Pernyataan penolakan Presiden Joko Widodo untuk menjadi presiden tiga periode, dalam wacana amandemen perubahan masa jabatan presiden membuat publik skeptis. Dilansir dari Detik News, Presiden Joko Widodo mengatakan, “Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” (Detik News, 15/03/2021).
Keraguan yang pertama dikarenakan Presiden Jokowi Widodo, faktanya, acapkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan antonim (bermakna sebaliknya). Sebenarnya sah-sah saja apabila dalam dunia politik seorang politisi memang suka membuat statement yang berubah-ubah. Termasuk, hak Joko Widodo untuk melakukan manuver-manuver politiknya. Namun, perlu diingat untuk seorang presiden sekaligus seorang pemimpin. Beliau menjadi seorang panutan digugu, lan ditiru (orang yang dipercaya dan diikuti).
Beberapa waktu lalu tentu kita masih ingat atas seruan dari presiden untuk mencintai produk dalam negeri, dan membenci produk luar negeri. Dilansir dari Tempo.co, Presiden Jokowi mengatakan, “Bahwa penduduk Indonesia berjumlah 270 juta jiwa adalah pasar yang sangat besar. Ajakan untuk cinta produk dalam negeri harus terus digaungkan. Bukan hanya cinta, tapi juga benci. Jadi cinta barang kita, tapi benci produk luar negeri,” ungkapnya (Tempo.co, 4/03/2021).
Pernyataan tersebut, nyatanya, sangat bertolak belakang dengan kebijakan pemerintahan Joko Widodo. Lewat Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, pemerintah justru menyatakan akan mengimpor beras sebanyak 1 juta hingga 1,5 juta ton dalam waktu dekat ini (CNN Indonesia, 14/03/2021).
Tidak hanya soal beras. Pemerintah ternyata juga akan segera melakukan impor garam dalam waktu dekat ini. Hal ini bahkan sudah diputuskan dalam rapat bersama oleh Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Detik Finance, 15/03/2021). Keputusan untuk mengimpor beras dan garam ini tentu menyakitkan bagi para petani padi dan petani garam. Lebih jauh, kebijakan ini juga menimbulkan ambiguitas di masyarakat, dan sekaligus menunjukkan bukti pernyataan antonim yang acapkali terlontar dari bibir Presiden Joko Widodo sendiri.
Keraguan yang kedua adalah bahwa alasan penolakan Presiden Joko Widodo atas wacana amandemen masa jabatan presiden dikarenakan bahwa konstitusi kita tidak mengatur demikian. Namun, jujur saja, apa sih yang tidak bisa terjadi di Indonesia? Secara legal konstitusional, UUD RI Tahun 1945 memberi ruang untuk dapat diubah lewat amandemen (perubahan konstitusi/UUD). Artinya masa jabatan presiden yang semula hanya dua periode bisa saja diubah menjadi tiga periode lewat mekanisme amandemen.
Berdasarkan ketentuan UUD RI Tahun 1945, usulan amandemen dapat diajukan sekurang-kurangnya oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dalam memberikan usulan perubahan harus disampaikan secara tertulis serta dengan memberikan alasan mengapa perlu ada perubahan. Untuk mengubah pasal-pasal yang diusulkan, sidang MPR minimal harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Serta, untuk mengambil keputusan dalam sidang harus dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu orang dari keseluruhan anggota MPR.
Apabila kita melihat prasyarat amandemen UUD RI Tahun 1945, mekanisme amandemen tidak sulit, bahkan sangat mudah. Hal ini karena apabila kita melihat komposisi kursi anggota dewan di parlemen, mayoritas anggota DPR berasal dari koalisi partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebut saja, PDIP dengan 128 kursi (22,6%); Golkar dengan 85 kursi (14,78%); Gerindra dengan 78 kursi (13, 57%); Nasdem dengan 59 kursi (10,26%); PKS dengan 50 kursi (8,70%); dan PPP dengan perolehan 19 kursi (3,30%) yang duduk di parlemen.
Coba bandingkan dengan kubu oposisi yang hanya menyisakan Demokrat dengan 54 kursi (9,39%), dan PAN 44 kursi (7,65%). Ringkasnya, kubu pemerintah memiliki 73,21% suara, melawan kubu oposisi yang hanya memiliki kekuatan 17.04% suara.
Peta kekuatan di tubuh partai pendukung pemerintah justru dapat bertambah kuat apabila Partai Demokrat, yang saat ini terbelah, merapat ke barisan partai pendukung pemerintah. Pasalnya apabila pemerintah mengakui kudeta Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat lewat jalur Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, maka sudah jelas barisan pendukung pemerintah akan semakin kuat di parlemen.
Isu yang berhembus motif kudeta tersebut ialah upaya merapatkan Partai Demokrat ke kubu pemerintah. Diperkuat dengan status Moeldoko saat ini tercatat sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Artinya, secara politik, sangat dimungkinkan kudeta yang dilakukan oleh Moeldoko sudah mendapat restu dan dukungan dari istana. Demokrat di tangan Moeldoko tentu dapat dijadikan kendaraan politiknya di Pilpres 2024 kelak. Selain itu, Partai Demokrat dapat juga dijadikan barisan penguat suara di parlemen untuk mendukung segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk wacana permufakatan amandemen perubahan UUD RI Tahun 1945.
Dengan segala kekuatan yang dimiliki oleh Presiden Joko Widodo saat ini, wacana perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode sejatinya menjadi niscaya dilakukan. Mungkin saat ini Presiden Joko Widodo memang mengatakan kepada publik bahwa dirinya tidak memiliki ketertarikan atas usulan masa jabatan presiden tiga periode. Namun, apabila nanti MPR telah benar-benar mengusulkan perubahan dan bermufakat terhadap perubahan usul perubahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode, apakah yang akan terjadi?
Masihkah Presiden Joko Widodo bersikukuh tidak tertarik pada tawaran menjabat sebagai presiden tiga periode dan tidak bernafsu untuk melanggengkan kekuasaannya? Nampaknya kita harus selalu bersiap-siap untuk menerima pernyataan-pernyataan ambigu dari Presiden Joko Widodo yang acapkali bermakna antonim atau berkebalikan ini.