Selasa, April 16, 2024

Problematika Pengangkatan PJ Kepala Daerah

Ahmad Sulthon Zainawi
Ahmad Sulthon Zainawi
Mahasiswa dan Asisten Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dalam rangka menjaga keutuhan substansi negara hukum demokratis, pemerintah memutuskan untuk tidak memperpanjang masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada tahun 2022 dan tahun 2023 sekalipun pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara serentak pada tahun 2024 mendatang.

Konsekuensi yuridis atas politik hukum yang diambil oleh pemerintah tersebut, yaitu tergantikannya posisi strategis kepala daerah kepada pejabat (PJ) kepala daerah guna mengisi kekosongan jabatan publik dan memproteksi perpanjangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana yang kemudian dinormatifkan ke dalam ke dalam pasal 201 ayat (9) undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menjadi undang-undang.

Disebutkan oleh salah satu peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) dikutip dari harian Sindo pada 21 Mei lalu bahwa akan ada 272 daerah setingkat gubernur, bupati, dan wali kota yang dipimpin oleh pejabat PJ kepala daerah.

Ada salah satu hal yang viral dan banyak disoroti berkenaan dengan digantikannya posisi strategis kepala daerah kepada PJ kepala daerah ini, yaitu munculnya pernyataan dari Kepala Pusat Penerangan dan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 17 Mei lalu mengenai  PJ kepala daerah yang dapat diangkat dari unsur Tentara Republik Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).

Secara Hukum, hal ini menyimpangi ketentuan dalam pasal 109 ayat (2) undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara; pasal 47 ayat (1) undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI; dan pasal 28 ayat (3) undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Polri yang menegaskan bahwa anggota TNI dan Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil yakni kepala daerah setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.

Dalam ketentuan lain, hal ini juga menyimpangi pututusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 15/PUU-XX/2022 yang menegaskan bahwa prajurit TNI dan anggota Polri dilarang menjadi PJ kepala daerah apabila belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif. Adanya suatu upaya untuk mengesampingkan ketentuan hukum yang berlaku maupun putusan MK demi alasan politis semata sebagaimana yang dicontohkan pada kasus a quo merupakan suatu bentuk penghiantan terhadap konsep pembangunan negara hukum.

Pembangkangan Terhadap Peraturan Hukum (Undang-Undang)

Konsep pembangunan negara hukum sebagaimana yang dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 mengidealkan agar yang dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum yang dimanifestasikan ke dalam bentuk peraturan (undang-undang), sehingga yang menjadi acuan utama dalam dalam bernegara hukum bukanlah suatu tindakan maupun kebijakan yang bersifat politis atau bahkan suatu persuasif dalam bingkai ekonomi. Karena itu jargon yang biasa digunakan untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’ (Jimly Asshiddiqie, 2017).

Basic reason yang banyak diakui oleh berbagai kalangan dengan ditempatkannya aturan hukum sebagai panglima dinamika kenegaraan dan dikedudukkan di atas kekuasaan negara dan politik ialah untuk memberikan instrumen secara jelas dan tegas yang mengandung substansi kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan bagi masyarakat luas agar mekanisme pelaksanaan kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang yang pada akhirnya merugikan masyarakat luas.

Secara teoritis, mayoritas pakar menyepakati bahwa kekuasaan yang jika tidak dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional dapat menjadi malapetaka karena niat baik sebelum menjabat potensial berubah bila mendapatkan kekuasaan yang lekat dengan peluang korup dan kesewenang-wenangan sebagaimana yang diungkapkan Lord Acton melalui adagiumnya yang cukup populer “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (Lord Acton dalam Jimly Asshiddiqie, 2004).

Dalam catatan sejarah yang diabadikan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam mahakaryanya berjudul How Democracies Die (2018) kisah sistem ketatanegaraan Peru telah memberikan pelajaran yang cukup esensial, yaitu pemusatan agenda kenegaraan Peru pada tahun 1990-2000 terhadap kewenagan presiden Alberto Fujimori semata dengan mengesampingkan ketententuan-ketentuan hukum (baik dalam level undang-undang termasuk konstitusi) menyebabkan banyak sekali aspirasi rakyat yang terbaikan sebagaimana yang dijamin secara konstitusional dalam ketentuan/peraturan hukum yang berlaku.

Implikasi, daripada pelaksanaan sistem ketatanegaraan yang tidak mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku adalah terealisasinya penyelenggaraan negara yang didasarkan pada absolutisme yang mendasarkan pada kehendak satu atau sekelompok orang sehingga merugikan masyarakat luas sebagai pemlik kedaulatan.

Demikian pula pada kasus pengangkatan PJ kepala daerah sebagaimana yang disebutkan di atas, apabila hanya mendasarkan pada kehendak satu atau sekelompok orang pada akhirnya akan menguntungkan satu atau sekelompok orang tersebut dan terabaikannya kepentingan masyarakat secara luas sebagai materi muatan daripada undang-undang. Oleh karenanya diakui atau tidak, pengabaian terhadap suatu undang-undang sebagai pelindung hak, kepentingan, atau aspirasi warga negara merupakan bentuk penghinatan terhadap negara hukum.

Pembangkangan Terhadap Putusan MK

Setidaknya terdapat 3 (tiga) peran penting yang semestinya dapat dilakukan oleh MK untuk menyelenggarakan ketatanegaraan yang lebih baik berdasarkan pada nilai hukum dan keadilan, yaitu, mendorong mekanisme chcek and balances dalam penyelenggaraan negara; menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara; mewujudkan negara hukum kesejahteraan Indonesia (Fatkhurrohman dkk, 2004).

Upaya mengoptimalisasi serta merealisasi 3 (tiga) peranan penting MK tersebut  adalah melalui kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK secara konsekuen. Prinsipnya, MK merupakan lembaga peradilan yang meletakkan mahkotanya pada produk putusaannya.

Putusan MK yang tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh addresat putusan hanya akan menjadi macan kertas yang tegas di atas tulisan, tapi tumpul pada tataran pelaksanaan. Pada keadaan yang lebih ekstrem menjadi tidak ada artinya keberadaan MK, terutama bagi pencari keadilan sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya MK akan ditinggalkan oleh pencari keadilan (M. Agus Maulidi, 2020).

Terlebih, pengabaian terhadap putusan MK tak ubahnya merupakan pengingkaran baik terhadap konstitusi maupun undang-undang sebagai aturan pelaksana daripada konstitusi.

Alasannya, secara secara institusional MK dikonstruksikan sebagai lembaga lembaga penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution) dan penjaga konstitusi (the guardian of constitution) yang merupakan aturan hukum tertinggi sekaligus falsafah bangsa (philosophy of life). Maka, dapat dikataka sebagai suatu kebenaran bahwa pengabaian terhadap putusan MK merupakan bentuk penghinatan terhadap konsep negara hukum.

Ahmad Sulthon Zainawi
Ahmad Sulthon Zainawi
Mahasiswa dan Asisten Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.