Minggu, Oktober 6, 2024

Psikologi Humor dan Relasi Antarumat Beragama

M. Naufal Waliyuddin
M. Naufal Waliyuddin
Penulis dan peneliti generasi muda, isu psikologi sosial dan keagamaan. Suka menelusuri remah-remah sejarah pinggiran dan hal-hal yang disepelekan. Founder metafor.id dan mukim di Yogyakarta.

Di antara semua makhluk hidup, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa tertawa. Sebagai ekspresi, tawa bisa memiliki beragam arti. Ada yang karena saking frustrasinya, ada yang karena sakit jiwa, namun arti yang paling lazim darinya adalah perasaan riang. Ringkasnya, tawa menyimbolkan rasa bahagia dan kegembiraan seseorang.

Lantas apa yang dapat memicu seseorang tertawa? Banyak. Salah satunya adalah lelucon atau humor. Jenisnya pun banyak; komedi, obrolan lucu, ketidakterdugaan, hingga ‘penderitaan orang lain’. Iya, kata Raditya Dika di acara BukaTalk, dalam komedi terkadang membutuhkan ‘korban’. Misal, ada seorang teman berjalan di parkiran kampus, menghampiri kita, lalu jatuh terpeleset ditonton banyak orang. Hal ini kadangkala membikin orang tertawa.

Peran Humor

Terlepas dari itu, humor secara garis besar memiliki peran penting dalam ruang sosial. Humor mampu mencairkan suasana beku. Memperjumpakan yang selama ini terpisah. Ia dapat pula menyegarkan ketegangan hingga melicinkan kerja sama bisnis.

Dalam konteks spesifik, yang jarang disorot, humor juga berjasa dalam interaksi antarumat beragama. Sepanjang saya melakukan penelitian anak muda lintas iman, humor menjadi unsur yang tidak sepele dalam hubungan antarindividu dengan latar belakang yang variatif. Ia menjelma katalisator keakraban, kedekatan emosional antaranggota, sampai taraf tertentu juga meredam prasangka antarkelompok.

Itu karena lewat lelucon dan humor-lah sisi kemanusiaan seseorang itu tampak. Perbedaan identitas (gender, ras, agama, status sosial ekonomi, dll.) menjadi remeh. Yang akhirnya menonjol adalah hubungan sesama manusia–yang sama berjuang dalam hidup masing-masing. Sebuah relasi antar-organisme yang juga sama bisa berpikir, merasa, tertawa dan menangis.

Agama dan Humor

Hubungan antara agama dan humor memang kerap berjarak (atau diberjarakkan?). Sebagian umat beragama menilai humor dapat menjadi penistaan karena ia dianggap membikin manusia tidak takut pada Tuhan. Ini, bagi penolak humor, membuahkan kecenderungan untuk memuja unsur-unsur duniawi.

Uniknya, ada temuan menarik dari Herbert M. Lefcourt dalam bukunya Humor: The Psychology of Living Buoyantly (New York: Springer, 2001). Lefcourt menemukan “kecenderungan cemberut” itu—yang menolak humor—lebih sering hadir di kelompok agama Abrahamik, terutama penganut ajaran yang institusional.

Sedangkan pada kelompok agama dan kepercayaan Asia, humor sudah sangat wajar dan makanan sehari-hari. Beberapa di antaranya terlihat di kalangan biksu Zen, sesepuh Taoisme, para Sufi, dan ajaran Buddha yang Tertawa (the laughing Buddha). Pada praktiknya, humor mengguratkan warna dan menyelisip halus di celah-celah sepanjang sejarah hingga di kehidupan sehari-hari.

Obat dari Penyakit ‘Fanatikitis’

Seorang psikolog cum esais masyhur Indonesia asal Belanda, M.A.W Brouwer, pernah menulis terkait itu. Tulisan kolomnya berjudul Apakah Anda Berpenyakit Fanatikitis? (KOMPAS, 1969) memberikan ulasan tajam, bahwa ketiadaan humor itu terhubung dekat dengan fanatisme dan intoleransi.

Dia mengistilahkan penyakit baru bernama fanatikitis. Mereka yang fanatik adalah orang-orang yang tidak tahu humor. Bagi Brouwer, “seseorang yang beragama sehat dan tidak fanatik juga bisa membuat lelucon tentang agamanya.” Individu fanatik tidak punya kualitas krusial yang ada pada individu religius yang sehat, yaitu “daya merelatifkan hal yang penting,” tegasnya.

Penulis yang sempat mengajukan kewarganegaraan Indonesia namun ditolak ini menulis:

“Fanatisme berdasar pada ketakutan. Setiap orang segan mengubah pola pikiran-pikirannya dan sikap-sikapnya. Setiap hal yang tidak cocok dengan pola itu dilawan dan dihilangkan dengan berbagai macam akal yang disebut defence mechanism (mekanisme bela-diri). Fanatisme memberi perasaan enak, bahwa orang telah menjadi suci hanya dengan membunuh dan menyiksa orang yang menurut dia tidak suci. Dalam sikap ini, setiap kekejaman diterima dan dibiarkan.”

Manfaat Lain dari Humor

Dalam domain hubungan antarumat beragama, humor masihlah unsur penyedap rasa keterhubungan dalam interaksi sehari-hari. Ia juga berdampak positif terhadap solidaritas kelompok (in-group). Selain dapat meluruhkan syak-wasangka, humor juga berpotensi menjadi taktik penyembuhan, meredakan stress, menyuarakan aspirasi dan protes sosial—sebagaimana kita tonton pada skena stand-up comedy—hingga strategi bina damai (peacebuilding).

Contohnya melimpah di lembaran sejarah. Mulai dari humor sufi, sosok Abu Nawas, cerita lucu Gus Dur, ceramah-ceramah keagamaan yang sarat lelucon, dan aneka sosok serta peristiwa yang lain.

Tolok ukur ambang batasnya tentu ada pada “dosis”. Dengan takaran yang pas, dan tak menyinggung pihak liyan, humor dapat menjadi senjata canggih. Dari situ, secara tanpa sadar, peran humor dengan aneka variannya telah dan dapat berkontribusi pada kerukunan antarumat beragama, pendidikan perdamaian, hingga sektor-sektor lain di luar itu. Karenanya, dalam beragama dan berlintas-iman, jangan cemberut dan mari gembira!

M. Naufal Waliyuddin
M. Naufal Waliyuddin
Penulis dan peneliti generasi muda, isu psikologi sosial dan keagamaan. Suka menelusuri remah-remah sejarah pinggiran dan hal-hal yang disepelekan. Founder metafor.id dan mukim di Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.