Selasa, April 23, 2024

Prahara Yaman dan Energi Pemersatu Ramadhan

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi

Menjelang Ramadhan 1442 H, beberapa kawasan Islam di dunia tidak juga mampu meredam hasrat pertarungan politik dan militer. Hal ini setidaknya terlihat dalam konflik politik dan militer di Yaman.

Mengawali Ramadhan, pasukan yang tergabung dalam Southern Transitional Coalition (STC) yang menguasai Yaman Selatan menegaskan keinginan untuk tetap merdeka dan meminggirkan opsi gencatan senjata. Merespon sikap tersebut, tentu saja pasukan koalisi pimpinan Saudi Arabia melakukan berbagai serangan militer kedalam wilayah Yaman. Pernyataan STC dan serangan Saudi di tengah pandemi covid-19 dan Bulan Ramadhan terang melanggar batas empati kemanusiaan dan keagamaan sekaligus.

Padahal, Yaman adalah sebuah mozaik peradaban Islam dengan segala keunikannya. Berbatasan dengan Arab Saudi, Yaman dianugerahi peradaban dan sejarah Islam yang kuat. Yaman adalah personifikasi sebuah kekuatan fisik. Al-Quran secara kategoris memberi gambaran dengan “mereka berkata: Siapakah yang lebih kuat dari kami?” (QS Fushilat : 15) untuk merujuk pada kaum ‘Ad. Kaum ini adalah kabilah di mana Nabi Hud AS diutus Allah untuk mendampingi dan berdakwah didalamnya.

Diceritakan, kaum ‘Ad adalah mereka yang dianugerahi kekuatan fisik yang sedemikian rupa hingga banyak manfaat yang didapat sebagai imbas dari anugerah tersebut. Namun, anugerah tersebut tidak dibarengi dengan iman kepada Allah. Nabi Hud AS diutus Allah untuk berdakwah dan meluruskan iman kaum ‘Ad yang menyembah berhala kala itu.

Dalam peta geografi saat ini, keberadaan kaum ‘Ad terletak di Al Ahqaf, Rubu’ al-Khali, Yaman. Dalam sistem kepercayaan agama samawi, Nabi Hud AS dipercaya dan diimani umat Islam dan Yahudi (sebagai Nabi Eber). Wafat dan dimakamkan di Hadramaut, eksistensi Nabi Hud AS dicatat dua agama tersebut dan Hadramaut menjadi bagian sejarah keagamaan mereka.

Namun demikian, segala cerita tentang personifikasi kaum ‘Ad dan Nabi Hud adalah satu hal, dan kondisi saat ini adalah hal lainnya. Tujuh tahun terakhir peperangan Yaman menjadi masalah yang berlarut-larut.

Di tengah peperangan terbuka dari tahun 2015, kekuatan besar terbagi ke dalam tiga faksi utama : Houthi dengan dukungan politis Iran di Utara, tentara loyalis Abd-Rabbu Mansour Hadi yang mendapat dukungan koalisi Arab Saudi, dan gerilyawan STC (Southern Transitional Council) di Selatan yang didukung UEA dan bersatu dengan tentara koalisi Arab Saudi melawan Houthi.

Dilanda perang saudara (STC – Houthi) dan perang antara koalisi Arab Saudi – STC melawan Houthi, Yaman mengalami krisis kemanusiaan yang sangat berat, jika tidak mengerikan. United Nations High Commmissions for Refugees (UNHCR), badan PBB yang mengelola pengungsi dunia mencatat (2020), di Yaman terdapat sekitar 24 juta jiwa yang perlu mendapat pendampingan kesehatan dan pangan  serta 3,8 pengungsi korban perang dari  tahun  2011.

Peringatan UNHCR sejalan dengan kekhawatiran Oxfam. Oxfam, lembaga kemanusiaan nirlaba dari Inggris, sejak 2018 sudah memperingatkan kemungkinan terjadinya bencana kelaparan yang masif di Yaman.  Peringatan itu disampaikan menyusul pertempuran yang terjadi di pelabuhan Hudaydah. Pelabuhan itu selama ini menjadi titik penting datangnya bantuan makanan dan obat-obatan kepada rakyat Yaman. Padahal, datangnya bantuan kemanusiaan ke Yaman juga tidak mudah karena kepungan tentara koalisi di sepanjang garis pertempuran, darat, laut, maupun udara.

Peringatan yang sama juga disuarakan oleh Amnesty International. Diperkirakan, 90% makanan untuk rakyat Yaman adalah hasil impor, dan 70%nya didistribusikan dari pelabuhan Hudaydah. Dengan begitu, sederhana saja, menguasai Hudaydah sama halnya menguasai hajat hidup rakyat Yaman.

Kondisi demikian tentu saja sangat menekan dan membebani muslim Yaman. Perang dan konflik berkepanjangan menjadikan muslim di Yaman menghadapi krisis kemanusiaan yang demikian parah.

Lebih berat lagi, wabah Pandemi Covid-19 terasa mengendorkan solidaritas global sesama muslim, karena semua negara tengah berjibaku menghadapi bencana Covid-19. Hal ini terlihat dari tiadanya pernyataan saling mendukung dari sesama negara muslim atas perlakuan negatif yang diterima komunitas muslim di berbagai belahan dunia.

Namun demikian, datangnya Ramadhan semestinya mampu mendorong perdamaian di Yaman dan di berbagai wilayah lain karena Ramadhan memiliki pesan yang menyatukan dan semangat saling berbagi.

Ramadhan sebagai energi pemersatu

Solidaritas umat Islam secara global yang sedikit banyak teralihkan dapat dimengerti karena beban masalah yang dihadapi masing-masing negara. Dampak eskalatif Covid-19 menghadirkan segregasi komunitas dunia secara efektif. Pada kaum Islam dunia, kondisi ini mestinya mampu dipahami sebagai proses penyadaran bersama akan pentingnya “saling merasakan.”

Sikap empatik sesama muslim sejalan dengan hadis Rasulullah, “perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam” (HR. Muslim). Hadis ini jadi pengingat, apa yang terjadi di Yaman, dan belahan dunia lain dimana muslim menghadapi cobaan berat, adalah juga bveban yang kita rasakan bersama dengan derajat masing-masing.

Oleh karenanya, bulan Ramadhan adalah energi dan cahaya tersendiri bagi upaya untuk membangun empati dan solidaritas sesama muslim yang dikenal dengan sikap ta’awun. Sikap ta’awun adalah sikap yang mengedepankan semangat saling menolong dan bekerja sama secara tulus dan ikhlas.

Semangat ta’awun atau tolong-menolong dan saling bekerja sama sejalan dengan perintah dalam Al-Quran, “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (Q.S. Al-Maidah: 2). Sikap saling membantu ini dengan sendirinya mendorong pelibatan fisik dan emotif yang pada akhirnya membangun kebersamaan.

Datangnya bulan Ramadhan, di tengah masih meruyaknya wabah Covid-19 dan berbagai konflik politik dan militer yang dihadapi kaum muslim di berbagai belahan dunia, semoga menjadi momen pemersatu psikologi kolektif untuk saling mendukung dan merasakan beban pahit yang dihadapi. Hal ini menjadi penting agar solusi bersama yang dihasilkan berasal dari nilai-nilai hakiki Ramadhan.

Kita tahu, Ramadhan melatih kesabaran dalam menahan godaan, sekaligus menempa diri dalam menghadapi cobaan fisik dan non-fisik. Untuk semua itu, Ramadhan mengantarkan individu muslim menjadi insan dan komunitas yang teguh dan penuh solidaritas.

Meskipun saat ini segala sesuatunya tengah berjarak (distanced) karena pandemi Covid-19, namun jarak tersebut lebih berupa kesadaran manusiawi dalam ikhtiar menghadapi bencana. Energi Ramadhan melampaui jarak kemanusiaan yang dilandasi nilai-nilai hakiki yang mampu menjadi suluh pemersatu secara global.

Pada konflik Yaman, STC dan koalisi Arab Saudi eloknya mampu memberi penghargaan lebih pada Bulan Ramadhan dengan meyakini jalan kemanusiaan sebagai penengahnya. Jika bersatu masih berupa mimpi yang jauh untuk digapai, setidaknya membangun kesediaan bersama untuk melakukan “puasa” atas pertumpahan darah yang telah sekian waktu berlangsung.

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.