Umat Islam di seluruh pelosok dunia kini tengah melaksanakan satu kewajiban yang bernilai penuh dengan pahala, bahkan berlipat. Mereka diwajibkan oleh agama untuk berpuasa. Sekurang-kurangnya puasa jasmaniah, sebuah bentuk puasa yang berkaitan erat dengan tubuh, yaitu puasa dari makan, minum, hubungan suami isteri (seks) selama satu hari penuh, sebulan lamanya.
Sebetulnya puasa merupakan kebiasaan dalam setiap agama dan kebudayaan masyarakat. Hampir dalam setiap agama dan kebudayaan memiliki tradisi berpuasa, tentu dengan bentuk yang berlainan. Hal tersebut diperkuat oleh firman Allah SWT. dalam Al-Quran, Surat Al-Baqarah : 183 “….sebagaimana telah diwajibkan kepada kaum sebelum kalian, agar kalian bertakwa”.
Umat Islam melaksanakan kewajiban puasa sudah ditentukan waktunya, yakni bulan Ramadan. Menurut Nurcholish Madjid dalam Fatsoen, 2002, bahwa ramadan adalah bulan suci dan pensucian (purgatorio), yaitu salah satu wujud rahmat Allah kepada umat manusia. Puasa Ramadan disyariatkan dengan tujuan untuk memebersihkan manusia dari dosa, karena dosa mengotori hati manusia (nurani). Jika hati manusia kotor maka ia, secara tidak langsung, sedang terseret pada keadaan yang menjauhkannya dari kebahagiaan (paradiso) dan berakhir dalam kesengsaraan (inferno).
Masih menurut Cak Nur, alam purgatorio Ramadan memberi kesempatan kepada manusia untuk berlatih menahan diri dari kejatuhan ke lembah nafsu, yaitu melanggar larangan Allah. Kita bisa mengambil pelajaran dari kasus Adam dan Hawa yang telah pernah jatuh dan terusir dari paradiso. Walaupun kemudian mereka berdua akhirnya diampuni Allah atas apa yang telah mereka lakukan, melanggar larangan Allah untuk mendekati sebuah pohon, hingga kemudian mereka memakannya. Setiap kita, pasti pernah melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari itu.
Puasa dalam bahasa arab disebut shaum atau shiyam yang berarti menahan diri. Latihan menahan diri di alam purgarito ini pada hakikatnya adalah latihan total untuk sepenuhnya menghayati kehadiran Allah SWT dalam konteks hidup yang paling pribadi (private). Ketika ia tengah berpuasa, orang lain tidak akan ada yang tahu kecuali dirinya dan Allah SWT. Ketulusan, kejujuran, dan keikhlasan sedang dilatih di alam purgarito ini, agar setiap individu menjadi manusia suci pilihan Allah yang berkualitas tinggi (takwa).
Manusia suci yang digelari “takwa” tersebut adalah manusia yang takwa secara pribadi, sembari berkonsekuensi sosial, bukan tipe manusia yang takwa sendirian. Kesucian pribadi sama sekali tak berfaidah apa-apa tanpa sikap suci kepada sesama manusia. Dengan kata lain bahwa esensi ketakwaan adalah ketika nilainya bisa dirasakan oleh orang lain. Orang yang bertakwa tidak akan pernah melakukan kekerasan atau suatu tindakan yang bersifat destruktif baik bagi dirinya dan orang lain, atas nama agama sekalipun.
Pengendalian Hasrat
Sebagaimana di awal penulis ungkapkan bahwa puasa adalah menahan nafsu atau hasrat, setidaknya bisa menahan hasrat jasmaniah. Hasrat adalah suatu kecenderungan alamiah yang melekat erat pada diri manusia. Sifat dasar hasrat adalah selalu minta dipenuhi tetapi tidak akan pernah terpenuhi secara final. Definisi tersebut menunjukkan bahwa hasrat diartikan sebuah rasa kurang (lack) yang meminta pemenuhan secara niscaya.
Manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki hasrat akan terus mendapatkan dirinya dalam kondisi kekurangan. Dengan demikian, kekurangan tersebut tentunya harus segera dipenuhi. Walau hasrat itu tak akan pernah terpenuhi. Hasrat adalah kekurangan yang abadi di mana ia melekat pada manusia.
Karena persoalan di atas, maka agama-agama menganjurkan bahkan dalam konteks lain agama mewajibkan para pemeluknya untuk berpuasa. Anjuran dan perintah tersebut didasari dan dilatarbelakangi oleh asumsi atau pemahaman bahwa hasrat merupakan sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, hidup hanya untuk memenuhi hasrat adalah hidup yang buruk.
Dalam konteks agama Islam, ada salah satu hadits Nabi dalam Bab Nikah (Kitab Umdatul Ahkam) yang diterima Abdullah Ibn Mas’ud mengenai anjuran berpuasa bagi para pemuda atau pemudi yang belum mampu menikah. Karena dengan berpuasa tersebut dapat meredam syahwat, atau dalam bahasa Plato sering disebut sebagai hasrat epithumia.
Orang yang hidupnya hanya untuk memenuhi hasrat, padahal hasrat itu tidak akan pernah terpenuhi secara final, dianggap oleh agama-agama sebagai orang yang hidup berdasarkan hawa nafsu. Semuanya tergantung pada hawa nafsu yang meminta dan menghasratinya. Orang yang seperti itu tidak patut di hadapan Tuhan. Maka kemudian agama-agama menganjurkan untuk berpuasa. Dengan berpuasa, manusia akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan lebih peduli dengan orang miskin dan menderita (AA. Apelaby, 2013: 3).
Mengutip tulisan Alexander Aur Apelaby soal hasrat ini, analisis terhadapnya dari beberapa pemikir terdahulu, sudah ada dan sudah berlangsung lama. Salah satunya dari filsuf klasik Yunani, yaitu Plato (427-347 SM). Alexander mengungkapkan bahwa Plato mengidentifikasikan hasrat dasar dalam diri manusia ke dalam tiga bagian.
Pertama, yakni hasrat logistikon atau rasio. Objek logistikon ini adalah kebaikan yang sesungguhnya pasti “benar” dan “indah.” Kedua, hasrat thumos atau rasa bangga, harga diri, sebagai objeknya adalah prestasi, kemenangan, kepahlawanan. Hal-hal tersebut merupakan kebaikan dalam rangka memenuhi harga diri atau rasa bangga. Ketiga, hasrat epithumia atau nafsu. Hasrat ini berkaitan erat dengan hasrat-hasrat biologis. Objeknya adalah nafsu makan, minum, dan seks. Makan, minum, seks pada hakikatnya adalah baik dan berguna sejauh untuk memenuhi kebutuhan dasar biologis.
Ternyata, hasil analisis Plato menunjukkan bahwa hasrat sebagai sesuatu yang alamiah dalam diri manusia adalah positif dengan syarat “kebaikan” yang menjadi objek dari hasrat tersebut. Memenuhi hasrat dengan objek lain yang bukan kebaikan termasuk dalam kategori penyimpangan atau sebutan lainnya adalah manipulasi hasrat. Anjuran dan ajakan serta perintah untuk berpuasa itu karena adanya penyimpangan hasrat. Penyimpangan terjadi manakala manusia mengorientasikan hidupnya melulu untuk harga diri-rasa bangga (thumos) dan nafsu (epithumia).
Dengan demikian, manusia yang orientasi hidupnya hanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan harga diri adalah orang yang tengah menyimpangkan hasratnya. Dan manusia yang orientasi hidupnya hanya untuk kepentingan biologis atau nafsu semata adalah manusia yang tidak hidup berdasarkan hasrat. Mereka adalah manusia-manusia yang tengah memperbudak dirinya pada harga diri dan nafsu.
Memenuhi “hasrat” dengan kebaikan sebagai objeknya adalah salah satu jalan terbaik dan terpuji untuk mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Baik. Mengatur atau mengendalikan hasrat menjadikan manusia lebih dewasa dan bijaksana. Menjadi manusia dewasa dan bijaksana artinya ia telah menyeimbangkan rasio (logistikon), harga diri (thumos) dan hasrat biologisnya (epithumia) secara baik dan benar. Selamat berpuasa, mari kendalikan hasrat !