Minggu, April 28, 2024

Presidential Threshold dan Siasat Kartel Parpol

wiwin suwandi
wiwin suwandi
Wiwin Suwandi SH.MH. Pria kelahiran Buton, 9 Mei 1985. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum dan magister hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Wikipedia.org mendefinisikan kartel sebagai kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi”. Definisi ini merujuk pada disipilin ilmu ekonomi yang memang mengkaji kartel sebagai praktek monopoli dagang.

Sementara dalam disiplin ilmu politik, penulis merujuk karya Kuskrido Ambardi dalam disertasinya di Ohio State University tahun 2008 berjudul “The Making of Indonesian Multy Party System; A Cartelized Party System and Its Origin”.

Disertasi tersebut telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam buku berjudul “Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi”, (KPG: 2009). Buku tersebut menunjukan, kartel parpol terbentuk bukan karena kesamaan ideologi atau visi misi, namun lebih kepada kesamaan kepentingan politik pragmatis.

Studi tentang kartel parpol juga dapat dijumpai pada tulisan Ruud Koole “Catch-All or Cartel? A comment on the notion of the Cartel Party (1996)”, bahwa kartel adalah perkembangan tahap keempat dari partai politik.  Pada tahap pertama, yakni abad ke-19, muncul partai elite.

Pada tahap kedua, sekitar tahun 1880-1960, hadirlah partai massa. Pada tahap ketiga, setelah tahun 1945, bergulirlah partai yang menghimpun seluruh jenis pengikut (catch-all). Pada tahap keempat, setelah tahun 1970, lahirlah partai kartel yang melakukan penetrasi terhadap partai politik dan negara.

Fase keempat inilah yang membentuk kartel modern, praktek di Indonesia pasca reformasi. Parpol melalukan penetrasi ke negara melalui; penyebaran SDM ke kementerian/lembaga, BUMD/BUMD, serta lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPD/DPRD).

Demikian pula, penulis memandang apa yang tertera dalam Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 merupakan kompromi dari kartel parpol tadi. Mereka mengakali pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan memasukan syarat ambang batas pencalonan presiden, padahal Pasal 6A UUD 1945 tidak menyebut demikian.

Pasal 6A ayat (2) berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”. Sementara Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 “Pasangan Calon diusulkan  oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh  25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Pasal 6A ayat (2) itu menyebut pasangan capres-cawapres diusulkan oleh “parpol atau gabungan parpol peserta pemilu” (cetak biru). Artinya semua parpol yang menjadi peserta pemilu, berhak (cetak biru) mengajukan capres-cawapresnya. Bukan “parpol atau gabungan parpol yang lolos parliamentary threshold (PT).”

Namun pembentuk undang-undang malah mengakalinya dengan menambahkan persyaratan “perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh  25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.” Ini bertolak belakang dengan semangat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Selain melawan pesan konstitusi, ketentuan ini juga membajak daulat rakyat, karena ukuran Pres T mengacu pada hasil pemilu 2014, bukan pemilu serentak 2019.

Siasat kedua, melawan putusan MK No: 14/PUU-XI/2013. Dalam putusannya, MK memerintahkan pemilu; Pileg dan Pilpres, diadakan secara serentak (pemilu nasional). Artinya, kita tidak lagi membicarakan soal Pres T ambang batas pencalonan, karena pileg dan pilpres diadakan serentak, Pres T otomatis tidak berlaku lagi. Semangat putusan MK itu adalah agar semua parpol yang lolos verifikasi pemilu 2019 dan pemilu-pemilu selanjutnya berhak mengajukan capres-cawapresnya.

Sekali lagi, yang lolos verifikasi, bukan lolos PT. MK merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. MK memang tidak mencantumkan itu dalam putusannya, karena open legal policy pembentuk UU, tetapi pesan sikap MK terbaca jelas disitu. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum, pembentuk UU 7/2017 telah nyata melakukan pembangkangan terhadap putusan pengadilan. Sebuah kejahatan legislasi yang sangat telanjang.

Siasat ketiga, mengacuhkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menganut teori jenjang norma. UU No 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 6A ayat (2). Karena bertentangan, secara teori, UU No 7/2017 semestinya dapat dibatalkan melalui JR karena cacat materil.

Siasat keempat dapat dibaca dalam frasa ”pada pemilu anggota DPR sebelumnya”. Bagaimana mungkin syarat Pres T 2019 mengacu pada pemilu 2014? Ini lgika sesat bin ngawur. Sama dengan memaksa rakyat memberi nilai “A” pada kinerja parpol yang minus. Selain bertentangan dengan perintah melaksanakan pemilu serentak dalam putusan MK, juga berpeluang menjadi sengketa dengan partai yang tidak lolos PT pemilu 2019.

Andaikata misalnya 2 parpol yang lolos PT pada pemilu 2014 lalu menjadi tidak lolos PT pada pemilu 2019, maka keduanya akan menggugat untuk dilibatkan dalam penentuan pasangan capres-cawapres, UU No 7/2017 membolehkan itu.

Siasat kelima, membelokkan makna hakikat presidential threshold (Pres T). Dalam beberapa literatur disebutkan, misalnya, Pipit R. Kartawidjaja mengutip pendapat J. Mark Payne, dkk dalam bukunya yang berjudul Democracies im Development: Politics and Reform in Latin America mengatakan, jika orang berbicara tentang “presidential threshold” dalam pemilu, maka yang dimaksudkan adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden.

Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya. Ditinjau dari makna substantif dari Pres T dalam praktik di beberapa negara tersebut dapat ditegaskan bahwa Pres T adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden dan bukan syarat pencalonan sebagai presiden dan wapres.

Peneliti LIPI, Syamsuddin Haris (2012), menyebut bahwa di negara-negara yang menganut sistem presidensial apa yang dimaksud dengan Pres T ialah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden. Dengan kata lain, konteks pemberlakuan presidential threshold –kalaupun istilah ini hendak digunakan– bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang calon presiden (Allan Fatchan Gani Wardhana, detik.com 25 Juni 2018).

Sehingga sangat beralasan jika Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 ini harus ditolak. Sebagai lembaga yang disematkan gelar “pengawal konstitusi (the guardian of constitution)”, MK harus mengabulkan gugatan itu demi tegaknya keadilan politik yang telah dibajak sekelompok elit dalam kartel parpol.

wiwin suwandi
wiwin suwandi
Wiwin Suwandi SH.MH. Pria kelahiran Buton, 9 Mei 1985. Menyelesaikan pendidikan sarjana hukum dan magister hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.