Mendekati kemerdekaan Indonesia yang ke 75, kebebasan beragama nampaknya belum bisa ikut merasakan kemerdekaan. Kemunduran kebebasan beragama masih sering kita lihat dalam lingkungan bermasyarakat maupun dalam televisi. Pasalnya banyak kegiatan beragama yang harus dihentikan karena paksaan dari warga sekitar.
Seperti contoh, beberapa waktu lalu pembangunan makam tokoh Sunda Wiwitan yang masih mendapat kecaman dan diskriminasi dari warga. Kegiatan menghormati sesepuh di tanah sendiri pun harus ikut merasakan imbas dari intoleransi yang masih kental di Indonesia. Bahkan pejabat negara ikut turun tangan untuk melarang masyarakat Sunda Wiwitan melakukan kegiatan keagamaan mereka.
Dalihnya mereka beralasan takut jika kegiatan Sunda Wiwitan ini menggangu ketenangan warga dan dianggap sebagai kegiatan musyrik. Alasan diplomatis seperti ini sering digunakan untuk menutupi tindakan intoleransi kebebasan beragama yang mereka lakukan. Hal ini justru mengakibatkan orang pada zaman sekarang malas untuk beragama.
Tampang keburukan agama dilihat lebih menonjol daripada tampang kebaikan dari agama. Orang melihat agama sudah berubah dari jalur yang seharusnya. Mereka tidak lagi melihat agama menjadi komunitas untuk menciptakan kedamaian, mempersatukan perbedaan, dan menyelesaikan permasalahan sosial.
Wajah agama yang kerap muncul dan ditunjukkan adalah wajah yang penuh dengan kebencian dan murka. Entah disengaja atau tidak, wajah itu yang lebih sering muncul daripada wajah kebaikan. Ulah oknum-oknum yang mengatasnamakan agama membuat orang semakin ragu untuk memilih beragama di era sekarang.
Tidak jarang kita lihat di televisi atau lingkungan sekitar yang memanfaatkan agama untuk kepentingannya sendiri. Mulai dari tokoh agama yang memanfaatkan uang pemberian umatnya dengan tidak semestinya, ketidakadilan mereka dalam memimpin, kampanye untuk menyerang suatu agama tertentu atau orang yang bertentangan dengan suatu agama tertentu, ataupun kekerasan yang terjadi antar umat beragama.
Hal lain yang masih dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah perilaku umat beragama yang tidak asyik membuat orang zaman sekarang malas untuk memilih agama. Tindakan umat beragama yang merasa dirinya paling benar dengan menganggap semua pendapat dan kepercayaan orang lain adalah salah menjadi salah satu contoh yang paling sering kita jumpai di media sosial.
Sosial media menjadi momok baru bagi agama di era sekarang ini. Tindakan kecil yang dilakukan oleh umat beragama di sosial media bisa menjadi api yang sangat besar. Tempat dimana semua orang bisa berkomentar secara mudah tanpa adanya filter akan selalu menjadi tantangan khusus untuk agama di era serba digital ini.
Berbagai permasalahan atas nama agama juga kerap terjadi dalam sosial media. Beberapa waktu lalu media sosial diributkan dengan masalah klepon haram ataupun halal. Perdebatan sengit pembela klepon haram dan halal saling beradu argument untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak sampai disitu saja, perdebatan yang terjadi kerap kali menggunakan kata-kata yang mengintimidasi kelompok tertentu, bahkan menyela yang tidak sependapat dengan kata-kata kasar.
Pertarungan antara umat beragama dalam memperdebatkan hal-hal yang tidak penting menjadi problematika baru yang perlu dikhawatirkan. Orang zaman sekarang akan beranggapan bahwa agama tidak bisa dibawa santai dan baperan (bawa perasaan). Mereka takut ketika memilih untuk beragama akan mendapat masalah yang jauh lebih besar ketika melakukan kegiatan agama dengan cara yang salah dimata orang lain.
Tanpa disangka hal ini malah membuat orang melihat agama bukan lagi sesuatu yang hal indah. Bagaimana orang bisa melihat agama sebagai sesuatu yang indah jika masalah kecil saja bisa menciptakan keribuatan yang cukup besar. Jika hal kecil saja bisa menyulut api yang besar apalagi kesalahan dalam melakukan ritual keagamaan.
Selain itu, kebenaran moral yang diyakini oleh umat beragama dipaksaakan kepada orang lain. Tak jarang kita melihat orang menghakimi seorang lain dengan menggunakan dalih agama tanpa melihat lebih jauh dari sisi orang yang ia hakimi. Seringkali orang yang memaksakan kebenaran moral kepada orang lain menganggap kebenarannya adalah kebenaran mutlak yang tidak boleh diganggu gugat.
Ketika hal ini sering terjadi, stigma buruk akan semakin dirasakan oleh agama. Tindakan tidak asyik oleh umat beragama seperti inilah yang membuat banyak orang berpikir berkali-kali untuk memutuskan diri untuk beragama atau bahkan memutuskan untuk meninggalkan agama.
Lantas, apakah agama bisa bertahan jika perilaku umat beragama sekarang ini seperti itu?
Tentu, agama masih bisa bertahan.
Agama masih penting untuk dianut oleh orang. Wajah buruk agama bukan dilakukan oleh agama itu sendiri melainkan oleh oknum-oknum umat beragama. Hal ini jelas bukan ajaran agama.
Agama selalu mengajarkan para penganutnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan menciptakan kedamaian dimanapun mereka berada. Agama adalah tempat yang indah jika semua pengikutnya mau melaksanakan ketentuan yang agama berikan. Hanya saja tidak semua orang menerapkan hal itu dan membuat nama agama yang tercoreng.
Maka dari itu, tidak perlu khawatir ataupun takut untuk beragama karena sejatinya agama mengajarkan hal kebaikan. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kejahatan ataupun keburukan. Fokuskan diri kita kepada Tuhan daripada harus memperhatikan perilaku oknum-oknum yang memang menciptakan keributan untuk tujuan tertentu.