Dalam selayang pandang, kita seperti tidak melihat hasil dari pembangunan jika tak bisa “diwujudkan” di depan mata. Maka wajar ketika apresiasi yang ada, didapatkan oleh mereka yang berhasil membangun secara fisik. Sementara bagi mereka yang bekerja untuk membangun manusia, kebudayaan, dan aspek lain yang “tidak nyata” kerap tak mendapatkan tempat dan porsi penilaian yang kurang proporsional.
Satu sisi memang penting untuk menunjang pembangunan melalui penyediaan fasilitas dan pembangunan infrastruktur. Tapi membangun kualitas manusia, menjaga kebudayaan, mempertahankan kehidupan sosial, dan penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai sebuah karakter bersama juga sangat penting, pada sisi lainnya.
Pada posisi inilah Puan Maharani berada. Tugasnya sebagai Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) adalah untuk mengorkestrakan pembangunan yang menitikberatkan pada peningkatan kualitas kemanusiaan melalui berbagai koordinasi, sinkronisasi, dan kebijakan-kebijakan produktif yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan, sekaligus untuk mempertahankan Indonesia yang berkepribadian budaya, terutama melalui pelaksanaan revolusi mental.
Maka, dalam konteks ini, sejatinya tugas Puan Maharani adalah tugas kemanusiaan.
Puan Maharani menyadari betul, bahwa kemajuan dan pembangunan manusia akan didapatkan jika mereka terdidik dan sehat secara fisik. Maka pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang disadari Puan Maharani sebagai tugas dan kerja kemanusiaan. Pendidikan terus diupayakan untuk menuju ke kemajuan dengan pemberian kesempatan untuk mengenyam dunia sekolah, pembiayaan melalui KIP, revitalisasi pendidikan vokasional, penguatan pendidikan karakter, termasuk juga komitmen untuk menjaga moralitas dalam dunia pendidikan serta menjaga dari segala bentuk ajaran radikal, ekstrim, dan intoleran melalui kerjasama dengan ormas keislaman seperti PBNU dan Muhammadiyah.
Dalam konteks memajukan dunia kesehatan, pemberian akses yang mudah untuk sehat dan berobat melalui KIS terus digalakkan, pendidikan kesehatan melalui Gerakan Masyarakat Sehat (Germas) dan Kampung KB, bantuan alat kesehatan untuk membudayakan memeriksa kesehatan meski tidak harus ke rumah sakit, kerjasama dengan berbagai instansi (terutama luar negeri), termasuk juga pengawasan terhadap rumah sakit yang “ribet” dan “matre”.
Khusus yang terakhir ini, Puan Maharani kerap kali mewanti-wanti bahwa tugas pelayan kesehatan adalah tugas kemanusiaan. Nyawa lebih penting daripada sekedar prosedur dan mekanisme, atau bahkan uang sekalipun, tegas Puan Maharani tanpa ragu. Puan Maharani tak menginginkan lagi ada kejadian ibu-ibu yang ditolak berobat oleh beberapa rumah sakit karena urusan prosedur dan uang, dan tak perlu lagi ada cerita bayi yang meninggal hanya karena soal teknis, apalagi hanya sekedar karena uang muka yang tak sanggup dibayar.
Tugas kemanusiaan Puan Maharani juga terejawantahkan dalam beberapa kegiatan kerja, termasuk kunjungan-kunjungan yang dilakukannya terhadap para korban bencana. Tak jarang kita disajikan berita tentang kehadiran Puan Maharani langsung di tengah-tengah para korban, untuk menanyakan keadaan, memberi kabahagiaan (sebagai representasi kehadiran negara), sekaligus untuk memastikan mekanisme bantuan. Termasuk juga komitmen Puan Maharani untuk pemulihan berbagai bencana, pemulihan Aceh pasca Tsunami dan gampa, serta yang terbaru pemulihan korban terdampak Gunung Agung di Bali
Tugas kemanusiaan itu juga tergambarkan dari bagaimana Puan Maharani melakukan koordinasi dan gotong royong untuk menggalang bantuan bagi warga Rohingnya yang “terusir”. Puan Maharani peduli Rohingya, termasuk juga kepeduliannya terhadap pemulihan Karibia.
Tak hanya soal tugas kemanusiaan, Puan Maharani begitu peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Selain terepresentasikan melalui kunjungan kerja ke berbagai daerah untuk memastikan hak para korban bencana, Puan Maharani juga memberikan pembelaan HAM terhadap mereka yang menjadi korban ISIS. Seperti diketahui, pemerintah Turki mendeportasi 152 warga negara Indonesia (WNI) yang diduga kuat berafiliasi pada ISIS. Tidak hanya 152 saja, ada 435 WNI lain yang terlibat ISIS dan direncanakan juga akan dipulangkan ke tanah air (tribunnews.com).
Polemik sempat terjadi antara Puan Maharani dengan Ryamizad Riacudu, yang lebih menginginkan untuk “mengusir” mereka. Tapi pandangan yang lebih soft, diberikan oleh Puan Maharani, bahwa mereka tetaplah warga Indonesia (WNI), yang pada dirinya masing-masing masih melekat hak sebagai warga negara yang diakui. Menurut Puan Maharani, asalkan mereka mau menerima mekanisme dan prosedur yang dibuat oleh pemerintah, hak-hak mereka akan didapatkan meski kesalahan fatal telah dilakukan.
Bagi Puan Maharani, bukan tugas negara untuk mendiskreditkan warganya. Negara tak bisa diskriminatif dan mengebiri rakyatnya. Negara tak bisa dengan seenaknya mencabut kewarganegaraan seseorang sehingga menjadi stateless, dan justeru itu akan menyebabkan masalah yang lebih besar. Selama masih bisa diperbaiki, cara-cara kasar dan represif tak bisa dilakukan.
Itulah Puan Maharani, dengan tugas kemanusiaan dan kepeduliannya atas HAM, ia membangun bangsa tercinta ini dengan cara yang lebih “manis”, substantif, meski tanpa harus “menenggelamkan”!.