Minggu, Desember 8, 2024

Protes di Venezuela dan Kegagalan Sosialisme Bolivarian

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.
- Advertisement -

Venezuela tengah diguncang aksi protes di seluruh penjuru negerinya selama beberapa bulan terakhir. Pemicunya adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan nasional di bawah kekuasaan Presiden Nicolas Maduro. Maduro merupakan anggota Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) dan calon pengganti yang ditunjuk langsung oleh Hugo Chavez sebelum kematiannya pada 2013. Seperti halnya Chavez, Maduro melanjutkan kebijakan lama Chavez yang disebut sebagai “Revolusi Bolivarian”.

Kebijakan Bolivarian di bawah Chavez pada hakikatnya berdasarkan pada pengentasan kemiskinan dan penguatan kedaulatan nasional yang diwujudkan dalam nasionalisasi (terutama dalam sektor perminyakan), program kesejahteraan, perlawanan terhadap neoliberalisme dan kebijakan luar negeri anti-Amerika Serikat. Namun di sisi lain, Chavez memerintah Venezuela secara otoriter dengan mengamandemen konstitusi, memusatkan kekuasaan politik di tangan presiden dan penindasan terhadap kritik dan oposisi terhadap pemerintah.

Niatan Chavez untuk mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi masyarakatnya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi sekarang. Setelah kematian Chavez, pemerintahan Maduro sepakat untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan tersebut. Namun, alih-alih menuai pujian, konsekuensi atas kebijakan lama Chavez justru harus ditanggung oleh Maduro.

Venezuela sekarang harus menjadi pesakitan di antara negara-negara Amerika Latin karena keengganannya untuk membuka dialog dengan Amerika Serikat. Selain itu, menurunnya harga minyak dunia memberi pengaruh kepada ekonomi negara yang merupakan salah satu penghasil minyak dunia tersebut. Berkurangnya pemasukan dari sektor perminyakan memaksa pemerintah untuk memangkas sejumlah kebijakan sosial-ekonomi yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan meningkatnya angka pengangguran.

***

Ketidakpuasan masyarakat Venezuela terhadap pemerintah telah berlangsung sejak lama. Perasaan tidak puas tersebut mencapai momentumnya pada 29 Maret 2017 ketika Mahkamah Agung Venezuela mengumumkan pengambilalihan wewenang Parlemen setelah terjadi konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif. Parlemen yang didominasi partai-partai oposisi berusaha melaksanakan referendum pemakzulan Maduro dari jabatannya. Langkah tersebut diikuti oleh pembubaran sepihak Parlemen dan penahanan sejumlah tokoh oposisi oleh pemerintah.

Perlakuan pemerintahan Maduro terhadap Parlemen yang dianggap inkonstitusional menimbulkan aksi protes semenjak April 2017 terlebih setelah keengganan pemerintah untuk berdialog dengan oposisi atas usulan Vatikan. Selain pendukung oposisi, salah satu pihak yang ikut terlibat dalam demonstrasi tersebut adalah Movimiento Estudiantil, pergerakan mahasiswa Venezuela yang menganggap pemerintah telah mengabaikan demokrasi dan hak asasi manusia dan mengarahkan Venezuela kepada otoritarianisme.

Pemerintah Venezuela menanggapi demonstrasi tersebut dengan menggunakan polisi anti huru hara, bom gas dan meriam air. Kericuhan tak bisa dihindari. Puluhan orang terluka dan beberapa di antaranya tewas sejak tiga bulan terakhir. Tewasnya Fabian Urbina pada Rabu, 21 Juni 2017 lalu meningkatkan ketegangan antara pemerintah dan demonstrator. Kematian Urbina merupakan kematian pertama dalam kerusuhan belakangan ini yang diakibatkan tembakan langsung dari polisi dan bukan akibat bentrok dengan petugas keamanan.

***

Kerusuhan yang terjadi di Venezuela memberikan kita pelajaran berharga bahwa mustahil untuk mencapai Sosialisme yang sejati tanpa melalui demokrasi. Salah satu kutipan favorit penulis berasal dari tokoh Partai Sosial Demokrat Jerman, Kurt Schumacher: “Die Demokratie verlangt den Sozialismus und der Sozialismus verlangt die Demokratie”. Schumacher mengingatkan kita bahwa demokrasi membutuhkan Sosialisme dan Sosialisme membutuhkan demokrasi. Demokrasi adalah jalan yang utama dalam mencapai Sosialisme, terlepas apakah mewujudkannya harus melalui revolusi atau reformasi.

- Advertisement -

Sering sekali penulis mendapati tulisan-tulisan kelompok Sosialis di Indonesia yang menjuluki model Venezuela sebagai model Sosialisme abad ke-21. Mereka memuji Chavez sebagai tokoh yang berani berdiri melawan dominasi Barat, terutama Amerika Serikat, dan berhasil menasionalisasi sektor perminyakan yang merupakan penghasil pemasukan terbesar di Venezuela. Sosialisme Bolivarian dipandang sebagai suatu keberhasilan revolusioner pergerakan Sosialisme di abad ke-21 dalam mempertahankan ortodoksi ekonomi Sosialis setelah terjadi liberalisasi ekonomi di Tiongkok, Vietnam dan Kuba.

Apa yang terjadi di Venezuela saat ini membuktikan model Venezuela yang sering dibanggakan itu telah gagal. Kegagalan model Venezuela tidak berasal dari tujuannya, yakni pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi. Kesalahan terbesar dari model Venezuela adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sikap kelompok pro-Chavez dan Maduro, serta para pendukung model Venezuela, yang menganggap demokrasi liberal sebagai antithesis dari pergerakan Sosialisme menimbulkan pembungkaman oposisi dan kritik terhadap pemerintah. Usaha pemerintah Venezuela dalam mencapai Sosialisme pada akhirnya tidak memberikan kebahagiaan kepada rakyat.

***

Bagi penulis, kesabaran revolusioner dalam Sosialisme itu perlu. Namun, dalam keadaan di mana revolusi tidak nampak atau timbul, maka satu-satunya cara untuk mencapai Sosialisme adalah melalui demokrasi. Romantisme yang sering dianut beberapa pegiat gerakan Kiri di Indonesia, terutama yang mengagungkan model Venezuela, adalah menunggu hingga revolusi sosial datang untuk menghilangkan penindasan kelas kapitalis terhadap kaum proletar. Kepercayaan tersebut justru menimbulkan kemandulan pergerakan Sosialisme di Indonesia secara politik. Padahal, demokrasi haruslah menjadi prasyarat, tujuan dan dampak utama dari Sosialisme.

Sebagai prasyarat, Sosialisme harus dicapai melalui demokrasi politik yakni di kotak-kotak suara ketika pemilihan umum, bukan di jalan-jalan ketika revolusi. Mereka yang hanya menunggu revolusi datang dan enggan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi masyarakatnya dengan duduk dalam institusi demokrasi sebenarnya telah menggagalkan pencapaian Sosialisme itu sendiri. Demokrasi memang bukan sistem politik yang terbaik, namun akan menghasilkan kebaikan jika dilaksanakan dengan benar.

Sebagai tujuan, Sosialisme harus mewujudkan suatu demokrasi ekonomi dimana perekonomian harus dijalankan secara bersama dan demokratis. Nasionalisasi semata tidak mampu mewujudkan demokrasi ekonomi tersebut. Kuasa ekonomi harus dipegang oleh masyarakat secara langsung melalui koperasi dan swa-manajemen pekerja dan bukan oleh pemerintah. Apabila mode-mode produksi dikuasai oleh negara, maka akan timbul kelas birokrasi ekonomi yang rawan berperilaku korup dan otoriter seperti yang terjadi dulu di Uni Soviet dan kini di Venezuela.

Sebagai dampak, Sosialisme harus mencapai demokrasi sosial yang mana masyarakat tidak terbebas dari penindasan secara ekonomi namun juga secara sosial. Sosialisme yang sejati tidak membatasi hak-hak individual dalam mengekspresikan dirinya dalam masyarakat. Sebaliknya, masyarakat yang Sosialis adalah masyarakat yang bebas secara individual namun memiliki kesadaran secara sosial, bukannya kepatuhan kepada negara. Kesadaran tersebut hanya bisa dicapai melalui pendidikan yang bersifat universal.

***

Kegagalan Venezuela dalam menerapkan kebijakan sosialis bukan disebabkan oleh ideologi Sosialisme itu sendiri. Melainkan, kegagalan itu terjadi dengan bagaimana Sosialisme itu harus dicapai. Sejarah telah mencatat bahwa negara-negara kediktatoran dan non-demokrasi, seperti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur, telah gagal mencapai Sosialisme. Usaha-usaha untuk mencapai Sosialisme tanpa melalui demokrasi terbukti telah nihil dan tanpa hasil.

Sekarang, pegiat Sosialis di Indonesia harus memikirkan ulang dukungan mereka terhadap model Venezuela.Bagaimana pun pesimisme dan skeptisme yang dimiliki kelompok-kelompok Kiri untuk menggunakan perjuangan parlementer dalam memajukan gagasan Sosialisme, perjuangan semacam itu tetaplah yang terbaik. Demokrasi adalah napas dari Sosialisme dan tidak bisa keduanya untuk dipisahkan. Tujuan keduanya itu adalah sama, yakni keadilan dan kebebasan.

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.