Minggu, Desember 28, 2025

Psikologi di Balik Amarah di TransJakarta

Hanania Azzahra
Hanania Azzahra
Mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta
- Advertisement -

Pernahkah kamu lagi asyik naik TransJakarta (TJ), tiba-tiba suasana jadi tegang karena ada ibu-ibu atau lansia yang marah-marah karena tidak dikasih tempat duduk? Kejadian ini baru saja dialami seorang penumpang yang menolak memberikan kursinya karena sedang sakit kepala hebat. si ibu menyoroti persoalan etika dan kepantasan di ruang publik, sementara penumpang tersebut bertahan pada haknya karena ia tidak duduk di kursi prioritas. Konflik meletup, kata-kata kasar keluar, dan suasana menjadi canggung. Di situasi seperti ini, kita sering kali refleks bertanya: Sebenarnya, siapa yang salah?

Secara psikologis, ketegangan ini bukan sekadar soal siapa yang tidak sopan, melainkan soal bagaimana otak kita bekerja saat menilai orang lain.

Sering kali kita terlalu cepat menjatuhkan vonis pada karakter seseorang tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam psikologi, kecenderungan ini disebut sebagai Fundamental Attribution Error (Ross, 1977).

Saat sang ibu melihat penumpang muda itu tetap duduk, ia mungkin langsung melabeli anak tersebut “tidak tahu tata krama” atau “egoistis”. Sang ibu menyerang “karakter” penumpang tersebut, padahal ada faktor situasi yang tidak terlihat secara fisik, yaitu rasa sakit kepala yang sedang mendera.

Sebaliknya, si penumpang mungkin menganggap sang ibu sebagai sosok yang “pemarah” atau “haus hormat”. Padahal, mungkin saja sang ibu sedang merasa sangat lelah atau merasa tidak dihargai sebagai orang tua. Kita cenderung melihat perilaku buruk orang lain sebagai “sifat asli” mereka, namun saat kita sendiri yang melakukannya, kita selalu punya alasan situasional sebagai pembelaan.

Masalah menjadi semakin pelik ketika muncul perasaan bahwa kita berhak mendapatkan perlakuan istimewa melebihi orang lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah Psychological Entitlement (Campbell, Bonacci, dkk., 2004).

Aturan bus sebenarnya sudah jelas: kursi prioritas untuk mereka yang membutuhkan, sementara kursi umum adalah hak siapa saja yang datang lebih dulu. Namun, seseorang dengan tingkat entitlement yang tinggi sering kali merasa aturan umum tidak berlaku baginya. Ia merasa berhak atas kursi mana pun, bahkan jika harus mengusir orang lain yang juga sedang tidak sehat.

Menurut riset Campbell (2004), orang yang memiliki perasaan “paling berhak” cenderung kurang berempati dan mudah merasa tersinggung jika keinginan mereka tidak segera dituruti. Inilah yang membuat permintaan sederhana bisa berubah menjadi amarah yang meledak-ledak.

Konflik di TransJakarta ini sebenarnya adalah cermin dari kegagalan kita dalam bertukar posisi peran. Sang ibu gagal melihat rasa sakit yang tidak terlihat pada diri si penumpang. mungkin kesulitan memahami kerentanan fisik sang ibu yang sudah lanjut usia. Kita sering kali gagal memahami kenyataan karena keterbatasan informasi. Kita terlalu terburu-buru menghakimi dan terlalu lambat untuk mencoba mengerti.

Menjadi orang tua memang layak dihormati, namun kesehatan setiap orang, termasuk anak muda, juga merupakan hal yang valid untuk dipertahankan. Jika saja setiap orang mau menurunkan sedikit egonya dan menyadari bahwa setiap penumpang mungkin sedang menanggung beban yang tidak tampak, perjalanan di bus yang sesak itu pasti akan terasa jauh lebih ringan.

- Advertisement -

Pada akhirnya, di bus yang terus melaju, kita semua hanyalah manusia yang sama-sama ingin sampai di rumah dengan perasaan tenang.

Hanania Azzahra
Hanania Azzahra
Mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.