First impression, saya akan membahas sedikit tentang hukum internasional yang memaktubkan sebuah kebijakan dalam perang dan keamanan negara.
Berbicara tentang hukum perang dan keamanan negara tentulah merupakan bahasan yang sangat sensitif karena hal ini memuat beberapa nilai yang pada dasar dan realitasnya jarang di patuhi. Terdapat 2 kategori hukum internasional yang di rancang untuk menanggapi persoalan ini, yakni : Jus ad bellum & Jus in bello.
Jus ad bellum
Jus ad bellum atau dapat kita pahami dengan arti “Perang yang adil”, teori yang di kembangkan oleh Saint Augustine,Saint Thoma Aquina dll ini menegaskan bahwa setiap pembuatan keputusan harus di landasi alasan yang adil (dengan kata lain “Bela diri atau pembelaan orang lain”). Hal tersebut di kodifikasi ke dalam Hukum Internasional dan tercantum dalam piagam piagam PBB (1945), kurang lebihnya seperti :
- Pasal 2 (4) piagam PBB : “Negara – negara tidak boleh saling menggunakan kekuatan.”
- Pasal 51 piagam PBB : “Mengizinkan suatu negara untuk menggunakan kekuatan ketika bertindak untuk membela diri.”
- Pasal 42 piagam PBB : “Mengizinkan suatu negara untuk menyerang negara lain jika serangan di izinkan dewan keamanan PBB.” Salah satu study kasusnya yaitu dalam perang teluk 1991, yang mana dewan keamanan PBB memberikan resolusi yang mengizinkan kekuatan multi negara untuk menyingkirkan Irak dari Kuwait.
Jus in belo
Jus in bello atau yang memuat arti “perilaku yang sah”. Dalam Hukum Internasional tidak hanya mengatur dalam peperangan yang adil saja, akan tetapi sah atau tidaknya perang pun terdapat rancangannya bagaimana etics-etics dalam peperangan. Terdapat 3 kualifikasi yang di perlukan untuk ke absahan sebuah tindakan/sikap yang sah :
- Kombatan dan Non-kombatan, non-kombatan di lindungi dari bahaya.~Prinsip kekebalan non-kombat). Dalam perang ada batasan yang tentunya wajib di perhatikan, tidak semua manusia yang berada di hadapan merupakan musuh dan berhak untuk di tiadakan. Namun, terdapat 2 kategori di atas yang mana ada hal yang tidak boleh di ganggu atau di tiadakan (non-kombatan), dalam sebuah perang masyarakat sipil merupakan obyek yang memiliki sifat non-kombatan.
- Tema yang di gunakan harus proporsional dengan yang ingin di capai.~Prinsip proporsional). Setiap tindakan yang di lakukan sebuah negara dalam menyikapi perang tentu harus memiliki ketercapaian dan dengan adanya visi tersebut (tujuan tertentu), dengan demikian tentulah adanya batasan dalam setiap tindakannya (tidak di perkenankan melakukan tindakan semaunya (di luar proporsional)).
- Pelanggaran penggunaan senjata yang keji. Banyak dari norma – norma sentral dan dari tradisi perang ini di kodifikasi dalam perjanjian yang sifatnya mengikat, antaranya : Konvensi Denhaag (yang di lahirkan untuk mengatur metode perang) dan Konvensi Jenewa (di maktubkan untuk mengatur Non-kombatan).
Perang siber dan kekebalan non-kombatan
Perang dunia maya memiliki pandangan pro dan kontra akan pelanggarannya yang termasuk pada prinsip kekebalan non-kombatan atau kombatan. Pendapat pertama menyatakan bahwa perang dunia maya adalah perang kekebalan non-kombatan karena tidak ada unsur peperangan senjata atau fisik.
Namun, pandangan ini di sangkal oleh pendapat kedua yang menyatakan bahwa perang dunia maya memiliki efek psikologis (serangan siber yang di rancang khusus). Mereka menyebabkan kecemasan yang signifikan dan sering mempengaruhi pemikiran politik yang rasional, sehingga ada juga pendapat bahwa bahkan jika mereka tidak melakukan tindakan fisik. Akan tetapi, perang dunia maya tetap melanggar prinsip kekebalan non-kombat.
Cyberwarfare juga mengangkat isu proporsionalitas. Dalam perang dunia maya, seperti yang telah kita lihat, hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, sulit untuk memastikan proporsionalitas serangan.
Selain itu, karena sulit untuk mengetahui apa efek sebenarnya dari suatu serangan, dan bahkan lebih sulit untuk menilai efek yang dimaksudkan dari suatu serangan dan sumber serangan yang sebenarnya, juga sulit untuk menilai tingkat respons terhadap serangan siber yang proporsional. Apakah serangan militer sebagai respons terhadap serangan siber merupakan respons yang proporsional? Bagaimana jika serangan itu tidak dilakukan oleh pemerintah? Jika demikian, apakah menanggapi dengan serangan terhadap suatu negara proporsional?
Cyberwarfare menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan baru tentang bagaimana “perang yang adil” dapat dilakukan hari ini.
Adanya 2 kategori hukum perang dan keamanan negara di atas, pada akhirnya melahirkan sebuah pertanyaan. Jika kita sandingkan dengan kondisi saat ini, beragam macam bentuk peperangan mulai dari tindakan fisik dan non-fisik (cyber, psywar, asimetris & kortex) bagaimana penerapan kedua kategori hukum di atas?
Demikian penulisan kala ini dan yang pertama kali saya menulis, semoga tulisan ini dapat memuat informasi atau sebuah pengetahuan baru bagi penulis khususnya dan umumnya bagi para pembacanya.