Tercatat pada Nomor Register Perkara: 68/G/2021/PTUN.SMG di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, atas nama Insin Sutrisno dan warga Wadas yang lain resmi menggugat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Gugatan ini terkait penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang dinilai cacat hukum.
Pasal 24 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum menegaskan bahwa Izin Penetapan Lokasi atau IPL hanya berlaku 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang selama 1 tahun. Namun, setelah perpanjangan IPL itu berakhir, pada 7 Juni 2021 Ganjar Pranowo menerbitkan IPL pembaharuan yang berlaku selama 2 tahun.
Meskipun proyek tambang yang merupakan salah satu dari Proyek Strategi Nasional (PSN) ini mendapat persetujuan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan melalui surat instruksi Nomor B2299/MENKO/MARVES/IS.03.00/VI/2021 tentang Percepatan Pembaruan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Bener, namun terhitung sejak tahun 2018, warga sudah menunjukkan sikap penolakan terhadap proyek tambang guna membangun bendungan Bener.
Proyek ini ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Wadas dinilai melanggar ketentuan hukum dan pelanggaran atas asas-asas keadilan sosial. Mulai dari proses yang tidak partisipatif, penyelundupan hukum hingga kekerasan oleh aparat kepolisian. Maka, masyarakat Wadas memutuskan untuk menggugat Ganjar Pranowo ke PTUN Semarang agar diproses dengan adil.
Berbicara mengenai keadilan, dalam ranah hukum mengenal keadilan prosedural dan keadilan substansial. Keadilan prosedural membahas mengenai proses-proses administratif sedangkan keadilan substansial membahas dalam ranah substansi atau inti dari prosesyang telah dilakukan. Tentu, hal ini berpijak pada peraturan-peraturan yang telah disahkan untuk ditaati bersama.
Oleh sebab itu sampai pada Kamis, 19 Agustus 2021, warga Desa Wadas dan solidaritas masyarakat untuk Wadas bersama kuasa hukumnya yaitu Koalisi Advokat Untuk Keadilan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas kembali mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang untuk melanjutkan proses persidangan yang telah terdaftar dengan Nomor 68/G/2021/PTUN.SMG.
Dampak Proyek Tambang terhadap Masa Depan Perempuan Wadas
Penerbitan IPL Pembaharuan yang dinilai cacat formil dan substansi tersebut bukan hanya berdampak pada lingkungan, namun juga pada masa depan masyarakat Wadas pada umumnya dan perempuan pada khususnya.
Risma Umar selaku saksi ahli bidang gender masyarakat Wadas menyatakan bahwa, “Dari proses awal tidak ada kebijakan atau analisis gender. Negara dalam hal ini gagal membaca kedekatan perempuan dengan alam secara ekonomi, lingkungan, sosial, budaya dll. Negara gagal melihat potensi bahaya yang ditimbulkan atau yang dialami perempuan akibat kebijakan pembangunan atau kegiatan pembangunan yang akan dilakukan. Tidak ada pelibatan perempuan dalam proses partisipasi publik. Padahal masyarakat yang berpotensi terkena dampak pembangunan, termasuk perempuan penting untuk dilibatka, didengarkan pendapat, pengalaman dan pengetahuannya sebagai pertimbanagan pengambilan keputusan.”
Tanah Wadas yang sangat subur dan mampu menopang kehidupan masyarakat secara turun temurun ini akan memberikan dampak yang signifikan apabila proyek tambang benar dilakukan. Bukan saja kerusakan lingkungan namun juga masa depan masyarakat desa Wadas pada umunya dan perempuan Wadas pada khususnya yang sangat bergantung pada bumi alam Wadas juga dipertaruhkan.
Risma juga menyampaikan bahwa rusaknya bentang alam dan lingkungan, sehingga tidak dapat lagi digunakan untuk bertani. Dengan demikian akan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat yang selama ini sangat bergantung pada kekayaan alam mereka dan menciptakan kemiskinan bagi masyarakat. Dalam situasi ini, perempuan yang dilekatkan pada peran untuk merawat dan memastikan pemenuhan kebutuhan keluarga akan menanggung beban lebih berat. Begitu pun dalam konteks potensi bencana longsor dari pertambangan batu andesit, juga akan menempatkan perempuan di dalam posisi yang lebih rentan.
Bahaya Mengabaikan Analisis Gender dalam Sebuah Putusan
Merujuk pada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), sudah sepatutnya kaum perempuan yang sejak lahir dikonstruksikan menjadi sosok yang penurut, sehingga rentan mengalami berbagai bentuk penindasan ini mendapatkan hak-haknya kembali.
Hak berpendapat, didengar dan dilindungi adalah hak-hak dasar yang selama ini sering diabaikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali dalam sistim pemerintahan. Maka Pembaruan IPLWadas melalui SK 590/20/2021 yang tidak partisipatif ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak perempuan.
Tidak dilibatkannya perempuan dalam pengambilan keputusan dalam proyek tambang Desa Wadas ini memiliki dampak buruk terhadap keberlangsungan hidup perempuan. Karena para perempuan Wadas atau yang lebih akrab disapa dengan Wadon Wadas ini memiliki keterikatan yang tinggi dengan alam tanah Wadas.
Pertama, mayoritas perempuan Wadas yang berprofesi sebagai petani dan pengrajin bambu. Profesi ini tentu membawa perempuan untuk tergantung pada alam Wadas di mana lahan pertanian dan flora bambu tersebut hidup. Maka apabila lahan digusur tambang atas nama pembangunan, para perempuan ini aaan kehilangan sumber pencahariannya. Dalam hal ini, perempuan dapat dikatakan dipinggirkan secara ekonomi.
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Ibu Yati, salah seorang Wadon Wadas yang juga terdampak akan proyek tambang ini mengatakan bahwa, “kalau sampai terjadi penambangan itu akan merugikan masyarakat terutama dampak untuk ibu-ibu yang bikin anyaman, terus kalau udah tergusur bambunya nggak ada mau bikin besek gitu nggak ada lagi. Jadi matapencaharian hilang, gitu.”
Kedua, konstruksi sosial yang membentuk perempuan untuk tidak terlibat dalam proyek-proyek strategis ini juga berdampak pada mindset dalam diri perempuan bahwa memang ia diciptakan sebagai pendukung, pelengkap dan tidak perlu ikut campur dalam ranah yang lebih penting. Untuk itu, hadirnya negara dengan berbagai jaminan hukumnya seharusnya mampu membawa perempuan mencapai kemerdekaannya. Sedang dalam proses proyek pertambangan di Desa Wadas ini justeru membuktikan bahwa negara tidak memperhatikan perempuan sebagai elemen penting.
Selain itu, masalah lain juga timbul karena dampak proyek tambang yang tidak menerapkan asas-asas gender dan ketrlibatan perempuan di dalamnya antara lain, pencemaran udara, air dan potensi kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat.
Melihat kebijakan negara dan pemerintah yang jauh dari kata demokrasi, teringat kutipan dari Max Webber “the state is a legal institution to provide protection and violence against its citizens”, bahwa negara adalah suatu organisasi yang disahkan untuk menindas masyarakatnya.
Maka patut dipertanyakan kembali eksistensi negara yang bertanggungjawab atas hak-hak daripada warganya. Apakah keberadaan negara memang benar untuk mencapai sebuah demokrasi atau hanya digunakan sebagai alat yang sah untuk merampas hak-hak masyarakat.