Minggu, November 2, 2025

Project 2025: Ketika AS Mengancam Hukum Internasional dari Dalam

Arintika Noriyah
Arintika Noriyah
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan fokus penelitian pada isu hukum internasional kontemporer dan kebijakan luar negeri.
- Advertisement -

Ketika dunia tengah berjuang menegakkan hukum internasional dari perang di Gaza hingga krisis iklim global, Amerika Serikat justru sedang menyiapkan “revolusi senyap” yang bisa mengguncang tatanan hukum global dari dalam tubuh sendiri.

Rencana itu bernama Project 2025, blueprint politik konservatif yang disusun oleh Heritage Foundation untuk mengarahkan pemerintahan baru Donald Trump jika ia kembali berkuasa. Meski diklaim sebagai rencana “reformasi birokrasi domestik”, 20 poin utamanya punya implikasi besar terhadap dunia. Ia bukan sekadar dokumen politik, melainkan rencana membongkar pilar hukum internasional yang telah menopang ketertiban global sejak 1945.

Hukum Internasional di Bawah Bayang Populisme

Dalam Project 2025, Trump berjanji menarik Amerika dari berbagai perjanjian yang dianggap “membatasi kedaulatan”, seperti Paris Agreement dan World Health Organization Treaty. Ia juga menolak pendanaan bagi lembaga-lembaga internasional seperti PBB, UNHCR, bahkan kemungkinan keluar dari NATO.

Dari sudut hukum, langkah itu berarti menolak prinsip pacta sunt servanda bahwa perjanjian harus dipatuhi dengan itikad baik sebagaimana ditegaskan dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Jika negara sebesar Amerika bebas keluar kapan pun dari kewajiban traktat, maka seluruh sistem hukum internasional berisiko kehilangan otoritas moralnya.

Fenomena ini memperlihatkan wajah baru populisme: bukan lagi menolak globalisasi ekonomi, melainkan menolak globalisasi hukum. Trump menganggap multilateralisme sebagai ancaman, padahal justru lewat sistem hukum internasional dunia pernah menekan perlombaan senjata, mengatur perdagangan, dan melindungi HAM.

Agenda yang Mengubah Arah Dunia

Dari 20 agenda utama Project 2025, beberapa memiliki dampak langsung terhadap hukum internasional:

  1. Kebijakan “America First Energy” — menarik AS dari komitmen iklim dan memperluas eksploitasi energi fosil; ini memundurkan implementasi Paris Agreement 2015.
  2. Pembatasan imigrasi dan suaka — mengancam Refugee Convention 1951 serta prinsip non-refoulement yang melarang pemulangan pengungsi ke tempat berbahaya.
  3. Dukungan tanpa syarat terhadap Israel — berpotensi melanggar kewajiban netralitas AS terhadap konflik bersenjata dan memperburuk pelaksanaan hukum humaniter di Gaza.
  4. Penarikan dana dari WHO dan UNHCR — melemahkan kapasitas lembaga internasional yang menjadi penegak hukum kemanusiaan global.

Bagi komunitas hukum, semua ini bukan sekadar kebijakan luar negeri. Ia menandai kemunduran legitimasi hukum internasional, sebab Amerika selama ini menjadi salah satu arsitek utama sistem tersebut.

Krisis Kepemimpinan Global

Sebelumnya, Amerika kerap menampilkan paradoks: pencipta tatanan hukum internasional, tetapi juga pelanggarnya. Namun Project 2025 membawa paradoks itu ke level baru menormalisasi pelanggaran hukum internasional sebagai kebijakan resmi negara.

Krisis ini tak terjadi di ruang hampa. Gelombang populisme serupa melanda Eropa, Asia, dan bahkan sebagian Amerika Latin. Jika Trump sukses menerapkannya, negara-negara lain mungkin meniru, menganggap perjanjian internasional sebagai “opsional”.

Hasilnya? Kembali ke logika “might makes right”, di mana kekuatan, bukan hukum, yang menentukan kebenaran. Dalam jangka panjang, tatanan global bisa tergelincir menjadi “anarki sah-menurut-kedaulatan”.

- Advertisement -

Implikasi bagi Indonesia dan Global South

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, konsekuensi Project 2025 sangat serius.Pertama, kerja sama multilateral untuk isu iklim, kesehatan, dan HAM akan terhambat karena Amerika adalah penyandang dana utama. Kedua, prinsip kedaulatan yang setara yang diatur dalam UN Charter Pasal 2—akan kehilangan maknanya ketika negara besar bebas melanggar traktat tanpa sanksi. Ketiga, negosiasi global akan lebih didominasi politik kekuasaan daripada argumentasi hukum.

Padahal Indonesia sering memosisikan diri sebagai jembatan antara negara maju dan berkembang. Jika tatanan hukum internasional melemah, peran itu ikut tereduksi.

Perlu Strategi: Konsistensi, Bukan Konfrontasi

Menanggapi gelombang ini, Indonesia dan negara-negara ASEAN perlu menegaskan kembali komitmen terhadap hukum internasional. Langkah realistisnya bukan berkonfrontasi dengan Amerika, melainkan memperkuat solidaritas regional berbasis hukum: mempercepat ratifikasi perjanjian lingkungan, memperluas yurisdiksi ASEAN Human Rights Mechanism, dan mendukung reformasi PBB agar tak mudah disandera veto negara besar.

Indonesia juga dapat menggunakan forum-forum global seperti G20 dan COP 30 untuk menegaskan bahwa komitmen internasional bukan ancaman terhadap kedaulatan, melainkan bentuk tanggung jawab bersama.

Di saat banyak negara menarik diri dari multilateralisme, konsistensi justru menjadi kekuatan moral.

Menutup dengan Harapan

Hukum internasional memang tidak sempurna. Ia sering kalah oleh kepentingan politik. Tetapi tanpa hukum, dunia hanya diatur oleh kekuasaan. Project 2025 adalah ujian: apakah komunitas global masih percaya pada rule of law international, atau menyerah pada rule by power?

Indonesia, dengan sejarah diplomasi damai dan prinsip bebas-aktif, seharusnya tidak hanya menjadi penonton. Kita perlu terus menyuarakan pentingnya tatanan hukum global yang adil karena ketika hukum internasional runtuh, yang pertama menjadi korban bukan negara besar, melainkan negara-negara kecil yang mengandalkannya untuk bertahan.

Arintika Noriyah
Arintika Noriyah
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, dengan fokus penelitian pada isu hukum internasional kontemporer dan kebijakan luar negeri.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.