Dalam beberapa waktu terakhir, fyp TikTok seolah berubah menjadi papan pengumuman besar yang berisi deretan pencapaian anak muda. Mulai dari tabungan puluhan juta sebelum usia 25 tahun, punya bisnis kecil yang sudah balik modal, hingga deretan skill yang disebut sebagai “standar minimal”. Konten-konten tersebut disajikan dengan visual yang menarik dan musik yang menggugah, pesannya seolah-olah memotivasi, tetapi justru secara perlahan menciptakan tekanan tersendiri yang membuat banyak orang bertanya-tanya, apakah semua itu harus dicapai agar dianggap berhasil di usia muda?
Yang lebih mencolok justru respons dari para penonton di kolom komentar. Tidak sedikit dari mereka yang mengaku kalau merasa tertinggal, belum mencapai apa-apa, atau bingung harus mulai dari mana. Salah satunya ada yang menulis, “Kok beda banget dengan hidupku, ya?”. Dari kolom komentar itu terlihat jelas bahwa standar produktivitas di TikTok bukan lagi sekadar hiburan, melainkan perlahan berubah menjadi patokan dan tolak ukur untuk menilai siapa yang berada “di jalur yang benar” dan siapa yang tidak.
Dari kondisi ini, mungkin persoalannya tidak hanya terletak pada TikTok. Platform tersebut hanya menjadi “kaca pembesar” dari apa yang sudah lama ada. Yang terlihat sebenarnya adalah gambaran budaya kita sendiri, yaitu budaya yang menuntut anak muda untuk terus produktif, terus maju, dan tidak boleh berhenti terlalu lama. Maka, pertanyaannya pun berubah, apakah kita benar-benar mengejar mimpi yang kita inginkan atau sekadar mengikuti standar keberhasilan yang tidak pernah kita tetapkan sendiri?
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa tekanan produktivitas di kalangan anak muda bukan lagi persoalan individu, melainkan cerminan dari budaya yang lebih luas. Media sosial memperjelas proses perbandingan antarindividu, menampilkan keberhasilan sebagai sesuatu yang harus dicapai sesegera mungkin, dan menjadikan pencapaian tersebut sebagai nilai diri. Dalam konteks ini, generasi muda seolah terdorong untuk menilai kemampuan dan harga dirinya melalui jumlah prestasi yang bisa dipamerkan ke publik. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri bagaimana standar produktivitas digital membentuk dan memengaruhi cara mereka memandang dirinya sendiri, serta mengapa diperlukan pemahaman yang lebih luas agar mereka tidak terjebak dalam tuntutan yang tidak ada habisnya ini.
Dorongan untuk berprestasi sebenarnya sudah lama mengakar dalam budaya kita, jauh sebelum munculnya media sosial. Lingkungan keluarga, institusi pendidikan, hingga lingkungan sosial sering menjadikan keberhasilan sebagai sesuatu yang idealnya diraih sedini mungkin, seakan-akan masa muda tidak boleh diisi dengan kegagalan atau keraguan. Dalam kultur seperti itu, pencapaian tidak hanya dipahami sebagai hasil usaha pribadi, tetapi juga sebagai simbol posisi seseorang di mata masyarakat. Kehadiran media sosial semakin memperkuat pola tersebut, menjadikan standar produktivitas yang sebelumnya implisit menjadi semakin terlihat dan mudah dibandingkan. Akibatnya, banyak anak muda yang merasa dituntut untuk mencapai sesuatu yang bukan dari keinginan pribadi, melainkan untuk menghindari anggapan bahwa mereka tertinggal.
Pada saat yang bersamaan, karakteristik media sosial membuat proses perbandingan antarindividu berlangsung jauh lebih intens. Algoritma dengan sendirinya memunculkan konten-konten yang dianggap menarik atau menampilkan keberhasilan, sehingga linimasa dipenuhi oleh potret-potret kehidupan yang sudah dipoles sedemikian rupa. Beragam pencapaian yang tampil di layar akhirnya memberikan kesan sebagai sesuatu yang umum, meskipun pada kenyataannya hanya sebagian kecil pengalaman yang terekspos. Kondisi ini akhirnya menciptakan persepsi bahwa keberhasilan adalah standar mayoritas, sementara perjalanan yang panjang, keraguan, dan kegagalan hampir tidak pernah terlihat. Kesenjangan antara apa yang diperlihatkan dan kenyataan inilah yang membuat anak muda merasa hidupnya tidak sejalan dengan gambaran ideal yang ada di media sosial.
Unggahan-unggahan tentang pencapaian di media sosial membuat mereka merasa berada di belakang orang-orang sebayanya. Perasaan “masih kurang” itu sering muncul bukan karena kegagalan yang dialami secara pribadi, melainkan karena tolak ukur keberhasilan yang terbentuk dari cuplikan hidup orang lain. Dalam situasi ini, kecemasan mengenai masa depan mulai tumbuh. Banyak yang merasa harus selalu produktif dan berkarya, seolah tidak boleh menunjukkan keraguan atau kegagalan. Tekanan seperti ini perlahan mengikis ketenangan, memunculkan kelelahan mental, dan mempersempit kesempatan untuk merefleksikan diri secara objektif. Alih-alih menjadi sarana inspirasi, media sosial justru lebih sering berperan sebagai ruang perbandingan yang terus menguji rasa percaya diri.
Untuk keluar dari lingkungan penuh tuntutan tersebut, maka dibutuhkan cara pandang yang lebih jernih mengenai arti dari produktivitas. Standar yang dibentuk oleh media sosial sering kali mengesampingkan perbedaan pengalaman, proses, dan keterbatasan setiap individu. Oleh karena itu, langkah awal yang penting adalah dengan menyadari bahwa pencapaian bukan satu-satunya tolak ukur seseorang. Anak muda perlu ruang untuk mencoba hal-hal baru, beristirahat sejenak, dan menata ulang tujuan tanpa merasa tertinggal. Di tengah derasnya arus perbandingan di dunia digital, kemampuan untuk menghargai setiap proses, alih-alih hanya melihat hasil akhir, juga menjadi kunci agar produktivitas tetap sehat dan tidak berubah menjadi sumber tekanan.
Dalam praktiknya, kalangan muda memerlukan strategi yang dapat membantu mereka dalam menjaga hubungan yang lebih seimbang dengan dunia digital. Mengatur pola konsumsi konten menjadi langkah awal yang penting. Bukan berarti meninggalkan media sosial seutuhnya, melainkan dengan memilih konten yang benar-benar relevan, berguna, dan tidak memicu perbandingan yang merugikan diri sendiri. Selain itu, memahami batas kemampuan diri juga tak kalah penting. Setiap orang menjalani fase hidup dengan kecepatan yang berbeda-beda. Kesadaran seperti ini dapat membantu meredakan ekspektasi, baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan digital. Dengan kemampuan memilah informasi, menahan diri untuk membandingkan-bandingkan, dan menetapkan prioritas secara lebih bijak, media sosial dapat berfungsi kembali sebagai ruang inspirasi, bukan sebagai beban yang menguras energi emosional.
Pada akhirnya, ramainya konten tentang pencapaian di media sosial bukan hanya soal algoritma atau teknologi, tetapi cerminan dari cara masyarakat menilai keberhasilan generasi muda. Di tengah perubahan yang begitu cepat, sangat penting bagi mereka untuk melihat produktivitas sebagai proses yang bertahap, bukan perlombaan yang harus dimenangkan secepat mungkin. Pemahaman seperti ini tidak hanya membantu menjaga kesehatan mental, tetapi juga membuka kesempatan untuk berkembang secara lebih sehat dan bertahap. Dalam dunia yang semakin dipenuhi standar instan, kemampuan untuk melangkah dengan ritme sendiri justru menjadi pencapaian yang paling berarti.
Mutiara Zahira
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
