Beberapa berita di awal 2021 telah menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 berdampak sangat dalam pada dunia usaha. Pertama, ada berita soal separuh populasi warung tegal (warteg) di Jabodetabek yang terancam gulung tikar. Lalu muncul kabar beberapa hotel di Jakarta ditawarkan di marketplace untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat kunjungan yang tak segera kembali ke tingkat normal. Jangan salah ya. Yang ditawarkan bukan kamarnya, tapi hotelnya!
Tampak semakin nyata jika krisis ekonomi karena pandemi tak memilih akan menyerang level usaha yang mana. Tak hanya skala besar seperti perhotelan, pusat perbelanjaan, dan properti yang colaps, namun usaha pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat menengah ke bawah seperti warteg pun terkena imbasnya.
Sebabnya tak lain karena pandemi ini menghantam titik paling krusial pada perekonomian. Sisi permintaan. Pembatasan kegiatan masyarakat agar penyebaran virus tak merajalela membuat pengurangan konsumsi masyarakat secara signifikan. Usaha yang mengandalkan adanya interaksi dengan konsumen secara langsung pun menjadi satu yang terkena dampak langsung.
Riset dari McKinsey and Company membuktikan dampak ini secara statistik. Survey yang dilakukan akhir September 2020 menunjukkan masyarakat Indonesia paling khawatir untuk menghadiri acara yang melibatkan orang banyak dengan tingkat kekhawatiran mencapai 74%. Begitu juga untuk tinggal di hotel dan makan di restoran yang tingkat kekhawatiran masih cukup tinggi di kisaran 46% dan 43%.
Dan akhirnya enam bulan sejak pemberlakuan pembatasan aktivitas masyarakat, BPS juga mencatat usaha di sektor akomodasi dan makan minum adalah sektor yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19.
Kita tentu berharap situasi ini tak akan berlangsung lebih lama lagi. Program vaksinasi yang terus digalakkan pemerintah semoga segera menjadi dewa penyelamat bagi krisis kesehatan dan ekonomi di negeri ini.
Saya juga yakin, pasca-pandemi nanti bidang usaha hospitality ini yang akan mengalami rebound paling cepat dan maksimal. Ibarat sektor ini adalah bola karet, dan krisis adalah ketika bola karet tadi dibenturkan ke lantai, maka semakin keras benturannya akan membuat bola ini nanti terpantul paling tinggi. Saat pantulan itulah bagaimana bangkitnya hotel, kafe, dan restoran pasca-pandemi.
Optimisme saya ini bukan tanpa alasan. Industri hospitality dekat dengan budaya masyarakat Indonesia yang gemar nongkrong, suka dengan kumpul-kumpul, dan senang berkerumun. Faktanya, sebelum pandemi menyerang bisnis yang erat dengan kerumunan seperti hotel, restoran dan kafe sedang berkembang pesat di Indonesia. Kedai kopi misalnya. Salah satu riset menunjukkan bahwa hingga akhir 2019 jumlah kedai kopi di Indonesia sudah meningkat tiga kali lipat dibandingkan tiga tahun sebelumnya.
Maka tak heran jika jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survey Indikator Politik Indonesia di empat bulan pandemi, 60,6 persen responden sudah menginginkan PSBB segera diakhiri. Hasil ini berbanding terbalik dengan survei dua bulan sebelumnya yang menyebutkan lebih dari separuh responden masih ingin PSBB dilanjutkan.
Wajar memang. Karena secara lahiriyah pun pada hakikatnya kita adalah makhluk sosial yang kalau Aristoteles bilang manusia itu adalah zoon politikon. Dikodratkan untuk selalu berinteraksi satu sama lain. Maka, jika harus berlama-lama menghindari kerumunan, kita telah menyalahi kodrat dan hati nurani kita sebagai manusia.
Maka bisa dibayangkan bagaimana euphoria pasca-pandemi nanti. Saat tempat wisata sudah mulai bebas dibuka, bioskop-bioskop kembali beroperasi, mall dan tempat hiburan bisa buka maksimal, masyarakat yang aktivitasnya sudah terlalu lama dibatasi akan gegap gempita memenuhi tempat-tempat ini. Mereka ingin segera berwisata, berbelanja, menyaksikan pertunjukan, menikmati keramaian, dan menciptakan kerumunan.
Sesungguhnya tak hanya masyarakat yang sudah rindu dengan kerumunan. Negara pun demikian. Kenapa? Ya karena di dalam keramaian manusia hampir selalu ada roda ekonomi yang berputar. Di keramaian hampir selalu ada transaksi. Ada aktivitas ekonomi. Aktivitas belanja oleh satu pihak yang akan menjadi pendapatan pihak lain. Lalu akumulasi aktivitas inilah yang akan membuat mesin ekonomi akan selalu berjalan.
Negara kita memang masih sangat bergantung pada konsumsi masyarakatnya. Tengok saja statistik perekonomian Indonesia. Di tahun 2020, BPS mencatat porsi pengeluaran rumah tangga masih menopang lebih dari separuh PDB Indonesia atau lebih tepatnya 57,66 persen dari total PDB. Karena itu jika konsumsi masyarakat terganggu maka akan sangat berpengaruh pada ekonomi nasional.
Situasi psikologis masyarakat serta ketergantungan negara akan konsumsi masyarakatnya inilah yang menjadi potensi besar kebangkitan ekonomi pasca-pandemi. Sejalan dengan optimisme kebanyakan masyarakat Indonesia yang yakin bahwa ekonomi kita akan segera pulih, bahkan jadi lebih kuat dari sebelum pandemi.
Namun, kita juga perlu menyadari bahwa pasca-pandemi tidak kemudian membuat aktivitas kerumunan akan segera kembali normal. Adanya perubahan pola interaksi masyarakat yang menjadi serba virtual perlu menjadi perhatian para pelaku usaha. Setelah pandemi pergi, dunia usaha harus beradaptasi dengan pergeseran perilaku konsumsi masyarakat. Menurunnya aktivitas offline secara signifikan akan menjadi tantangan bagi usaha yang mengandalkan model transaksi di tempat, pertunjukan, dine in, dan penjaja keramaian.
Bentuk bisnis hospitality yang sebelum pandemi menyandarkan nyawanya pada kehadiran konsumen secara nyata, maka di pasca-pandemi mereka harus menerapkan cara baru untuk tetap menjaga permintaan. Usaha-usaha tersebut harus menciptakan inovasi bagaimana menghadirkan kerumunan namun tetap mengakomodasi less contact dan less mobility.
Dari aspek lokasi misalnya, kafé atau restoran yang dine-in bisa dialihkan agar tidak terpaku di mal atau pusat perbelanjaan. Bahkan pasca-pandemi akan dipopulerkan dengan konsep bisnis restoran luar ruangan (outdoor dining) untuk mengakomodasi konsumen yang enggan ke tempat yang terlalu ramai dan cenderung tertutup.
Untuk mengakomodasi less contact, tempat makan harus menyediakan perangkat nirsentuh dalam setiap transaksi maupun proses dine-in. Semakin melek digitalnya konsumen juga membuat order melalui platform daring masih tetap akan tinggi pasca pandemi. Oleh karena itu restoran atau café harus mengatur strategi atas tiga pola konsumen yakni yang memilih dine-in, take-away, atau online delivery.
Di sisi pemerintah, regulasi untuk kepastian dan sosialisasi mengenai protokol kenormalan baru mengenai CHS (Cleanliness, Health and Safety) pada sektor hospitality akan meningkatkan keyakinan bagi konsumen. Selain itu dukungan infrastruktur teknologi informasi mempermudah masyarakat menjangkau layanan dan kebutuhan melalui sistem daring. Kecenderungan berkembangnya café dan restoran standalone yang terpisah dari mal atau pusat perbelanjaan juga harus didukung oleh kebijakan-kebijakan struktural yang tepat sasaran.
Di atas semua itu, kerja keras dan afirmasi positif sudah harus dipupuk semua pihak dari sekarang. Dan kita semua, saya, anda, dan negara kita, bisa segara melepas rindu dengan kerumunan.