Kamis, Maret 28, 2024

PSI dan Paradoks Kaum Milenial

Luthfi Baskoroadi
Luthfi Baskoroadi
Seorang analis media & politik Indonesia Indicator. Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Salah satu yang membedakan Pemilu 2019 dengan pemilu-pemilu sebelumnya adalah luasnya perhatian publik pada kaum milenial. Mencuatnya istilah milenial dipicu oleh adanya anggapan bahwa posisi milenial kian krusial sebagai faktor determinan dalam pemilu. Perubahan budaya politik yang menjadikan media sosial kian strategis dalam tahapan kampanye, membuat generasi milenal yang mencapai 40-50 persen dari total pemilih ini menjadi potensial untuk mendulang banyak suara.

Banyak pengamat politik memprediksi kaum milenial akan cenderung memilih partai dan kandidat yang dianggap merepresentasikan mereka, seperti usia, karakter, kepribadian, gaya bahasa dan penampilan. Alhasil, semua partai politik berlomba-lomba memilenialkan diri meski mungkin sebenarnya profil, gagasan, dan platform partai tersebut jauh dari nilai-nilai kekinian khas anak muda.

Berbicara tentang partai politik dan milenial, rasanya sulit menafikan kiprah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dianggap paling identik dengan milenial. Partai yang digagas pada medio 2014 ini mencoba mengusung konsep politik modern yang berlandaskan prinsip meritokrasi, keberagaman, dan keterbukaan.

Semangat PSI dalam mewadahi kepentingan kaum milenial tergambar dari dominannya anak-anak muda dalam daftar nama calon legislatif PSI. Selain itu, model kampanye yang banyak memanfaatkan sarana media sosial juga dianggap sebagai strategi untuk menyasar kaum milenial yang banyak terkoneksi dengan jaringan internet.

Paradoks Hasil Survei

Meski dipandang sebagai partai yang paling mewakili kepentingan milenial, nyatanya elektabilitas PSI dalam berbagai survei terakhir masih sangat rendah. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 24 September – 5 Oktober lalu, elektabilitas PSI terpantau hanya 0,4 persen. Hasil sama terlihat dari survei Alvara pada 8 – 22 Oktober yang menempatkan PSI di papan bawah dengan 0,3 persen, sangat jauh dari ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang mensyaratkan minimal 4 persen suara untuk bisa meloloskan wakilnya di parlemen.

Fenomena ini tentu jadi sebuah paradoks di tengah upaya masif PSI dan seluruh partai politik dalam memoles citranya sebagai “partai milenial” lantaran percaya bahwa anak muda akan memilih partai yang dianggap merepresentasikan kepentingan golongannya. Preferensi partai politik milenial yang seakan “tak peduli” dengan PSI atau partai lain yang mencoba lebih milenial ini setidaknya bisa dijelaskan oleh tiga faktor utama.

Pertama, masih tingginya apatisme politik di kalangan anak muda. Adanya anggapan bahwa politik identik dengan korupsi dan belum berdampak nyata bagi kesejahteraan membuat kaum milenial skeptis pada partai politik. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya literasi media dan literasi politik milenial, sehingga rentan dipengaruhi oleh berita negatif dan hoaks tentang politik yang bisa membuat mereka semakin apolitis.

Apatisme politik ini tentu jadi tantangan berat untuk PSI dan partai politik lain dalam meraih hati pemilih muda. Pendekatan yang dilakukan tak cukup hanya dengan mengimitasi karakteristik anak muda dan mengklaim sebagai yang paling milenial. Partai harus memperlakukan anak muda sebagai sesama subjek, bukan objek yang bisa didekati dan dieksploitasi suaranya demi kepentingan elektoral sesaat.

Sudah saatnya partai menjalankan politik kolaboratif dan reponsif terhadap kepentingan anak muda yang mungkin selama ini luput dari perhatian. Kesadaran akan vitalnya peran anak muda dalam menentukan arah bangsa ke depannya juga harus disosialisasikan secara konsisten guna mereduksi akan golput.

Keduapolitisi muda masih dipandang sebelah mata. Harus diakui, realitas politik saat ini tidak terlalu memihak kalangan politisi muda yang masih berada dalam posisi subordinat sebagai pemanis dan pendongkrak suara partai. Ironisnya, di kalangan sesama anak muda sendiri, kiprah politisi muda ini kerap kali diremehkan lantaran dianggap nihil berpengalaman. Jika anak mudanya saja masih memandang sebelah mata sesamanya, apalagi dengan kalangan tua?

Sudah saatnya politisi muda mengangkat sistem politik meritokratik yang tidak lagi mengedepankan usia, suku, agama, ras, dan gender, tetapi lebih pada, ide, gagasan dan prestasi yang dimiliki. Di sinilah pentingnya politisi muda untuk menguasai narasi politik nasional untuk membuat diferensiasi dengan narasi politik yang dibangun politisi senior. Harapannya, usia muda tak lagi dianggap sebagai titik lemah, namun sebagai modal positif dalam membangun narasi politik yang kreatif, segar dan membawa kegairahan baru.

Ketigamasih kuatnya politik berbasis ketokohan. Tidak dapat dimungkiri, mayoritas partai politik di Indonesia tengah dihadapkan pada satu tantangan serius berupa ketergantungan terhadap figur tertentu lantaran adanya kecenderungan pemilih untuk fokus pada figur ketimbang konsep, gagasan, dan platform partai.

Kecenderungan ini amat jelas tergambar di hasil survei elektabilitas partai yang mengunggulkan PDI Perjuangan dan Gerindra lantaran adanya efek ekor jas (coattail effect) dari figur Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Berkaca dari sejarah, melejitnya elektabilitas partai baru seperti Demokrat di Pileg 2004 dan Gerindra di Pileg 2009 juga lebih disebabkan kuatnya figur Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto ketimbang platform partai itu sendiri.

Fenomena efek ekor jas ini tentu menyulitkan kiprah partai politik baru seperti PSI yang masih minim figur dengan ketokohan yang kuat. Jika ditelaah, sebenarnya tak ada yang salah dengan PSI dan partai lain yang masih minim figur. Pasalnya, menurut Mainwaring (1998: 67-81), salah satu aspek penting untuk melihat apakah sebuah partai telah terinstitusionalisasi dengan baik atau tidak adalah ketiadaan dominasi personal dari seorang figur tertentu.

Dari tiga faktor diatas, dapat disimpulkan bahwa meraih simpati milenial tak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Partai politik butuh pendekatan baru yang multidimensi dalam menentukan strategi kampanye yang tepat. Seperti kata Albert Einstein, kita tidak akan bisa menyelesaikan masalah berbeda dengan cara berpikir dan metode yang sama. Generasi yang berbeda tentu memerlukan perlakuan yang berbeda, terlebih milenial yang punya karakteristik unik dan sulit ditebak.

yang terpenting, sebagai pemilih muda kita juga diharapkan tak lagi apolitis, meremehkan sesama anak muda, dan terlalu terfokus pada figur. Sudah saatnya kita menciptakan narasi politik yang memberikan kesempatan bagi anak muda untuk tampil di garda terdepan panggung politik tanah air.

Luthfi Baskoroadi
Luthfi Baskoroadi
Seorang analis media & politik Indonesia Indicator. Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.