Minggu, April 28, 2024

Presiden ‘Gemoy’ dan HI

Habib Pashya
Habib Pashya
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Penyelenggaraan menuju pesta demokrasi Indonesia akan diwarnai kembali dengan debat calon presiden (capres) pada 7 Januari 2024 dengan membawakan isu esensial seperti pertahanan, keamanan, geopolitik, dan tidak terkecuali hubungan internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia saat ini sedang dipertanyakan. Indonesia sering dianggap sebagai negara yang tidak mau bergaul, mengingat selama pemerintahan Kabinet Kerja, Jokowi sudah absen sebanyak 5 kali di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jokowi lebih fokus terhadap isu domestik daripada internasional. Maka daripada itu, situasi seperti ini perlu ditingkatkan.

Terdapat tiga kandidat yang ingin melanjutkan Indonesia sebagai presiden: Ganjar, Anies, dan Prabowo. Akhir-akhir ini, Prabowo menjadi sorotan, sebab sering dicap sebagai ‘Capres/Presiden Gemoy.’ Istilah ini mulai populer sejak kemunculan Prabowo ketika diusung Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Jakarta. Kala itu Prabowo diteriaki ‘gemoy’ oleh para kader PSI untuk menunjukan perilaku Prabowo yang dekat dengan anak muda – seperti PSI yang sering mengucapkan yaitu ‘bro/sis.’

Kata ini kemudian kembali muncul ketika Prabowo mengunjungi peresmian Posko Relawan Prabowo-Gibran di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ketika para relawan meneriaki ‘gemoy’ kepada Prabowo. Menurut akademis, Nyarwi, cara ini dilakukan untuk menarik semua kalangan dan membentuk realitas baru; dalam politik seperti para koalisi membuat baliho Prabowo-Gibran menggunakan teknologi buatan atau AI.

Menyelaraskan dengan konteks debat capres, posisi Prabowo saat ini kembali diuntungkan pada dua hal. Pertama, Prabowo yang berlatarbelakang militer, diprediksi akan mendominasi isu-isu internasional. Kedua, elektabilitas Prabowo-Gibran dalam beberapa bulan belakang berada di posisi teratas diantara Anies dan Ganjar.

Dengan sikap dan postur Prabowo yang disebut ‘gemoy’, bagaimana cara Indonesia mengembalikan marwahnya?

Konotasi ‘gemoy’ kemungkinan akan berhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang tidak lugas. Dalam artian, ketika ‘presiden gemoy’ ini menang dan berkuasa, Indonesia akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan di level internasional. Mengenai hubungan internasional, rekam jejak Prabowo terhitung tidak cukup baik.

Pertama, meskipun Prabowo memiliki latar belakang militer dan identik dengan isu keamanan, proposal perdamaian Prabowo terhadap konflik Rusia-Ukraina berupa gencatan senjata ditolak.

Prabowo yang berstatus Menteri Pertahanan Indonesia menghadiri dialog yang diselenggarakan oleh Institute for Strategic Studies (ISS) di Singapura. Selain gencatan senjata, Prabowo juga mengusulkan untuk meminta Rusia dan Ukraina muncul 15 meter dari lokasi gencatan senjata, serta membuat referendum.

Argumen Prabowo kemudian menuai para kontra; Prabowo dianggap tidak memahami kondisi dan usulan Indonesia dianggap cenderung pro terhadap Rusia. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Oleg Nikolenko mengatakan bahwa usulan Prabowo tidak akan berhasil, sebab selama ini Rusia dan Ukraina tidak berada berkonflik tentang wilayah sengketa.

Kedua, dalam penyampaian Prabowo di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Prabowo meluncurkan kebijakan Good Neighbor Policy yang diartikan menjadikan tetangga atau negara lain sebagai mitra. Kebijakan ini diprediksi akan berbahaya ketika dilanjutkan dan terjadi terhadap Prabowo dalam menanggapi Laut Natuna Utara. Sejak tahun 2019-2020, tensi Indonesia dan Cina meningkat, mengingat pantai penjaga laut Cina masuk ke wilayah laut Indonesia.

Melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah mengirimkan nota keberatan terhadap diplomat Cina, namun usaha tersebut tidak memiliki respon. Posisi Prabowo sebagai Menteri Pertahanan menjadi esensial. Selama Prabowo menjabat, Prabowo belum mengucapkan bahwa Cina adalah ancaman maritim bagi Indonesia. Menurut berbagai peneliti, ‘kelenturan’ perilaku Prabowo adalah mempertimbangkan ketergantungan Indonesia terhadap Cina yang cukup besar.

Maka daripada itu, Indonesia tidak memerlukan ‘presiden gemoy.’ Ada beberapa hal yang perlu Indonesia lakukan kedepan dalam menentukan postur kebijakan luar negeri. Pertama, Indonesia memerlukan presiden/pemimpin yang lugas dan tegas. Ini penting mengingat Jokowi yang berkali-kali absen pada pergelaran sidang PBB. Negara lain perlu melihat Indonesia kembali seperti di era Soeharto dijuluki “Macan Asia.”

Kedua, Indonesia perlu pemimpin yang tidak hanya memahami lapangan, namun memerlukan pemimpin yang paham mengenai negosiasi terhadap para pihak yang berkonflik. Ketiga, Indonesia juga perlu untuk memunculkan kembali ‘aura kesatria’ di forum-forum ASEAN.

Habib Pashya
Habib Pashya
Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.