Media ramai mewartakan Anwar Usman akan menikahi Idayati. Dalam ketatanegaraan Indonesia, ini bukan hal yang biasa. Dikarenakan kedua mempelai erat kaitannya dengan dua lembaga negara, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Presiden. Diketahui Anwar Usman merupakan Ketua MK, sekaligus anggota [hakim konstitusi] hingga 6 April 2026 (jika tak mengundurkan diri). Sedangkan Idayati merupakan adik kandung Jokowi.
Pernikahan keduanya secara langsung memunculkan pertalian semenda/ hubungan keluarga antara Anwar Usman dengan Jokowi. Menurut KBBI semenda diartikan sebagai pertalian keluarga yang timbul karena perkawinan dengan anggota suatu kaum. Merujuk Pasal 292 KUHPerdata, pada pokoknya hubungan semenda terjalin karena adanya hubungan keluarga, baik itu garis vertikal maupun horizontal.
Hubungan semenda bisa muncul secara alamiah yakni terlahir sebagai anak (vertikal), dan bisa secara hukum layaknya Anwar Usman yang menikahi adik Jokowi yang secara langsung statusnya berubah menjadi suami Idayati sekaligus adik ipar Jokowi (horizontal).
Potensi Konflik Kepentingan
Apabila hakim konstitusi menjadi keluarga Presiden, bisa kita bayangkan betapa besarnya potensi konflik kepentingan yang akan melilit MK nantinya. Konflik kepentingan ialah suatu kondisi dimana penyelenggara negara yang memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi netralitas keputusan (Vide pasal 1 angka 14 UU 30/2014).
Sebagaimana kita ketahui, MK memiliki beberapa kewenangan untuk mengadili perkara (Vide Pasal 10 UU 24/2003), diantaranya: Menguji UU terhadap UUD 1945 (judicial review/JR); Memutus perselisihan tentang hasil Pemilu dan Pilkada; Memberi putusan terhadap pendapat DPR tentang presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Pembacaan penulis, jika Anwar Usman menikahi Idayati tanpa mengundurkan diri dari MK terlebih dahulu, paling tidak terdapat 4 skema potensi konflik kepentingan hakim konstitusi dalam mengadili perkara yang berkaitan langsung dengan Presiden dan keluarga Presiden lainnya.
Pertama, salah satu pihak pembentuk UU adalah presiden, jika dilakukan JR terhadap suatu UU maka Presiden menjadi salah satu pihak yang berperkara di MK. Dan selaku hakim konstitusi, Anwar Usman akan mengadili perkara kakak iparnya.
Kedua, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masuk dalam rezim Pemilu. Memang benar dari segi konstitusi saat ini, Jokowi tidak dapat lagi maju menjadi Capres di Pilpres 2024, namun dia bisa maju sebagai Cawapres. Kemudian apabila dari hasil pemilihan tersebut terjadi sengketa hasil, sekali lagi Anwar Usman akan mengadili perkara kakak iparnya.
Ketiga, jika pernikahan Idayati dan Anwar Usman terjadi, maka bukan hanya pak Jokowi, namun keponakan Idayati yakni Gibran Rakabuming juga ikut menjadi keponakan Anwar Usman. Gibran yang notabene Wali Kota Solo petahanan, besar kemungkinan ikut pada ajang Pilkada Solo pada 27 November 2024, dan apabila terjadi sengketa hasil, maka akan dibawah ke MK. Sekali lagi kondisi ini mengharuskan Anwar Usman akan mengadili sengketa hasil Pilkada yang melibatkan keponakannya.
Keempat, masa jabatan Jokowi sisa dua tahun lagi, namun tidak menutup kemungkinan dalam rentan dua tahun tersebut Jokowi melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya (Vide Pasal 10 ayat 2 UU 24/2003). Jika DPR mengajukan pendapat ke MK bahwa Jokowi telah melakukan pelanggaran hukum, maka MK wajib memutus benar tidaknya Jokowi melanggar hukum.
Bisa kita bayangkan betapa dilematisnya Anwar Usman menjaga muruah lembaga MK dan menjaga muruah Putusan MK jika dihadapkan 4 skema perkara di atas yang notabene salah satu pihak berstatus keluarganya. Dan wajar jika publik nantinya berpandangan bahwa mengadili ‘4 skema perkara’ di atas sarat konflik kepentingan. Dikarenakan salah satu hal yang melatarbelakangi konflik kepentingan di pengadilan ialah hakim memiliki hubungan semenda dengan salah satu pihak yang berperkara.
Lebih lanjut, dalam hukum acara MK terdapat asas ‘nemo judex in causa’ yang artinya hakim tidak dapat memeriksa, menguji, dan memutus setiap perkara yang terkait dengan dirinya (Nabella Puspa Rani, 2012). Frasa ‘terkait dengan dirinya’ tentu mencakup keluarga. Sebab keluarga sangat erat kaitannya dengan diri setiap individu.
Selain itu, terdapat ketentuan kode etik hakim konstitusi “…tidak berhubungan langsung maupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain…yang berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani…” (Vide Pasal 3 ayat 1 huruf d PMK No. 2 /2003). Ketentuan di atas, terdapat frasa ‘berhubungan langsung dan tidak langsung’. Secara penafsiran gramatikal dengan menggunakan rujukan KBBI frasa tersebut berkaitan dengan segala tindakan dan status semenda/kekeluargaan.
Memperhatikan asas ‘nemo judex in causa’ dan pasal 3 ayat 1 huruf d PMK No.2/2003, maka dapat disimpulkan hakim konstitusi tidak dapat mengadili perkara yang di dalamnya terdapat pihak yang menyandang status keluarga hakim konstitusi. Jika dilakukan hal yang demikian maka hal tersebut merupakan abnormalitas, preseden buruk, dan berkonsekuensi merobohkan maruah MK. Dan perkara tersebut akan selalu ada sebab saat ini marak pengujian UU terhadap UUD, layaknya UU IKN yang tahap JR-nya sedang berjalan.
Pilih Pujaan Hati atau MK?
Cinta Anwar Usman kepada Idayati, tentu tak mudah. Sebab secara etika ketatanegaraan dan hukum Anwar Usman tak pantas menikah sang Pujaan Hati tanpa menanggalkan jabatan hakim konstitusi (memilih salah satu). Apakah beliau akan mengundurkan diri dari MK kemudian menikahi Idayati sesuai dengan tanggal yang telah di rencanakan di bulan Mei 2022? Atau membatalkan menikahi Idayati? atau malah menunda menikahi Idayati hingga 2026 (akhir masa jabatan Anwar Usman)? Tak ada yang tahu selain beliau.
Satu yang pasti, amat tak elok jika beliau memilih menikahi Idayati tanpa mengundurkan diri dari MK. Seperti diutarakan Direktur Pusat Studi Konstitusi, Feri Amsari: “Cinta kepada MK dan pujaan hati, Anwar Usman harusnya mundur karena potensi konflik kepentingan akan membuat orang berprasangka dengan putusan MK.”
Dihadapkan dengan dua pilihan ‘cinta yang berbeda’, ini tentu sulit bagi Anwar Usman. Barangkali sekarang beliau sedang membaca puisi Sapardi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu…” Atau bahkan beliau diam-diam telah menulis puisi hampir serupa “Aku ingin mencintaimu [Idayati] dengan luar biasa, bukan sebatas kata saja, melainkan langkah nyata mengundurkan diri dari lembaga Mahkamah Konstitusi.”
Teringat dengan kalimat Qais “Debu di sandal laila lebih aku cinta dari pada dunia dengan segala isinya.” Mungkin sebesar ini juga cinta Anwar Usman kepada Idayati dan akan mengumumkan pengunduran dirinya. Perlu kita amini bersama, mundur demi menghindarkan MK dari muara konflik kepentingan adalah tindakan terpuji seorang negarawan sekaligus pecinta sejati.
Daftar Pustaka
Nabella Puspa Rani, “Penerapan Asas Nemo Judex in Causasua dalam Putusan Mahkamah Kontitusi (Studi Putusan dari 2004-2011)” Tesis di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2012).
Selanjutnya: klik beberapa hyperlink dan Peraturan Rujukan.