Tanpa bisa terelakan, dampak pandemi Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi. Corona bukan lagi karena ketakutan diri terkena tularannya, tapi juga dampak luasnya bagi kehidupan manusia. Salah satunya ekonomi. Vital untuk masyarakat modern. Kecuali kalau ada penemuan obat penghilang rasa lapar.
Kita melihat, di awal-awal masa pandemi, ojek online menjadi sorotan. Penghasilan tukang ojeknya menurun. Padahal beberapa tahun belakangan usaha ini sedang naik daun. Tiba-tiba muncul istilah social distancing, himbuan untuk jaga jarak, dan jadilah tukang ojek terkena imbasnya. Orang-orang mulai berpikir dua kali untuk berboncengan dengan orang asing.
Yang dirasakan tukang ojek online sebenarnya pun hanya kekurangan penghasilan, bukan sebenar-benarnya skak-mat. Toh masih ada yang masih nekat berboncengan menggunakan jasa ojek online. Atau masih ada memesan makanan dengan layanan yang dihadirkan. Mungkin juga terjadi kenaikan. Soalnya pasti akan lebih banyak yang memesan makanan secara online daripada beli langsung ke warung nasi Padang.
Hadi Surya Koe, Head of Marketing Grabfood Grab Mengakui hal ini. Pada siaran persnya pada 23 April lalu, dia memastikan memang ada peningkatan transaksi pemesanan Grabfood semenjak Covid-19. Hal senada juga dikatakan Chief Food Officer GoFood, Catherinna Hindra Soetjahyo, bahwa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat permintaan konsumen terhadap kebutuhan sehari-hari melonjak. Bukan hanya makanan siap saji, sembako juga.
Ojek online boleh bernapas lega, soalnya rezeki ngojeknya tidak akan lari kemana. Agak kurang sedikit ya wajar, tetap bersyukur. Dibanding ojek online, lebih parah lagi pengusaha jasa pelaminan. Pernah saya wawancarai salah satu tempat usaha tersebut, penghasilannya nol sejak pandemi terjadi. Malahan ada pelanggan yang membatalkan pesanannya pada bulan-bulan mendatang. Terpaksa ada karyawan yang dirumahkan.
Setelah PSBB, kemudian pemerintah mulai mengancang-ancang kebijakan baru. New normal. Sebuah istilah yang cukup membuat pengamat bahasa mencak-mencak. Sejumlah aktifitas, mulai kembali dibolehkan, dengan syarat melakukan protokol kesehatan. Tentu tidak mudah pula bisa lolos dari aturan diperbolehkannya sebuah aktifitas, apalagi kegiatan yang menimbulkan kerumunan banyak orang.
Selama peradaban manusia berjalan, di mana ada keramaian, di sana ekonomi berjalan. Selalu banyak hal yang dilakoni orang-orang untuk mendapatkan untung dari adanya keramaian. Tidak melulu pergelaran iven, demontrasi pun juga menjadi lahan bagi pedagang untuk menjajakan makanan dan minuman. Apalagi demo butuh stamina yang prima, biar suara lebih lantang.
Setelah PSBB, atau dengan penerapan New Normal yang sedang diperkenalkan, kehidupan masyarakat tentu tidak serta merta pulih, sebagian kita mungkin masih menyimpan ketakutan untuk beraktifitas di luar rumah, terutama di tempat yang ramai. Sebagian juga menjadi terbiasa dengan work from home, komunikasi dengan menggunakan aplikasi video konferensi, dan aktifitas secara virtual.
Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri, terutama untuk pelaku usaha yang membutuhkan keramaian untuk menjalankan bisnisnya. Misalnya pameran, pertunjukan seni dan juga olahraga. Bidang ini dari dulu memang menjadikan jumlah audiens sebagai target. Semakin ramai, semakin dinilai sukses pelaksanaannya. Bidang ini juga mampu menarik minat masyarakat untuk menyaksikan secara langsung. Tidak heran ada orang yang sudi membeli tiket seharga lima juta rupiah hanya untuk menyaksikan sebuah pertunjukan.
Perlu disadari, Corona tidak akan pergi. Seperti halnya penyakit yang pernah ada dan ditemukan sebelumnya, mereka akan tetap ada dalam kehidupan manusia. Adanya penyakit bukan pula menjadi hambatan untuk kembali beraktifitas normal seperti biasanya, namun perlu digaris-bawahi, ada penyesuaian diri agar tidak terinfeksi.
Seiring perkembangan zaman, seiring itu pula muncul tatanan yang membuat kehidupan menjadi lebih baik. Sederhananya, sarapan yang biasa kita konsumsi setiap pagi, dan cukup menjadi aturan keras sebelum berangkat beraktifitas pun juga sebuah tatanan yang dihadirkan sebagai antisipasi agar tidak pucat pasi menjelang siang, atau tidak rubuh ketika upacara bendera.
Begitupun Corona. Gaya hidup bersih adalah kunci utama untuk tidak tertular. Kita yang biasanya sembrono soal kebersihan, kini diminta lebih disiplin dan taat. Biasanya kalau kurang bersih, paling banter kena diare, sekarang ada Corona yang menjadi ancaman baru. Namun ancaman hanya akan jadi ancaman kalau kita siap dengan pertahanan. Kenapa takut kalau kegiatan sudah disertai protokol kesehatan?
Saling menjaga juga menjadi kunci memutuskan rantai penyebaran penyakit menular. Sebagian masyarakat terlihat menganggap habisnya PSBB sebagai sebuah ultimatum kebebasan. PSBB selesai, masker mulai ditanggalkan, tempat keramaian kembali disantroni, seolah ada hasrat yang tertahan selama ini akibat Corona, yang ingin segera dilampiaskan lagi. Padahal, pandemi masih terjadi.
Penerapan cara hidup baru tentu juga disertai aturan yang berlaku. Hal ini pun perlu dipikirkan matang-matang. Jangan sampai aturan yang ditetapkan membunuh sendi kehidupan. Dengan adanya Corona, bukan berarti pertunjukan, pameran, pertandingan olahraga, atau apapun yang menghadirkan penonton juga dimatikan, lalu diarahkan ke pertunjukan virtual. Jelas tidak sama.
Ada adat budaya yang jadi harta manusia. Taat dan disiplin jadi kuncinya, agar harta tak lenyap begitu saja karena Corona. Baik pelaku pertunjukan ataupun penonton memiliki andil yang kuat untuk bagaimana kerumunan tetap ada, namun dengan penerapan protokol kesehatan yang tidak asal jadi tentunya.
*****