Sabtu, April 27, 2024

Psikologi Politik Menuju Pilpres 2019

hardian feril
hardian feril
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Penerima Beastudi Etos Dompet Duafa

Politik bukan ajang perlombaan penanaman saham. Tapi kita terlanjur menikmatinya demikian. Sekuat daya dan upaya menjatuhkan lawan, lalu bersorak mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang sedang menguasai psikologi politik kita. Mencari kepuasan dengan mempecundangi lawan.

Politik adalah seni menguasai. Yang memaksa siapapun untuk mengikuti. Semestinya ia dinikmati sebagai sebuah proses yang mendewasai dan mengedukasi, bukan malah sebagai ajang promosi eksistensi dan janji-janji.

Suhu politik semestinya adalah suhu aspirasi. Yang muncul sebagai bentuk implementasi dari ideologi. Justru bagian inilah yang telah hilang dari politik hari ini. Yang kita temukan hanya pertikaian perebutan kursi. yang menjadi tujuan politik tak lagi sesuai dengan konstitusi.

Politik hari ini tak lagi mempedulikan amanat proklamasi. Kesejahteraan rakyat hanya sebatas mimpi. Yang menonjol hanya proses bagi-bagi. Janji-janji hanya jadi kalimat open interpretasi. Tak punya pondasi yang kuat untuk bertahan diposisi. Ketika kepentingan pemodal mesti dipenuhi. Bagian rakyatpun di akuisisi.

Dulu kita pernah punya tokoh-tokoh pendiri negeri yang mengerti. Penuh akan idealisme yang terproteksi. Sumpah ketika berjuang membangun bangsa ini telah terpatri. Jauh dalam hati nurani, mengabdi adalah pekerjaan yang suci. Contoh saja Haji Agus Salim.

Dalam suatu rapat politik, Haji Agus Salim berpidato memukau. Lawan politiknya datang dan meneriakkan bunyi  kambing “mbeeek” ketika Agus Salim sedang berpidato. Teriakan itu sudah jelas utk menghina agus salim yang berjenggot. Rapat jadi gaduh dan caci maki memenuhi ruangan rapat.

Tapi Agus Salim tak terusik, dengan tenang ia berbicara “maaf, ini rapat manusia, mengapa ada suara kambing?” politik adalah kecerdasan. Haji Agus Salim tak mengejek balik. Ia hanya memakai otaknya untuk membungkam lawan. Ia memberi pelajaran, politik adalah pikiran bukan makian.

Kini duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut menyahut diruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik .

Kini penjiwaan otoriter telah berhasil sepenuhnya memunculkan wajah demokratis pada politik hari ini. Politik sebagai independent variable dalam konfigurasi politik dengan produk hukum telah berhasil menciptakan dependet variable yang ortodoks. Ketika UU No 17 tahun 2013  tentang Ormas tak bisa jadi senjata untuk membungkam lawan politik, maka politik konservatif dengan langgam otoritarian menjadi solusi yang memunculkan produk ortodoks, yakni Perppu No 2 tahun 2017.

Hari ini politik dan produk politik digunakan sebagai senjata untuk menghantam dan menjatuhkan lawan. Karena untuk pertama kalinya orang-orang dengan pemikiran nasional dan patriotik dilabeli tidak pancasilais. Pancasila menjadi tolak ukur yang digunakan sesuai citarasa penguasa.

“homo homini lupus” Jeremy Bentham mengatakan bahwasanya manusia bisa menjadi srigala bagi manusia lain. Dan dalam konteks politik kekinian. Pemerintah sudah jadi srigala bagi rakyat. BBM naik, pajak naik, Biaya STNK naik. Hutang negarapun ikut naik. Apa namanya ini kalo bukan pemangsaan masal. Pembobolan sumber kehidupan bangsa untuk pmenuhan nafsu srigala.

Dalam konfigurasi politik dengan produk hukumnya. Dijelaskan bahwasanya hukum ini adalah produk dari politik. Perwajahan politik hari ini bisa dilihat dari bagaimana proses penegakan hukum serta proses pengimplementasian aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur kehidupan masyarakat.

Hari ini negeri kita butuh seorang negarawan. Butuh Agus Salim, Soekarno, Hatta, Natsir, Buya Hamka. Karena hanya seorang negarawanlah yang siap menghadapi tombak-tombak musuh yang siap membunuh bangsa ini. hanya seorang negarawanlah yang siap menahan cangkul-cangkul asing yang sedang menggerogoti sumberdaya alam negeri ini.

Pemilihan Presiden 2019 nanti akan menjadi klimaks pertarungan politik yang sejatinya sudah dimulai semenjak tahun 2014 silam. Adalah suatu keharusan bagi masyarakat dan partai politik untuk memberikan pengajaran politik yang bersih. Mari tunjukan pertarungan yang demokratis. Sebab demokrasi adalah perihal konten. Maka visi dan misi mesti jadi pusat perhatian. Jangan tertipu dengan segala kehormatan yang ada pada pribadi masing-masing calon.

hardian feril
hardian feril
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas Penerima Beastudi Etos Dompet Duafa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.