusnya meninggalkan koridor sastra itu sendiri. Baik koridor dari sisi teori kesusastraan maupun koridor dari aturan kenegaraan (budaya). Sehingga tercipta karya sastra yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.

Sampai pada akhirnya tidak akan muncul karya sastra kontroversial seperti Ibu Indonesia-nya Sukmawati Soekarnputri dan Ayat-ayat Setan-nya Salman Rushdie. Karya sastra yang berhasil menggoyang umat Islam Nusantara dan bahkan umat Islam di dunia.

Meski pada akhirnya Sukmawati mengakhiri goyangannya dengan meminta maaf secara terbuka. Seperti diberitakan dalam jarrak.id (Rabu, 4 April 2018) Sukmawati menyatakan “Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mohon maaf lahir dan batin, kepada umat Islam Indonesia”.

Begitupun dengan Salman Rushdie mengakhiri goyangannya dengan berita pertobatannya sebelum meninggal. Sebagaimana yang diliris harian Pelita (Rabu, 26 Desember 1990). Yang endignnya berita pertobatan tersebut menimbulkan kesangsian apakah pertaubatan itu jujur dan ikhlas.

Selanjutnya, dari hebohnya pembacaan puisi dan terbitnya novel tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang ditunjukkan terhadap dunia. Pertama, betapa bersatunya umat Islam di Indonesia dan di Dunia untuk membela serta menjaga keharmonisan tatanan ajaran keislaman mereka. Dan menyegarkan pengetahuan keislaman mereka sehingga relatif tercipta kesadaran baru.

Kedua, munculnya semangat bersastra, berkreasi, dan menulis bagi umat Islam Indonesia. Dengan banyak munculnya sastrawan-sastrawan baru yang populer di media sosial. Khususnya setelah pembacaan puisi Ibu Indonesia sebagai bentuk jawaban atas puisi tersebut.

Dari sinilah semua bisa belajar bahwa setiap yang terjadi akan selalu hadir dari dua arah secara bersamaan. Dari arah yang positif dan dari arah yang negatif, yang semu ini dibutuhkan kekuatan besar untuk menghadapinya. Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan tersebut nampaklah kekuatan sesungguhnya dari manusia untuk menampakkan dirinya.

Sehingga Iqbal tidak terlalu berlebihan atas perkataannya bahwa, “Kemanusiaan yang sebenarnya terletak dalam kesabaran bertarung melawan bencana penderitaan dan kejahatan.”

Selamat menikmati, semoga goyangan ingi tidak terus berlarut setelah permintaan maaf Sukmawati menyapa hati para umat Islam Indonesia.

Imron Maulana
Imron Maulana
Penulis lepas yang aktif sebagai pegiat literasi di Komunitas Pamekasan Membaca (KOMPAK) dan mahasiswa aktif Pascasarjana IAIN Madura.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.