Jumat, November 8, 2024

Presidential Threshold Menjadi Ancaman Demokrasi

Defrin Ziliwu
Defrin Ziliwu
Mahasiswa fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya. Menjadi pemikir dan pelopor.
- Advertisement -

Pemberlakuan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden memicu reaksi publik beberapa tahun terakhir ini, terutama menjelang pesta demokrasi yang di gelar 1 kali 5 tahun itu.

Banyak masyarakat dan bahkan publik figur yang menentang undang-undang yang disahkan pada tahun 2003 tersebut bahkan sampai digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pihak penggugat juga bukan hanya berasal dari masyarakat biasa, sebut saja Jend.(purn) Gatot Nurmantyo yang merupakan eks panglima TNI, mantan Mentri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, dan masih banyak dari pihak lain.

Namun semua gugatan tersebut berkali-kali ditolak oleh MK yang seharusnya benar-benar melakukan peninjauan ulang terhadap undang-undang tersebut tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun termasuk para penguasa di negeri ini.

Sejak disahkan pada tahun 2003 dan mulai diberlakukan pada pemilu 2004, Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden beberapa kali mengalami perubahan karena sejalan dengan berubahnya Undang-undang pemilu.

Pertama kali dirumuskan dalam UU NO 23 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat (4) yang menyatakan, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota legislative.

Setelah beberapa kali mengalami perubahan, besaran presidential threshold terakhir berubah pada pilpres tahun 2019 yaitu, 20 persen dari jumlah kursi DPR di senayan dan 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu anggota legislative sebelumnya, sesuai dengan UU NO 7 Tahun 2017.

Dalam praktiknya menurut saya undang-undang presidential threshold ini sangat jelas melanggar asas Demokrasi yang sangat dijunjung tinggi di Negara ini. Hak konstitusional setiap warga Negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD pasal 28D ayat (3) menjadi salah satu aspek yang sebenarnya harus di pertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk merevisi UU ini.

Jika kita berbicara dalam sudat pandang Hak Asasi Manusia, presidential Threshold juga telah melangar salah satu pasal pada UU NO.39 Tahun 1999 tepatnya pada pasal 43. Ambang batas ini juga menurut saya merupakan langkah mundur atau setback bagi upaya penciptaan kemandirian pemerintah dan juga menjadi awal dari kemunduran Demokrasi.

Ketentuan ambang batas ini juga tentunya akan mempengaruhi kinerja pemimpin pemerintahan karena presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat Presidential threshold, maka politik balas budi jelas tidak dapat dihindari.

Penyederhanaan multi partai yang menjadi alasan utama diterapkan presidential threshold juga menurut saya tidak dapat diterima begitu saja, karena bagaimana pun setiap peraturan tidak logis jika harus merampas hak-hak seseorang terutama hak asasi dan hak konstitusional.

- Advertisement -

Semua orang berhak memimpin di Republik ini, tidak hanya mereka yang berdarah biru yang dapat berkuasa. Mencari pemimpin di Negeri ini tidak dapat disederhanakan dengan tiket yang dikeluarkan oleh Partai politik dengan dalil telah mendapatkan suara terbanyak dipemilihan legislatif atau apa pun alasannya. Demokrasi harus tetap dijunjung tinggi diatas kepentingan pribadi dan kelempok.

Saya sebagai generasi muda Indonesia sekaligus sebagai pemilih pemula, berharap kebijaksanaan Mahkamah Konstitusi dan seluruh pemangku kepentingan di Negara ini agar tidak berpikir kerdil terhadap peraturan yang melemahkan Demokrasi. Banyak hal mungkin bisa kita perdebatkan, namun jika berbicara soal Demokrasi kita harus sepemikiran agar kedepan bangsa sebesar dan seberagam Indonesia ini tetap bertahan ditengah ancaman dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Hidup Demokrasi!

Defrin Ziliwu
Defrin Ziliwu
Mahasiswa fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika Surabaya. Menjadi pemikir dan pelopor.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.