Jumat, April 19, 2024

PSBB, Malu Bilang Karantina

Taufan Abadi
Taufan Abadi
*Dosen FH Universitas Mataram *Peneliti Lembaga Pengembangan Wilayah NTB, Mitra PJKAKI KPK, mitra LPA NTB, Tim Riset dan Publikasi Relawan Sahabat Anak.

Pada 31 Maret 2020, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19). Bersamaan dengan itu pula, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19.

Langkah demikian merupakan pelaksanaan dari UU Kekarantinaan Kesehatan (UU No. 6 Tahun 2018) yang menyebutkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai salah satu bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat.

Langkah pemerintah sekaligus ingin menepis tuntutan lockdown serta memperkuat posisi “social distancing”. Padahal UU Kekarantinaan Kesehatan mengamanatkan pembentukan PP karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan PSBB. Namun, hanya PSBB yang diwujudkan dengan peraturan pemerintah (PP).

Lockdown atau PSBB?

Sama halnya dengan lockdown (karantina wilayah), penetapan PSBB menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini ditetapkan oleh menteri. PP tersebut mengamanatkan pemberlakuan PSBB diusulkan oleh gubernur/bupati/walikota ataupun kepala gugus tugas Covid-19 kepada menteri kesehatan.

Baik Undang-undang maupun PP tidak menyebutkan pembiayaan penanganan ataupun tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak kebutuhan dasar dan lainnya. Namun, pembiayaan dimungkinkan untuk kebijakan pemerintah daerah, berdasar ketentuan Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dalam Penanganan Covid-19 yang dikeluarkan bersamaan dengan PP dan Keppres, mengatur kebijakan keuangan daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam penanganan dan menghadapi ancaman Covid-19.

Berbeda dengan lockdown (karantina wilayah) yang secara tegas disebutkan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait serta selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Malu Bilang “Karantina”

Pemerintah pusat yang diikuti pula oleh sebagian besar pemerintah daerah terus mengimbau masyarakat untuk tetap di rumah, serta berkali-kali menyampaikan dengan tegas, tidak ada langkah lockdown (karantina wilayah). Namun, jika diperhatikan, imbauan pemerintah tersebut mengarah pada karantina rumah, secara tidak langsung meminta masyarakat secara sukarela melakukan karantina rumah secara mandiri, tentu tidak membebani tanggung jawab.

Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, selain karantina wilayah (lockdown) di atur pula tentang karantina rumah, senada dengan lockdown, bahwa selama penyelenggaraan karantina rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam karantina rumah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah.

Beberapa daerah, wilayah, lurah/desa bahkan tingkat RT-RW secara berani dan tegas melakukan lockdown dengan sukarela dan mengabaikan permintaan pemerintah pusat. Langkah tersebut, juga tidak ada keberatan yang berarti dari pemerintah pusat. Ditinjau dari segi hukum, hal demikian patut dibenarkan, karena dalam keadaan darurat dituntut cara-cara luar biasa, termasuk mengenyampingkan hukum secara normatif, mengingat pergerakan pandemi yang mengancam nyawa semua orang, maka butuh berhukum melampaui pandemi.

Kejelasan PSBB

Dalam bebarapa kesempatan, dengan sengaja atau tidak, unsur pemerintah seringkali menyampaikan permintaan karantina rumah bagi ODP juga beberapa PDP, belakangan seolah semua orang diminta untuk karantina rumah dengan imbauan di rumah saja, walau itu telah diwujudkan, namun pemerintah tidak kunjung mengeluarkan peraturan pelaksana karantina rumah.

Secara “diam-diam”, kelihatannya pemerintah mendambakan lockdown dan karantina rumah, namun melalui PP PSBB, pemerintah telah menunjukan kejelasan sikap menolak kata “lockdown” dan lebih memilih PSBB. PP PSBB mengatur wilayah PSBB harus diusulkan berdasarkan kriteria jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah, dan terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

Sehingga menjadi pertanyaan status pembatasan sosial yang dilakukan di berbagai daerah. Karena beberapa kepala daerah telah melaksanakan pembatasan terhadap bandara/pelabuhan, fasilitas umum dan kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud PP PSBB. Baru Pemda DKI Jakarta  yang secara resmi mengumumkan penerapan  PSBB pada (08/04) dan mulai efektif berlaku pada Jumat (10/04).

Untuk memperkuat langkah pemda dan perlindungan masyarakat, karena kata “lockdown” sudah dipinggirkan ataupun karantina rumah tidak dilirik oleh PP, maka perlu upaya lebih lanjut bagi pemerintah daerah lain untuk menentukan kejelasan dan penegasan status PSBB untuk melaksanakan PP juga dalam rangka kepastian pembiayaan, mengingat penyebaran dan potensi ancaman Covid-19. Sehingga Gubernur/Bupati/Walikota perlu menindaklanjuti pengusulan PSBB berdasarkan ketentuan PP.

Tanggung jawab Pemda

Selain kejelasan status dan pembatasan sosial lebih lanjut yang lebih diperketat, pemda juga bertanggung jawab dalam pemenuhan hak masyarakat. Untuk PSBB, dalam UU Kekarantinaan Kesehatan  memang tidak disebutkan tanggung jawab pemerintah pusat juga pemda, namun dari pembatasan berbagai aktifitas dan akses, pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap hak warga negara sebagaimana dijamin Konstitusi, UUD NRI 1945, sebagai hukum tertinggi, hal tersebut juga telah didistribusikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Misalnya terkait masyarakat miskin atau masyarakat berpenghasilan rendah, dengan adanya berbagai pembatasan, akan berpengaruh terhadap penghasilan. Kemudian ketenagakerjaan, apabila terjadi PHK, penutupan sementara atau pembatasan jam operasional, maka nasib tenaga kerja perlu dipikirkan, tugas pemerintah maupun pemda adalah memastikan kewajiban perusahaan. Sehingga, menjadi tanggung jawab pemda memberikan perlindungan, apabila diabaikan, besar kemungkinan memberikan dampak berantai pada keberlangsungan hidup masyarakat.

UU dan PP mengatur PSBB paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Hal demikian setidaknya telah dilakukan oleh sebagian besar Pemda. Dengan kejelasan status PSBB, Pemda dapat membatasi hal lain yang perlu. Namun, sebelum dilakukan pembatasan ada baiknya pemda terlebih dahulu memperhatikan hak masyarakat, harus ada solusi nyata khususnya bagi masyarakat yang berdampak langsung.

Sehingga, berbagai langkah pemda maupun penegakan hukum yang dilakukan kepolisian di tengah kebijakan PSBB perlu dilakukan secara hati-hati, ada hukum yang harus dipatuhi juga pertimbangan moral yang perlu diperhatikan.

Penting dipahami oleh pejabat publik khususnya kepala daerah dan kepolisian, selain menuntut kewajiban masyarakat, maka hak masyarakat juga harus dipenuhi sebagaimana dijamin oleh Konstitusi dan undang-undang. Jangan sampai, cara pemda dan polisi berhukum justru memicu berbagai kejahatan.

Taufan Abadi
Taufan Abadi
*Dosen FH Universitas Mataram *Peneliti Lembaga Pengembangan Wilayah NTB, Mitra PJKAKI KPK, mitra LPA NTB, Tim Riset dan Publikasi Relawan Sahabat Anak.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.