Klimaks suasana politik perhelatan pilpres 2019 semakin terasa membuat kita gerah, makna politik sabagai entitas paling mulia dalam mengangkat derajad manusia yang berkeadilan, bertanggung jawab dan hanya bertujuan memberikan seluas-luasnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, hanya menjadi narasi-narasi kosong yang tak hanya miskin gagasan dan ide, namun cenderung mangkrak dan tidak produktif.
Bukan hal yang baru, kenyataan politik kita hari ini, lebih banyak diramaikan persaingan politik naratif yang semakin gagal menagkap pesan-pesan penting demokrasi yang seharusnya bernuansa egaliter dan kaya gagasan, berbagai isu-isu terus saja dihidangkan, hoax, SARA, ujaran kebencian hingga yang mengarah pada persoalan sektarian.
Oposisi dan Petahana
Menyoal politik maka kita akan jauh berbicara tentang hasil daripada proses, hasil yang baik adalah tujuan dari politik itu sendiri, #2019 menjadi ajang kontestasi adu strategi, adu gagasan, adu ide, bahkan adu sentimen atau bisa jadi adu sensasi antar dua kubu yang kita sebut, “Petahana” dan “Oposisi”, jika diruntut berbagai isu-isu yang terjadi akhir-akhir ini mau tidak mau harus kita akui sebagai dampak dari pertarungan dua kubu.
Oposisi misalnya sebagai penantang, semakin memperdalam karakternya sebagai aktor antagonis dalam kontestasi ini, mulai dari, munculnya tagar #2019GantiPressiden, lengsernya gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama atau Ahok, hingga reuni aksi 212 yang semakin memperjelas bahwa permainan itu tak jauh dari kepentingan kontestasi di 2019.
Petahanapun tak jauh berbeda, meski jika dilihat metode politik yang digunakan cendrung Protagonis, tak heran karena saat ini petahana sebagai pemangku kebijakan memang terasa semakin jelas menggunakan metode-metode legitimasi kekuasaan, sebut saja bagaimana aksi reuni 212 nyaris tak diliput dalam media massa, atau legitimasi hukum terhadap Habib Bahar yang dituduh menghina kubu petahana.
Strategi Harimau dan Rubah
Adu Strategi memang menjadi kewajaran dalam politik, Machiavelli salah satu tokoh filsafat politik dalam bukunya The Prince mempunyai sebuah kredo terkenal bahwa, Seorang pemimpin yang baik adalah seseorang yang dicintai atau ditakuti?’
Machiavelli pun berpendapat bahwa lebih baik ditakuti daripada dicintai, menurut Machiavelli seorang pemimpin harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala sesuatunya atas kekuatan, akal, dan bisa juga kelicikan. Dalam mempertahankan kekuasaan, dibutuhkan cara kekerasan, keluwesan hingga tipu daya jika perlu.
Tentu hari ini kita melihat konsep Machiavelli seperti dikemas dengan selaput atau bungkus yang beraneka rupa, dalam berbagai bentuk negosiasi, timbal-balik, atau lempar batu sembunyi tangan.
Segalanya dilakukan untuk sebuah tujuan politik, dengan cara apapun dan mengorbankan apapun, kemanusiaan, moral, nilai bahkan parahnya sampai pada kurang ajarnya etika politik para elite kita.
Rakyat dipertontonkan kebodohan-kebodohan yang herannya masih saja mereka pelihara. Penilaian terhadap strategi yang dilakukan para politisi dari dua kubu seakan terbelah menjadi dua, antara harapan dan kekecewaan, disatu sisi harapan bahwa gagasan-gagasan yang dibawa oleh kedua calon pemimpin mampu menjawab persoalan-persoalan rakyat secara kompleks, mengembalikan marwah entitas yang kita sebut politik sebagai satu dari banyaknya sarana menghidangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Namun, disisi lain kita di hadapkan pada sinisme, bahwa tontonan yang mereka hidangkan semakin membuka pikiran, tentang ada jarak yang amat lebar dan luas tentang transaksi kesepakatan di ruang belakang dan dapur-dapur partai politik, hal itu bisa dilihat dari tingkat kebohongan yang ditampakkan oleh alur cerita yang mereka rancang dan sutradarai sendiri.
Maka pertanyaannya bisakah sebenarnya menjadi politisi dan orang baik secara bersamaan?, atau hematnya bisakah politisi menjadi politisi santun? Machiavelli memberikan keberanian tegas dengan mengatakan, Tidak!.
Menurut Machiavelli kemajuan politik jauh lebih mudah terjadi pada orang yang tidak bermoral. Lantas mungkinkah Kubu Oposisi dan Petahana memang tak ada yang bermoral?Pandangan tersebut tentu merupakan pandangan Subjektif seorang Filsuf Politik, yang tak sepenuhnya bisa kita anggap benar ataupun sepenuhnya dianggap salah, dalam proses politik kita hari ini persepsi Machiavellli tentang istilah “Segarang Harimau Secerdik Rubah” di hidangkan oleh dua calon pemimpin kita dengan karakter masing-masing.
Hal mendasar yang sebenarnya harus diperhatikan dalam politik adalah kepentingan dan kesejahteraan rakyat, terlepas dari bagaimana proses politik yang dilakukan oleh dua kubu, selama tidak memecah belah rakyat sebagai tuan mereka maka strategi-strategi politik baik yang dilakukan oposisi dengan karakter antagonisnya ataupun oleh petahana dengan karakter keluwesannya jika memang menjadi keharusan akan menjadi kewajaran dalam proses demokrasi.
Seorang politisi memang dipanggil untuk mampu menguasai dua karakter konsep Machiavelli segarang harimau dan secerdik rubah, yaitu politisi yang licin sekaligus keras, lembut namun bisa menerkam, dari politisi yang seperti inilah akan muncul yang namanya Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang cerdas dalam bertindak, berdiri dikaki sendiri tak mampu diintervensi oleh kekuatan manapun apalagi kekuatan koalisi partai.
(Sumber Gambar: News.detik.com)