Pada zaman dahulu wilayah Nusantara lebih luas jika dibandingkan dengan wilayah Indonesia saat ini. Wilayah Nusantara pada masa itu meliputi Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand.
Pada masa itu Nusantara dikenal dengan sebutan “Negeri Bawah Angin”, dan “Lesser India” atau India kecil. Sedangkan negeri India, Persia, Arab dikenal dengan sebutan “Negeri Atas Angin”, adapun orang-orang Nusantara yang berada di Haramain (Mekkah dan Madinah), mereka dikenal dengan sebutan Jawi.
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai pelayar tangguh yang sanggup menaklukan lautan lepas. Sejak awal Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan berbagai daerah di Asia Tenggara.
Lalu wilayah barat Nusantara, dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah lalu lintas pelayaran Internasional. Hal ini disebabkan menjadi daerah lintasan penting antara Cina, dan India. Komoditi Nusantara yang terkenal adalah pala dan cengkeh berasal dari Maluku kemudian dipasarkan di Jawa, dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para pedagang asing yang singgah di pelabuhan penting Sumatera dan Jawa.
Antara abad ke-1 dan ke-7 M terdapat pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa yang sering disinggahi pedagang asing seperti Lamuri (Aceh), Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik.
Datangnya pedagang yang berasal dari Timur Tengah bukan hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Nusantara bersamaan dengan kehadiran pedagang Arab tersebut, meskipun belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Pembahasan tentang asal-usul Islam di Nusantara serta siapa pembawanya menjadi perdebatan para ahli sejarah. Banyak sekali para ahli sejarah yang mengupas tentang asal-usul Islam masuk ke Nusantara.
Ada beberapa teori yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Sejumlah ahli mengajukan teori bahwa sumber Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia adalah Anak Benua India selain Arab dan Persia. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel yang berkebangsaan Belanda dari Universitas Leiden. Dia mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dan Malabar dengan Alasan bahwa orang Arab bermazhab Syafi’i bermigrasi dan menetap di daerah tersebut dan membawa Islam ke Nusantara.
Teori ini kemudian direvisi oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari India Selatan. Sejumlah muslim Dhaka datang di Kepulauan Melayu sebagai penyebar Islam pertama, Snouck Hurgronje berteori bahwa mereka diikuti oleh orang-orang Arab, terutama yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad yang bergelar Sayyid atau Syarif.
Sementara itu Moquette menyimpulkan bahwa asal usul Islam di Nusantara berasal dari Gujarat di pesisir selatan India. Dia mendasarkan kesimpulannya setelah mempertimbangkan gaya batu nisan yang ditemukan di Pasai, Sumatera Utara khususnya yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H/ 27 September 1428 M, yang identik dengan batu nisan yang ada di Pasai dan Gresik sama dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat. Sementara itu Moquette mengatakan bahwa Islam berasal dari Bengal sekarang Bangladesh. Hal ini didasarkan pada batu nisan Malik Al-Shalih sama dengan ada yang di Bengal.
Pendapat lainnya adalah Islam di Nusantara berasal dari Arab, hal ini dikemukakan oleh Arnold. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga membawa Islam ketika mereka menguasai perdagangan Barat-Timur semenjak awal abad ke-7 dan ke-8. Meskipun tidak ada catatan sejarah ihwal penyebaran Islam oleh mereka.
Pendapat Arnold ini didasarkan pada sebuah sumber dari China bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7 seorang Arab pernah menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Beberapa orang Arab ini melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi sehingga kemudian membentuk nukleus sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk Islam.
Ada juga yang mengatakan bahwa proses masuknya Islam Ke Indonesia terutama Jawa berasal dari orang-orang Cina. Banyak orang Cina telah berbaur dengan masyarakat Nusantara jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia yaitu pada masa Hindu-Budha, orang-orang Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama melalui jalur dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7 M.
Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik (sumber luar negeri) pada masa Dinasti Tang (618-960) di wilayah Quanzhou, Kanton, Zhang-Zhao, dan pesisir China bagian Selatan, telah ditemukan sejumlah pemukiman Islam. K. H Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa ada tiga gelombang kedatangan Islam di Nusantara. Gelombang pertama berasal dari perwira-perwira Islam di Cina. Gelombang kedua berasal dari Bangladesh yang banyak mengikuti Mazhab Syafi’i. Gelombang ketiga berasal dari para pedagang Gujarat India.